Rakyat bukan bodoh tetapi pada saat itu banyak yang pendiriannya terombang ambing oleh assesorikehidupan sehingga jiwanya gelisah seakan-akan tidak punya pegangan lagi dan akhirnya sering kesasar ke hal-hal yang kontra produktif.Saat itu kebodohan pikiran absen, kebodohan rohanilah yang eksis. Â
Kebodohan-kebodohan rakyat yang seperti ini bisa merata dengan cepat. Mereka itu tidak mau lagi percaya kepada yang tidak realistisdan memang, Pancasila dianggap seperti itu, tidak realistis.Rakyat banyak yang basah di alam hawa nafsunya sendiri sehingga kepercayaan pada sesamanya semakin menipis.
Satu-satunya yang masih kuat dikalangan rakyat ialah kepercayaan kepada agama. Itupun agama sempat dibawa secara personal, bukan lagi secara komunal, sebagai akibat kehidupan yang terlalu individualistis.Jangan lupa kehidupan yang dipenuhi dengan kemajuan teknologicepat sekali membentuk kehidupan individualistis.
Jarum-jarum fitnah pun mudah sekali ditanamkan kepada mereka yang pendiriannya itu sudah terombang ambing dengan menggunakan resep-resepagama. Disitulah terjadi pemutar balikan agama dari yang tadinya bersifat ukhuwahkemudian dirubah menjadi sarang-sarangnya permusuhan.
Begitulah yang dilakukan oleh kaum radikaldan mereka tak peduli dengan semua kaidah dan nasehat, yang penting ialah bagaimana tujuan bisa tercapai yaitu mereka bisa berkuasa di Republik Indonesia ini dan berkibarnya panji-panji mereka itu. Rakyat mau hancur, mau tidak, itu menjadi urusan berikutnya. Â Â Â
Untuk menangkal jarum fitnah yang seperti itu maka disini perlu kita ungkapkan kembali hikmah apa yang ada dibalik peristiwa sejarah masa lalu ketika Pancasila itu digulirkan menjadi ideologiNegara dan ideologiBangsa.
Sebelum abad ke-20 perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda boleh dikatakan terjadi secara sporadisdan dalam kurun waktu yang tak sama. Maka itu penjajah Belanda mudah mematahkan perlawanan rakyat tersebut.
Sejarah perlawanan Sultan Agung dari Mataram, perlawanan Diponegoro, terjadi di Jawa dalam kurun waktu yang berbeda. Begitu pula sejarah perlawanan rakyat Aceh melawah Belanda dibawah pimpinan Teuku Umardan Cut Nya' Dhindalam kurun waktu yang berbeda dengan Perang Paderi dibawah pimpinan Imam Bonjol.
Perlawanan rakyat Batak melawan penjajah Belanda dibawah pimpinan seorang putra Batak bernama Si Singamangaraja XII juga terjadi tidak bersamaan waktunya dengan Perang Aceh dan Perang Paderi.Â
Di Sulawesi kita hanya mengenal sosok Sultan Hasanuddinsaja yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada zamannya, yang sudah jelas berbeda kurun waktunya dengan perlawanan Pattimura yang ada di Maluku. Masih banyak lagi perlawanan-perlawanan yang serupa tetapi semua itu bersifat perlawanan lokaldan dalam kurun waktu yang berbeda.
Kalau dilihat dari fakta, rakyat kita pada waktu itu cukup banyak, boleh dikatakan dalam hitungan jutaan orang sedangkan, Belanda hanya segelintir orang saja tetapi, mengapa Belanda bisa berkuasa dan tidak bisa diusir dari Tanah Air kita. Dimana letaknya kelemahan rakyat kita itu.