"Kamu pasti bisa, Sayang. Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Mama yakin, semua ini sudah Allah atur. Bukan dia yang terbaik untuk kamu." Mamanya mencoba menasihati putrinya yang tampak hilang arah dan terlihat tanpa daya.
"Lantas siapa yang terbaik untukku? Mengapa Allah tidak mengasihani diriku yang telah rela menunggu kehadiran Arsyad selama lima tahun? Ma, lima tahun. Kenapa?." Daisha kembali kalut.
"Astagfirullah. Jangan pernah pertanyakan apa yang Allah telah gariskan. Daisha, Allah maha kuasa."
Daisha terdiam. Tidak lagi menjawab. Karena menurutnya tidak akan ada yang dapat mengerti dirinya.
Dia memandangi laptopnya kembali. Pestanya seminggu lagi. Akankah dia memenuhi undangan yang telah Arsyad persiapkan? Dia belum menemukan sedikit pun jawaban dari apa yang benaknya pertanyakan sedari tadi. Biarkan saja.
Orang tuanya kemudian keluar dari kamarnya setelah yakin kalau putrinya itu kelihatan lebih baik. Meski mereka tahu, hatinya tidak akan dapat kembali pulih. Apa yang pernah patah, akan sulit untuk kembali utuh.
Seminggu ia gunakan untuk berpikir akan keputusannya untuk pergi atau tidak. Egonya mengatakan untuk mengabaikan, namun hati kecilnya mencoba untuk berdamai dengan kenyataan. Hingga ia mengambil keputusan paling berat dalam hidupnya, dia akan mendatangi pesta pernikahan mereka. Dia tidak ingin terlihat lemah. Dia harus kuat.
Semua persiapan telah selesai diurus. Hari yang ditunggu pun tiba, dia dan Maya telah berada di pesawat setelah selesai dengan urusan mereka di bandara. Arsyad memang niat dalam menjamu mereka. Terlihat dari segala fasilitas yang sudah ia persiapkan. Mulai dari tiket sampai hotel tempat mereka menginap. Bagaimana mungkin ia dapat melupakan sosok yang sangat baik itu?
Selama perjalanan, Maya selalu coba menegarkan Daisha. Karena Maya pernah menjadi teman curhat Daisha. Meski sebentar, namun ia sangat tahu bagaimana perasaan Daisha kini. Ia terluka lebih dari yang orang lain lihat. Daisha hanya dapat tersenyum samar untuk merespon Maya.
Tanpa terasa, hari pernikahan Arsyad pun tiba. Dengan keyakinan diri dan kemantapan jiwa, Daisha memberikan selamat kepada kedua mempelai. Dipandanginya gadis yang kini telah sah menjadi istri dari pria yang begitu ia puja itu. Dia bersyukur bahwa sosok yang bersanding dengan Arsyad adalah gadis baik-baik. Setidaknya, dia dapat bernapas lega karenanya.
Setelah mengucap selamat dan memberikan kado, dia tetap memperhatikan sang pengantin. Si pengantin wanita yang tampak menawan dengan cadar yang ia kenakan, dan si pria yang begitu tampan dengan tuxedo mewah yang membaluti badan gagahnya.