Mohon tunggu...
Wadiyah Nur
Wadiyah Nur Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi

Wadiyah Nur Pardede. Seorang mahasiswi jurusan pendidikan bahasa arab. Memiliki ketertarikan di bidang kepenulisan. Sangat berharap bisa menjadi penulis yang menginsipirasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penantian yang Berujung Perpisahan

19 Mei 2023   13:30 Diperbarui: 19 Mei 2023   13:27 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kabar kamu di sana?

Sudahkah kamu menyelesaikan studymu?

Kamu tahu, aku di sini menantimu

Masih kuingat saat itu, bagaimana kamu berjanji dengan sungguh-sungguh

Tak terlihat sedikit pun keraguan dalam kata yang kau lontarkan

Kamu jelas menginginkanku, layaknya aku menginginkanmu

Kembalilah

Akan kutunggu dirimu

Sampai kau kembali

Ditutupnya diary yang sudah menemaninya selama masa penantian. Lima tahun sudah wanita itu menunggu sang pujaan hati yang pamit untuk melanjutkan study-nya ke Mesir. Dia pergi dengan meninggalkan janji untuk kembali.

Dengan penuh kesabaran, dia menanti untuk kembalinya Arsyad Fathurrahman, pria yang dikenalinya sewaktu di pesantren. Memang, tidak pernah ada kata-kata ajakan untuk berpacaran di antara mereka. Namun ada komitmen yang coba mereka genggam. Rasa perhatian tak luput mereka utarakan satu sama lain.

Kepergian Arsyad memberikan luka mendalam pada Daisha Syafrina. Karena bersama kepergiannya, dia membawa serta segala bayangnya, tanpa sedikit pun tersisa untuk Daisha. Entah Arsyad yang tidak peka, atau Daisha yang kurang sigap. Di waktu Daisha mengantar Arsyad, di situlah terakhir kali mereka saling bertukar kabar. Daisha lupa meminta alamat e-mailnya, karena mereka biasanya bertukar pesan hanya melalui whatsapp. Dan sudah dapat dipastikan bahwa Arsyad akan mengganti kontaknya. Karena nomor Indonesia tidak akan digunakan di sana.

Sudah beberapa kali ia mencoba mencari tahu instagramnya, namun tidak pernah dia temukan orang dengan nama Arsyad Fathurrahman. Ia benar-benar kehilangan sosok Arsyad.

Tiap salat, tak pernah ia lupa untuk mendoakan pria yang entah bagaimana kabarnya itu. Apakah dia baik-baik saja di sana? Ketahuilah lima tahun bukanlah waktu yang singkat untuk menunggu. Sering sekali ia ingin menyerah pada kenyataan kalau orang yang ia harapkan tidak akan mungkin kembali. Namun, selalu ada keyakinan kuat dalam dirinya bahwa pria itu akan datang dan menunaikan janjinya. Keyakinan yang membuatnya bertahan sampai saat ini.

Sudah begitu banyak pria yang coba mendekatinya, namun ia selalu mengunci rapat hatinya untuk siapa pun. Tidak ada niat sedikit pun untuk berpaling. Dia ingin ketika Arsyad kembali, rasanya masih seutuh dahulu. Dia tidak akan rela jika Arsyad kecewa nantinya.

Study S1 nya telah selesai, dan Arsyad tak kunjung muncul. Hingga ia memiliki ide untuk melanjutkan S2 di Mesir bersama dengan Arsyad. Mungkin saja, Arsyad sedang menantinya di sana. Sebut saja dia bucin. Karena memang rasanya tidak main-main. Dia sangat mencintai lelaki itu.

Tentu saja idenya untuk berkuliah di Mesir itu ditentang oleh orang tuanya. Mereka lalu menyadarkan Daisha agar tidak terlalu berharap kepada manusia. Karena kekecewaan yang akan ia dapat pun akan sangat hebat, jika apa yang ia harapkan tak sesuai dengan yang ia dapatkan. Mereka takut putrinya akan terluka parah nantinya.

Dia lalu masuk ke kamar dan merajuk karena apa yang ia inginkan, tak diridai orang tuanya. Padahal itu adalah untuk kebaikannya.

Untuk membunuh rasa bosan, ia mencoba membuka e-mail. Ada pesan dari Maya, teman semasa pesantrennya. Tidak biasanya Maya mengiriminya pesan. Karena penasaran, ia lantas membuka pesan itu. Dan apa yang ada di sana membuatnya terkejut bukan main. Dia benar-benar shock. Sampai-sampai ia berteriak histeris sambil menariki rambutnya frustasi. Kedua orang tuanya yang langsung khawatir pun, mendatanginya.

Tanpa tahu penyebab dari tangis Daisha, sang ibu hanya bisa mencoba menenangkannya. Karena untuk menanyakannya pun akan sangat percuma. Orang yang menangis itu memang bagusnya didiamkan saja, lalu ketika sudah reda di saat itulah waktu untuk menginterogasinya.

"Kenapa kamu tega sama aku. Kenapa? Aku udah nungguin kamu selama lima tahun, tapi ini balasan kamu." Daisha meracau dalam tangisnya. Tangis yang begitu memilukan.

Kedua orang tuanya saling pandang mendengar racauan putrinya. Mereka yakin, ini berkaitan dengan Arsyad yang begitu putrinya cintai.

"Kenapa kamu memilih dia, sedang aku di sini terus berusaha buat jadi yang terbaik. Demi kamu." Tangisnya semakin menjadi-jadi. Bahkan tangisannya sudah beradu dengan teriakan penuh kepedihan.

Terjawab sudah segala pertanyaan yang bersarang dalam benak mereka ketika sang ayah membaca apa yang tertera di layar laptop putrinya. Sebuah undangan pernikahan yang bertuliskan Arsyad dan Shaila. Runtuh sudah pertahanan ayahnya ketika melihat kerapuhan putri yang begitu ia sayangi itu. Penantian sang putri sungguh sia-sia. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari pada penantian yang berujung perpisahan.

Sang ayah lalu membaca pesan yang dikirim oleh Maya, teman Daisha. Di sana tampak pesan di atas pesan. Ayahnya yakin, Arsyadlah yang mengirim pesan itu kepada Maya, lalu di kirim ulang oleh Maya kepada Daisha.

"Hai, Maya. Ini aku Arsyad. Masih kenal, 'kan? Di sini aku mau ngabari ke kamu kalau aku mau menikah, ini undangannya. Maaf, ya aku ngirimnya dari instagram, soalnya aku gatau alamat e-mail kamu. Kebetulan aku nemu ig kamu tadi. Jadi sekalian aja. 

Oh, iya. Kamu datang ya ke acara nikahan aku. Bareng sama Daisha. Aku udah lama nyari media sosialnya dia, tapi tetap gak nemu. Tiketnya bakal aku kasih khusus buat kalian. Soalnya acaranya di Mesir, aku gak bisa pulang ke Indonesia. Calon istriku tidak bisa meninggalkan study-nya, hehe.

Sekian dulu, ya. Kutunggu kehadiran kalian. Sampaikan salamku untuk Daisha. Dia adalah sahabat baikku. Aku berharap kalian dapat hadir.

Arsyad Fathurrahman

Hanya sebatas sahabat. Ternyata dia saja yang berekspektasi tinggi dengan hubungan mereka. Dia pikir Arsyad memiliki perasaan yang sama untuknya. Harapan tinggallah harapan. Dan benarlah apa yang Ali Bin Bi Thalib katakan, bahwa yang paling pedih di dunia ini adalah berharap kepada manusia. Selama lima tahun ini, ia terlalu tinggi dalam menggantungkan harap. Ia lupa akan patah yang kapan pun dapat menyerang.

Sekarang apalagi yang harus ia perbuat? Meratap atau menyesal? Bukankah keduanya  sama tidak berartinya? Lantas, haruskah ikhlas yang menjadi akhirnya?

"Bisakah aku menghadapi semua ini, Pa, Ma?" tanyanya parau. Pandangannya kosong, seolah tak ada jiwa yang mendiami raga itu.

Ayah dan ibunya sama terlukanya dengan dia. Mereka lupa untuk memberikan kalimat penenang sejak lima tahun yang lalu. Kalimat untuk tidak terlalu mempercayai apa yang Arsyad janjikan. Seharusnya mereka menegaskan bahwa Allahlah sang pembolak balik hati. Lima tahun adalah waktu yang relatif lama untuk berbolaknya hati manusia.  Allahlah yang mengatur hati.

"Kamu pasti bisa, Sayang. Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Mama yakin, semua ini sudah Allah atur. Bukan dia yang terbaik untuk kamu." Mamanya mencoba menasihati putrinya yang tampak hilang arah dan terlihat tanpa daya.

"Lantas siapa yang terbaik untukku? Mengapa Allah tidak mengasihani diriku yang telah rela menunggu kehadiran Arsyad selama lima tahun? Ma, lima tahun. Kenapa?." Daisha kembali kalut.

"Astagfirullah. Jangan pernah pertanyakan apa yang Allah telah gariskan. Daisha, Allah maha kuasa."

Daisha terdiam. Tidak lagi menjawab. Karena menurutnya tidak akan ada yang dapat mengerti dirinya.

Dia memandangi laptopnya kembali. Pestanya seminggu lagi. Akankah dia memenuhi undangan yang telah Arsyad persiapkan? Dia belum menemukan sedikit pun jawaban dari apa yang benaknya pertanyakan sedari tadi. Biarkan saja.

Orang tuanya kemudian keluar dari kamarnya setelah yakin kalau putrinya itu kelihatan lebih baik. Meski mereka tahu, hatinya tidak akan dapat kembali pulih. Apa yang pernah patah, akan sulit untuk kembali utuh.

Seminggu ia gunakan untuk berpikir akan keputusannya untuk pergi atau tidak. Egonya mengatakan untuk mengabaikan, namun hati kecilnya mencoba untuk berdamai dengan kenyataan. Hingga ia mengambil keputusan paling berat dalam hidupnya, dia akan mendatangi pesta pernikahan mereka. Dia tidak ingin terlihat lemah. Dia harus kuat.

Semua persiapan telah selesai diurus. Hari yang ditunggu pun tiba, dia dan Maya telah berada di pesawat setelah selesai dengan urusan mereka di bandara. Arsyad memang niat dalam menjamu mereka. Terlihat dari segala fasilitas yang sudah ia persiapkan. Mulai dari tiket sampai hotel tempat mereka menginap. Bagaimana mungkin ia dapat melupakan sosok yang sangat baik itu?

Selama perjalanan, Maya selalu coba menegarkan Daisha. Karena Maya pernah menjadi teman curhat Daisha. Meski sebentar, namun ia sangat tahu bagaimana perasaan Daisha kini. Ia terluka lebih dari yang orang lain lihat. Daisha hanya dapat tersenyum samar untuk merespon Maya.

Tanpa terasa, hari pernikahan Arsyad pun tiba. Dengan keyakinan diri dan kemantapan jiwa, Daisha memberikan selamat kepada kedua mempelai. Dipandanginya gadis yang kini telah sah menjadi istri dari pria yang begitu ia puja itu. Dia bersyukur bahwa sosok yang bersanding dengan Arsyad adalah gadis baik-baik. Setidaknya, dia dapat bernapas lega karenanya.

Setelah mengucap selamat dan memberikan kado, dia tetap memperhatikan sang pengantin. Si pengantin wanita yang tampak menawan dengan cadar yang ia kenakan, dan si pria yang begitu tampan dengan tuxedo mewah yang membaluti badan gagahnya.

Dengan tersenyum pilu, ia menjauh dari kerumunan orang-orang yang sedang menikmati pesta. Dia tidak yakin akan dapat bertahan walau untuk sebentar lagi, sedang kini air mata sudah tertahan di pelupuk mata. Daripada ia membuat keributan di pesta orang, akan lebih baik kalau ia menjauh dari sana. Lagian urusannya pun sudah selesai. Untuk sejenak, dia melupakan Maya sebagai teman yang telah menemaninya tadi. Entah ada di mana Maya berada. Daisha tidak terlalu memikirkannya. Karena kini hatinya lebih penting untuk dijaga dan dipedulikan.

Satu hal yang dapat ia ambil pelajaran dari kisah penantian lima tahunnya ini. Jangan terlalu berharap kepada orang lain, apalagi sampai menyebutkan namanya dalam doa. Boleh saja, namun kamu harus siap untuk membentengi hati dari efek patah hati kemudian. Karena konsekuensi dari terlalu berharap adalah terlalu kecewa. Sadarlah, bahwa segala sesuatu yang berlebihan itu tidak akan berakhir baik. Jangan ragui kuasa Tuhan. Serahkan saja segalanya kepada sang sutradara terhandal. Yang kekuasaannya tidak perlu diragukan lagi. Jika pun ingin berdoa, minta saja yang terbaik. Niscaya hatimu akan tenang karena tidak ada harapan yang kamu nantikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun