Tapi, aku pun tak ingin  suasana seperti ini terus berlanjut.
"Emmm...mana mommy-nya, Â Eric?"
Eric, Â tergagap, ia tampak terkejut mendengar pertanyaanku yang spontan.
"Oh...ehhh...ituu...ahhh...maaf...!"
Aku tersenyum kecil, melihat kegugupannya.
Diantara rinai hujan diluar sana mengalir kisah dari bibirnya. Mereka telah memutuskan untuk berpisah, dan hak asuh anak jatuh di tangan Eric karena sang mommy, tak ingin mengasuhnya dengan alasan tertentu. Tuhan....rencana apalagi yang Kau hadirkan untukku. Ku pandangi sosok mungil menawan di hadapanku, mulutnya tampak penuh dan belepotan cheese.Â
Ku ambil tissue lalu ku usap lembut bibir lucu itu, ada rasa sesak di dada, dia yang seharusnya masih harus dalam dekapan hangat mommy-nya kini harus belajar mandiri dengan rengkuhan daddy  seorang. Mungkinkah ini keegoisan orang dewasa yang tak pernah memerhitungkan ada hati kecil  yang terluka.Â
Atau goresan takdir yang entah aku pun tak pernah paham alurnya bermuara kemana. Yang aku tahu saat ini, ada rasa nyaman disini diantara dua makhluk Tuhan yang dihadirkan tanpa pernah aku tahu sebelumnya.Â
Dan settingan Tuhan memang luar biasa, aku hanya ingin mengikuti alirannya tanpa pernah berusaha melawannya. Biarlah skenario berjalan sesuai segmen-nya. Ku pernah merasa tak nyaman dengan senja, Â tapi hujan membuatku tersadar jarak antara air dan tanah begitu dekat.
Hujan punya alasan kenapa ia jatuh, tapi aku sekali lagi sulit mempunyai alasan mengapa hatiku kembali jatuh pada sosok satu ini. Rasa itu masih saja menyelinap di antara rintik hujan sore ini. Rasa yang enggan pergi dan akan selalu ada. Â Sekali lagi langit-Nya adalah candu. Jingga membawa senja, dan hujan membawa rindu yang terpaut. Aku terima hadirmu hujan, karena aku menginginkan pelangimu.