Oleh. Wahyu Triono KS
Universitas Nasional, Founder SSDI dan LEADER Indonesia
Bagi anda yang menyukai traveling dan touring, menempuh perjalanan dengan mengendarai mobil pribadi di jalan lintas Sumatera, menjadi arena petualangan yang menakjubkan, dengan menikmati indahnya alam pegunungan dan perbukitan, suasana perkampungan, hutan dan juga perkotaan. Tetapi juga bisa memacu dan memicu adrenalin dengan berbagai tantangan dan rintangan di perjalanan karena jalanan yang rusak atau jalanan yang berkelok-kelok, naik dan turun dengan lembah dan jurang yang begitu curam dan dalam. Begitu pula dengan berbagai ancaman keamanan dari para perampok, pemeras, bajing loncat dan pembegal.
Begitu juga bila anda menelusuri pulau Jawa melalui perjalanan darat, banyak pengalaman dan kisah yang dapat diceritakan dan dicatat untuk menjadi pelajaran, karena "Sebenarnya peristiwa masa lalu dan kejadian yang memiliki dimensi waktu akan menjadi kisah yang kurang berarti bila tidak kita beri catatan penting, karena semua yang terlewat masih bisa diantisipasi, kecuali satu hal, yaitu waktu. Begitulah waktu tidak bereproduksi, memanjang, berhenti atau kembali. Waktu hanya bisa berjalan lurus ke depan. Pada masanya peristiwa dan pengalaman patut mendapatkan catatan penting agar dapat menjadi suatu bahan pembelajaran. (Soendoro, 2009).
Catatan penting yang hendak dikisahkan berkaitan dengan perjalanan traveling dan touring di Pulau Jawa ini bukan soal keindahan wisata di Banyuwangi: Taman Nasional Baluran, banyaknya pantai yang menyuguhkan pemandangan yang indah, Taman Nasional Alas Purwo dengan hutan yang alami dan berbagai gua: gua Padepokan, gua Mayangkoro dan gua lainnya yang ada di jawa seperti gua Jatijajar dan lainnya.
Bukan pula soal indahnya wisata pegunungan yang tersebar di seluruh pulau Jawa, mulai dari gunung Semeru, gunung Slamet, gunung Sumbing, gunung Arjuno, gunung Raung, gunung Welirang, gunung Sindoro, gunung Merbabu, gunung Bromo dan yang lainnya. Atau pantai-pantai yang indah seperti pantai Gelagah dan yang dikesankan mistis, pantai Prasetan Gondomayit, pantai Parangtritis, Pelabuhan Ratu dan yang lainnya.
Bukan pula kisah dan cerita candi Borobudur, Prambanan, Kalasan, dan candi Sewu, bukan pula tentang kenyamanan mandi dan menikmati suasana alam Sendang Joko Kandung di Tulungagung, soal waduk gajah mungkur, waduk sempor. Bukan soal peninggalan dan petilasan kerajaan yang termashur di seluruh pulau Jawa atau soal wisata spiritual Ziarah Sembilan Wali (Wali Songo) Plus Ziarah ke Makam KH, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tetapi Ini hanya soal Remang-Remang, kisah perjalanan bersama Gus Dur dan politik Indonesia.
Remang-Remang
Setiap kali saya menelusuri pulau Jawa melalui perjalanan darat, tentu saja bukan karena tidak memiliki kemampuan untuk membeli tiket pesawat, karena harganya tidak semahal saat ini, lagi pula setiap perjalanan tentu saja seluruh biaya transportasi, akomodasi dan semua keperluan saya sudah dipersiapan dan sudah ada yang membiayai. Begitu melintasi kawasan pantai utara saya kembali diingatkan dengan Presiden RI Ke-3 KH. Abdurrahman Wahid, atau akrab di sapa dengan Gus Dur beserta dengan tembang kesukaannya untuk segera diputar melalui CD di dalam kendaraan yang melaju menyalip barisan antrian mobil besar dan dump truck pembawa muatan.
Remang-remang
Remang-remang sinar lampu wayah sore (Remang-remang sinar lampu tatkala sore)
Lilin tugel ganti surupe srengenge (Lilin puntung ganti tenggelamnya matahari).
Nunggu kakang wis lawas langka kabare (Nunggu Kakang sudah lama tak ada kabar).
Rasa pegel duh kakang sun ngentenane (Rasanya capek duh Kakang, saya menunggu).
Remang-remang sinar lampune madangi (Remang-remang sinar lampu menerangi).
Kadang peteng lintang wis ora perduli (Kadang gelap bintang sudah tak peduli).
Kula seneng waktu deweke njanjeni (Saya senang saat dia memberikan janji).
Duh wong ganteng aja gawe lara ati (Duh lelaki tampan jangan bikin sakit hati).
Jare lunga bli suwe (Katanya pergi tak lama).
Lawas paling sewengi (Lama paling semalaman).
Kula percaya bae (Saya percaya saja).
Nyatane kakang bohongi (Nyatanya Kakang membohongi).
Angel jaman saiki (Susah zaman sekarang).
Luru lanang sejati (Mencari lelaki sejati).
Sewu mung ana siji (Seribu yang ada hanya satu)
Kang siji wis duwe rabi (Itupun sudah punya istri)
Remang-remang sepanjang jalan pantura (Remang-remang sepanjang jalan pantura).
Gadis manis pada midang pinggir dalan (Gadis manis duduk santai di pinggir jalan).
Jare seneng bisa bantui ning wong tua (Katanya bahagia bisa membantu orang tua).
Kadang nangis urip mengkenen sampe kapan (Kadang menangis hidup begini sampai kapan).
Remang-Remang yang menjadi tembang yang disukai oleh Gus Dur, tentu bukan hanya soal genre musiknya, alunan dan melodi musiknya yang enak dan merakyat saja, tetapi juga syair lagunya yang begitu kuat dan paling tidak kita dapat mengkonfirmasi tentang komitmen dan kesungguhan, perjuangan dan pembelaan Gus Dur pada kaum dan rakyat yang terpinggirkan.
Siapa yang dapat meragukan kesetiaan dan pembelaan Gus Dur pada perjuangan keadilan, kesetaraan gender, pembelaan pada kaum perempuan dan anak-anak, perjuangan terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia dan demokrasi, kepedulian pada pengentasan kemiskinan, pemenuhan jaminan sosial dan hak-hak konstitusional warga bangsa, rakyat Indonesia.
Persentuhan saya yang intens dengan Gus Dur sebenarnya lebih didorong oleh sentuhan pada kesamaan visi kerakyatan, khusunya bagaimana melalui sahabat terbaik Gus Dur yang sekaligus menjadi penasehat urusan kesehatan Gus Dur yaitu Dr. Emir Soendoro, SpOT, yang dengan kebahagiaan dan keberuntungan saya menjadi bagian dari Tim yang di tahun 2009 semakin memperkuat tekad agar rakyat Indonesia memiliki jaminan sosial (social security), yang saat ini diimplementasikan melalui BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Tulisan ini menjadi studi yang difokuskan pada lokus utama yaitu: Pertama, perjuangan dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan, terutama kemiskinan struktural dan jaminan sosial (social security) sebagai dasar utama dan penopang bangsa Indonesia berdikari.Kedua, kajian demokrasi dan politik Indonesia pasca reformasi 1998 tentu saja tidak bisa dipisahkan dari Gus Dur yang pernah menjadi tokoh sentral politik Indonesia dan bagiamana kita membaca demokrasi kesejahteraan dan konteks politik Indonesia kontemporer.
Kemiskinan dan Jaminan Sosial
"Kemiskinan adalah kekerasaan dalam bentuk yang paling buruk." Mohammad Chatib Basri (2011) menguraikan bahwa, kalimat Gandhi tentang kemiskinan seperti mengingatkan kita pada satu hari dalam hidup Amartya Kumar Sen, warga India pemenang Hadiah Nobel Ekonomi tahun 1998. Di satu siang yang penuh konflik antara umat Hindu dan Islam, Sen, yang ketika itu berumur 10 tahun, bermain di halaman rumahnya di Dhaka. Tak jelas benar dari mana datangnya, tiba-tiba ia melihat seorang lelaki masuk ke halaman dengan rintih kesakitan dan darah yang mengalir. Di punggungnya menancap sebuah pisau. Lelaki itu bernama Kader Mia, seorang buruh miskin yang beragama Islam. Ayah Sen kemudian membawa Mia ke rumah sakit, tempat Mia akhirnya harus melepas nyawanya.
Di hari yang nahas itu, Mia pergi bekerja untuk mencari uang. Sebenarnya istri Mia telah mengingatkan agar tak pergi ke daerah yang rusuh itu. Tetapi Mia tak punya pilihan. Keluarganya harus makan. Maka, kemiskinannya harus dibayar dengan kematian. Kemiskinan memang punya banyak kematian dan air mata.
Kejadian siang itu begitu membekas dalam hidup Amartya Sen. Ia mencatatnya: ketidakbebasan ekonomi (economic unfreedom), dalam bentuk kemiskinan yang ekstrem, bisa membawa orang pada kematian. Di siang yang malang itu, Mia sebenarnya tak perlu pergi mencari uang seandainya keluarganya tak kekurangan makan. Orang miskin memang seperti sebuah representasi nasib buruk. Mungkin karena itu, Sen begitu terobsesi dengan kebebasan.
Bila meniliki ke belakang saat awal mula reformasi di Indonesia sedang dimulai sekitar tahun 1998, saat itu Royal Swedish Academy of Sciences memberikan hadiah Nobel kepada Amartya Kumar Sen, seorang ekonom India yang menjadi terkenal karena karyanya tentang kelaparan, teori perkembangan manusia, ekonomi kesejahteraan, mekanisme dasar dari kemiskinan, dan liberalisme politik.
Dalam bukunya, Profesor Amartya Kumar Sen menyajikan konsepnya mengenai pembangunan, yakni sebagai upaya untuk memperluas kebebasan riil yang dapat dinikmati oleh rakyat. Dalam konsepnya tersebut, kebebasan dipandang sebagai tujuan utama pembangunan. Nilai intrinsik kebebasan manusia didukung oleh berbagai kebebasan ini bersifat empiris dan kausal, tidak berdiri sendiri dan saling menjadi bagian. Dapat kita lihat bahwa pandangan Profesor Sen yang luas ini kontras dengan pandangan konvensional bahwa pembangunan tergantung pada pertumbuhan ekonomi, seperti pertumbuhan PDB, pendapatan nasional, serta kemajuan teknologi dan modernisasi sosial.
Untuk memenuhi perluasan kebebasan tersebut yang dikemukakan di atas, diharuskan untuk menyingkirkan kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi dan kemiskinan sosial sistematis, penelantaran sarana umum, dan intoleransi, atau campr tangan rezim refresif yang berlebihan.
Kendati mengalami peningkatan kesejahteraan material, termasuk banyak negara berkembang, tetapi sebagian besar umat manusia tidak memiliki berbagai kebebasan dasar. Seringkali ketidakbebasan ini disebabkan oleh kemiskinan absolut yang berwujud bencana kelaparan yang menyebabkan orang-orang sulit memperoleh kebaebasan dasar untuk bertahan hidup.
Profesor Sen mengkritik pandangan tradisional dalam bukunya Poverty and Famines-An Essay on Entitlement and Deprivation bahwa bencana kelaparan disebabkan oleh turunnya persediaan pangan (Pandangan FAO). Menurut studi empiris, bencana tersebut bisa saja terjadi tanpa adanya penurunan persediaan pangan. Ia juga menyatakan bahwa perhatian harus dipusatkan pada Entitlement (hak) yang dimiliki oleh setiap orang. Pada kasus lain, tiadanya kebebasan disebabkan langsung oleh tiadanya fasilitas umum dan sosial seperti, program pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Ketika Gus Dur diamanahi dan dipercaya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) komitmennya untuk membela kaum miskin dan mengentaskan kemiskinan semakin terstruktur dengan baik dengan berbagai program pembangunan, termasuk memperbaiki sistem pemerintahan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state).
Dalam upaya mengimplementasikan konsep negara kesejahteraan itu Gus Dur menerima gagasan tentang pentingnya bangsa Indonesia memiliki jaminan sosial sebagaimana gagasan yang disampaikan oleh Dr. Emir Soendoro, SpOT, sehingga Gus Dur mulai membentuk Tim untuk penyiapan Undang-Undang Jaminan Sosial, yang akhirnya dapat dirampungkan di era kepemimpinan Ibu Megawati Soekarnoputri ketika Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ditandatangani oleh Ibu Megawati Soekarnoputri.
Berdasarkan perintah UU SJSN ini, memeintahkan pada pemerintah untuk paling lama sampai dengan belum berakhirnya pemerintahan, artinya sebelum 20 Oktober 2009 UU SJSN ini mesti sudah diimplementasikan dan untuk mengimplementasikannya perlu dibentuk Undang-Undang. Implementasi jaminan sosial ini memang membutuhkan rentang waktu yang sangat panjang dan perjuangan yang sangat berliku.
Gus Dur ketika itu memberi dukungan kepada Dr. Emir Soendoro, SpOT dan Tim agar gagasan bangsa Indonesia memiliki jaminan sosial ditulis dalam sebuah buku dan disosialisasikan kepada masyarakat dan Gus Dur berjanji akan hadir pada launching buku yang ditulis Dr. Emir Soendoro, SpOT dengan judul Jaminan Sosial Solusi Bangsa Indonesia Berdikari yang diselenggarakan di lapangan terbuka bersama kaum buruh dan pekerja dan Gus Dur berjanji bersama kami akan berkeliling di seluruh daerah di Indonesia langsung melihat kondisi rakyat yang miskin dan mensosialisasikan jaminan sosial kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Akan tetapi belum sempat rencana itu direalisasikan ternyata Gus Dur beberapa bulan setelah menghadiri acara penting yaitu Pameran Lukisan Karya Almarhumah Ibu Siti Sudarsih Widjojo Nitisastro yang juga dihadiri langsung oleh Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Minggu, 12 April 2009, Allah SWT memanggil Gus Dur untuk berpulang selamanya, pada hari Rabu, 30 Desember 2009, sehingga rencana-rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Perjuangan terhadap pentingnya bangsa Indonesia memiliki jaminan sosial terus diperjuangkan dan atas dorongan Prof. Dr. Widjojo Nitisastro memberikan dukungan dengan membagi-bagikan copy buku konsep jaminan sosial kepada seluruh koleganya. Namun tidak beberapa lama kemudian Prof. Dr. Widjojo Nitisastro setelah mengalami sakit yang begitu panjang tanpa dicover oleh jaminan kesehatan yang penuh akhirnya Jumat, 12 Maret 2012 Prof. Dr. Widjojo Nitisastro meninggal dunia.
Setelah itu perjuangan agar bangsa Indonesia memiliki jaminan sosial sampai pada puncak perjuangan dengan tekanan masa kepada DPR dan pemerintah oleh Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) dan melakukan tuntutan melalui pengadilan, dimana Dr. Emir Soendoro, SpOT dan Tim ditujuk sebagai Saksi Ahli di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menggelar tuntutan agar pemerintah mengimpelemntasikan Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang akhirnya tuntutan tersebut dimenangkan oleh Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS).
Akhirnya baru pada tahun 2011 DPR bersama pemerintah menyepakati Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kemudian Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasarkan perintah Undang-Undang diimplemntasikan pada 1 Januari 2014, yang diresmikan penyelenggaraannya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Pensiun (JP) diimplementasikan pada Juli 2015 yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.
Selanjutnya, bagaimana dengan kondisi kemiskinan dan perkembangan implementasi jaminan sosial pada saat ini pada pemerintahan Joko Widodo -- HM. Jusuf Kalla. Pertama, situasi dan kondisi kemiskinan di Indonesia menunjukkan tren penurunan angka kemiskinan. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan dalam RAPBN 2018 ditargetkan sebesar 9,5 - 10 persen atau turun dari 2017 yang dipatok 10,5 persen.
Target pemerintah ini dikemukakan oleh Jokowi saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, mengumumkan rencana menaikkan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar 4 persen untuk 2019. (Berita dan Informasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Majalah Bulanan Edisi 01 I IV I 2018. Hal. 9).
Saat ini, Lanjut Jokowi, ada 10 Juta keluarga yang terdaftar sebagai penerima bantuan PKH, anggaran yang disiapkan pemerintah untuk program bantuan sosial tahun ini mencapai Rp 50 Triliun. "Kalau sekarang Rp 50 Triliun, yang saya sampaikan perlu tambahan Rp 20 Triliun." Paparnya.
Mantan walikota Solo itu optimisis, jika kenaikan tersebut bisa direalisasi, angka kemiskinan bisa ditekan di bawah 9 persen. Dengan catatan, pencairan bantuan tepat waktu dan tepat sasaran. (Jawa Pos, Selasa, 6 Maret 2018. Tambah Bantuan Rakyat Miskin Jokowi Naikkan PKH dari 16 Persen jadi 20 Persen).
Kedua, Situasi dan kondisi kekinian implementasi dan penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia saat ini setelah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pada kepemimpinan Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc (2011-2015) sampai dengan kepemimpinan DJSN sekarang ini telah meletakkan dasar dan landasan awal implementasi penyelenggaraan Jaminan Sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, memberi manfaat yang besar bagi masyarakat untuk mendapatkan akses kesehatan dan jaminan sosial lainnya.
Akan tetapi, setelah lima tahun berjalan program jaminan sosial ini, seluruh stakeholders setuju untuk melakukan evaluasi secara konfrehenship berkaitan dengan berbagai aspek dalam penyelenggaraan jaminan sosial yaitu: dari aspek regulasi yang mesti direvisi, aspek kepesertaan yang perlu ditingkatkan, aspek pelayanan yang perlu ditingkatkan kemanfaatannya bagi peserta, aspek iuran yang perlu disesuaikan dengan nilai keekonomian, aspek pembayaran yang perlu diperbaiki dan menghindari fraud, aspek organisasi dan kelembagaan yang mesti diperbaiki baik DJSN, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan institusi yang lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial nasional.
Penelitian dan studi secara mendalam dan akademis berkaitan dengan kemiskinan di Indonesia dan program pengentasan kemiskinan, penyelenggaraan program jaminan sosial di Indonesia secara lengkap akan dipublikasikan pada bagian dan tulisan lain berkaitan tentang hal ini.
Politik Indonesia Kontemporer
Kajian tentang politik Indonesia kontemporer adalah analisis yang berkaitan dengan penegakan hukum, pengakuan hak asasi manusia, penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan sistem demokrasitiasi yang memberikan kebebasan kepada warga negara untuk berpartisipasi secara politik dan menyalurkan suara dan hak politiknya melalui pemilihan umum yang langsung, umum, bebas dan rahasia dan memenuhi prinsip jujur dan adil.
Setelah Gus Dur tidak lagi menjadi Presiden dua hal yang terus populer dikaitkan dengan dunia politik dan demokrasi kita adalah soal dua ungkapan yaitu: "Begitu Saja Kok Repot" dan "DPR Seperti Taman Kanak-Kanak"
Dalam perspektif kontemporer dua kalimat populer Gus Dur itu dapat kita kaitkan dengan demokrasi dan politik Indonesia masih direpotkan pada hal-hal yang prosedural, dimana demokrasi dan pemilihan umum masih didominasi dengan fenomena politik transaksional dalam bentuk sebagaimana disebut oleh Lewis A. Coser (1997:129) sebagai endowed (membantu dengan pemberian) yang menyuburkan fenomena money politic dan money buy voters.
Fenomena politik transaksional lainnya sebagaimana pemikiran, Benedict RO'G Anderson dalam Language and Power (2006:47-50) menegaskan bahwa Indonesia menganut budaya politik patrimonial atau klientelisme (pola relasi patron-klien). Pola relasi antara patron dan klien didasari oleh kebutuhan saling menggantungkan, tetapi juga saling menguntungkan.
Budaya semacam ini yang menumbuhkan lahirnya pemerintahan bayangan (shadow state) dimana pemegang pemerintahan yang resmi dikendalikan oleh pemerintahan bayangan (shadow state) yang mengatur keputusan dan kebijakan yang bersifat strategis secara politik dan ekonomi. Kelanjutan dari fenomena ini adalah lahirnya para pemburu rente dalam relasi antara pengusaha dan penguasa dalam suatu hubungan rent seeking sebagai budaya baru korupsi di Indonesia.
Hal kedua berkaitan dengan pernyataan Gus Dur adalah "DPR Seperti Taman Kanak-Kanak" menjadi suatu tuntutan agar DPR segera naik kelas dalam setiap periode baru keanggotaan DPR setelah pemilihan umum. Naik kelasnya DPR ditandai dengan tugas-tugas utama DPR yaitu melakukan pengawasan (controlling function), pembentuk undang-undang (legislative function) dan fungsi menetapkan buget atau anggaran (bugeting function).
Dalam praktik politik demokrasi yang semakin naik kelas itu maka seluruh anggota DPR dan para politisi memahami dan mengerti bahwa di Indonesia tidak dikenal oposisi tetapi pemerintahan berjalan dalam pengawasan yang dilakukan oleh DPR agar terjadi proses Check and Balances System (Sistem Pengawasan dan Keseimbangan).
Hal terpenting lainnya berkaitan dengan politik Indonesia kontemporer adalah soal sejauhmana kebebasan dan demokrasi berimplikasi terhadap kemajuan dan kesejahteraan. Dalam konteks inilah tesis Amartya Kumar Sen, sebagaimana dalam uraian Mohammad Chatib Basri (2011) menjadi relevan untuk kita analisis kembali dan dilakukan pengujian secara empiris dalam perkembangan ekonomi politik di Indonesia.
Sebagaimana Mohammad Chatib Basri mengemukakan bahwa, di dalam risalahnya, Beyond the Crisis: the Development Strategies in Asia, yang diterbitkan oleh Institute of South East Asian Studies, 1999, yang kemudian diterjemahkan menjadi Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan oleh Penerbit Mizan (2000), ia bicara tentang pentingnya kebebasan. Dengan antusias ia menulis, walau tak ada korelasi yang konklusif antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi, sejarah menunjukkan bahwa kelaparan yang dahsyat tak pernah terjadi di negara merdeka, demokratis, dan memiliki pers yang bebas.
Sen menunjukkan betapa pentingnya kebebasan dan hak politik masyarakat. Keduanya dapat mencegah terjadinya petaka politik dan ekonomi yang lebih buruk. Ketika semuanya berjalan lancar, kebebasan dan hak politik mungkin tak terasa memikat.
Tetapi, dalam kesulitan sosial dan ekonomi, institusi ekonomi dan politik yang baik menjadi begitu penting. Karena itu, pembangunan haruslah dilihat sebagai sebuah proses peningkatan berbagai jenis kebebasan manusia yang secara intrinsik penting bagi dirinya. Kebebasan membutuhkan beragam lembaga yang baik.
Bagaimana dengan politik, demokrasi dan kebebasan di Indonesia dikaitkan dengan kemiskinan dan jaminan sosial serta jaminan lainnya yang merupakan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia? Jawaban atas pertanyaan tersebut memerlukan suatu penelitian dan study yang lengkap dam konfrehenship.
Penutup
Penelitian dan studi lanjutan yang lebih kekinian berkaitan dengan kemiskinan dan jaminan sosial dikaitkan dengan politik Indonesia kontemporer setidaknya mesti segera dilakukan oleh para akademisi dan peneliti di tahun 2019, terutama setelah Oktober 2019 ketika Kabinet Baru Pemerintahan Joko Widodo -- Ma'ruf Amin telah terbentuk dan dilantik, atau setelah seratus hari Kabinet Joko Widodo -- Ma'ruf Amin bekerja.
Tentu saja penelitian yang ilmiah dan akademis, menganalisis data secara obyektif dan mengemukakan hasil penelitian secara faktual bukan lagi sekedar remang-remang, atau bahkan data sekedar Asal Bapak Senang (ABS).
Dengan demikian pengentasan kemiskinan dan perbaikan jaminan sosial dan program pembangunan lainnya bukan merupakan upaya membangun citra dengan janji-janji yang membohongi rakyat yang dibeli dengan proses transaksi politik. Inilah fenomena dari Remang-Remang, Gus Dur dan Politik Indonesia Kontemporer yang segera mesti kita selesaikan dan tuntaskan lima tahun yang akan datang. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H