Mohon tunggu...
Wachiddatun Nikmah
Wachiddatun Nikmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Dari Keresahan Menjadi Tulisan

Mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Cerita Pendek "Apel Merah" oleh Aksara Akanan

4 September 2021   21:56 Diperbarui: 4 September 2021   22:03 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apel Merah

Oleh: Aksara Akanan

"Tesa ...," aku memanggilnya dengan suara lirih, namun hanya sunyi yang menjawab.

Aku sempat berpapasan dengannya sebelum ia mempercepat langkahnya masuk ke dalam rumah. Sepertinya ia sedang ingin mengajakku petak umpet malam ini. Aku rasa ia butuh hiburan.

Aku memutuskan untuk ikut masuk ke dalam rumahnya. Lenggang, tak ada seorang pun di sana. Aku melangkah masuk, “Tesa ... di mana kamu?” ucapku dengan nada lirih, “aku sedang mencarimu.”

Sepekan terakhir rumah ini terlihat sunyi setelah muncul breaking news bahwa ada sepasang suami istri yang terjebak di dalam mobil. Naas mobil itu meledak setelah terguling ke dalam sebuah jurang di perjalanan pulang. Iya, pasangan itu adalah orang tua Tesa.

“Tesa ... kamu mau main petak umpet denganku?” ucapku masih dengan nada lirih, aku melangkahkan kaki lebih dalam. Ekor mataku selalu mengintip setiap ruangan yang kulalui.

“Baiklah, siapkan tempat persembunyian terbaikmu ya. Siap atau tidak, aku akan segera menemukanmu.”

Aku tahu Tesa pasti merasa sangat sedih atas kejadian yang dia alami. Tak punya siapa-siapa lagi, hanya seorang diri, cukup merampas setiap tawa yang biasanya ia sajikan setiap pagi. Tak tega rasanya melihat Tesa seperti ini, semoga dengan kehadiranku malam ini bisa membantunya keluar dari kesedihan yang selama ini ia hadapi.

Krek! Duk!

Terdengar suara pintu yang ditutup dengan langkah pelan dari arah dapur. Aku memutar pelan kepalaku 45 derajat menatap arah suara itu. “Tesa ... apakah itu kamu?” tanyaku lirih. “Bersiaplah Tesa, tak lama lagi aku akan menghampirimu.”

Aku melangkahkan kakiku ke arah dapur. Bola mataku tertuju pada sebuah almari berukuran cukup besar dengan dua pintu. Salah satu pintu itu terlihat sedikit bergoyang, dan aku rasa cerita ini akan segera berakhir.

“Tesa ... aku tahu kamu di dalam sana,” ucapku sembari melangkahkan kaki pelan menuju almari itu. “Cepatlah keluar Tesa, ayo kita gantian jaga.”

Aku menyandarkan diri pada sebuah kursi meja makan, persis di depan almari. Sayup-sayup aku mendengar suara napas tersengal-sengal dari dalam sana.

“Apakah kamu masih nyaman bersembunyi di dalam ruangan sempit itu Tesa?” tanyaku sedikit berbisik. “Baiklah, jika itu mau kamu, aku akan tetap mengizinkanmu di sana.”

Aku mengambil sebuah apel merah di atas meja makan itu. Aku melebarkan pandangan mencari suatu benda yang mungkin bisa digunakan untuk memotong apel ini. Namun, aku hanya menemukan satu benda, bentuknya seperti pisau potong, tapi sayang sekali sepertinya sudah lama tidak dipakai dan terlihat noda karat di ujungnya.

“Tesa, apakah aku boleh minta apel merahmu ini satu?”

Tak ada jawaban. Kata orang, jika seseorang hanya diam maka itu artinya setuju. Aku menggigit apel itu. “Ah sial,” gumamku. Tak seperti permukaannya yang begitu renyah saat digigit, dagingnya terasa lembek dengan warna coklat pudar yang menjijikkan.

“Sepertinya kamu ingin mengerjaiku ‘kan, Tesa?” aku berbisik tepat di depan pintu almari. “Apel ini busuk.” Aku meletakkan apel merah itu di atas meja tepat di hadapanku. Tangan kananku meraih pisau potong dengan karat di ujungnya yang baru saja kutemukan tadi.

“Apakah kamu tahu, Tesa? Bahwa kita tak seharusnya membiarkan sesuatu yang sudah tak segar lagi. Lihatlah apel merah ini, ia sudah layu, dan akhirnya hanya menimbulkan parasit.” Aku menghentikan kalimatku sejenak, pandanganku terfokus pada apel yang sudah tak utuh itu.

“Biarkan aku memperlihatkan kepadamu Tesa, bagaimana kita bisa membebaskan apel ini dari parasit yang menyerangnya.”

Sial, cairan dari apel itu menciprat ke pelupuk mataku setelah aku memukulkan pisau bagian cuting edge dengan sekali hantam. Apel ini memang sangat lembek. Aku mencabik-cabik apel itu dengan gaya mencincang daging kasar.

“Apakah kau melihat itu, Tesa?” tanyaku di tengah aktivitas mencincang apel ini. “Nah kan, apel ini sudah hancur dan dia tidak menjadi tempat parasit sialan ini lagi.”

Sayup-sayup terdengar isak tangis yang tertahan, “Tesa, apakah kau menangis di dalam situ?” tanyaku menatap lemari besar yang terbuat dari kayu jati, itu terlihat sangat kokoh. “Ada apa? Kau merindukan orang tuamu, Tesa?”

Aku beranjak dari tempat dudukku, berjalan mengelilingi setiap sudut ruang makan ini. Ruangan ini sepertinya terlalu luas hanya untuk tempat makan tiga orang, apalagi sekarang hanya sisa satu orang. Langkahku terhenti di depan sebuah bingkai foto dengan tiga sosok wajah yang mengisi di sana. Terasa hangat aura keluarga ini. Namun sayang, sekarang sudah tertutup debu yang menyerbak pangkal hidungku.

Aku teringat kembali pada seseorang yang masih bersembunyi di balik pintu almari jati itu. Aku menengok ke arah sana, dan belum ada tanda-tanda pergerakan. Aku melanjutkan aktivitasku.

Tak berselang lama, aku memutuskan untuk segera menyudahi segala drama ini. Harus sudah terlalu larut malam untuk bermain. “Tesa, aku pulang dulu ya. Sudah malam, selamat istirahat,” ucapku padanya.

Tak ada suara yang menyahut dari dalam sana. Lupakan saja. Aku akan membiarkannya tenang. Aku tetap menunggu dengan setia di sana. Ucapku pada Tesa tadi hanya untuk kebohongan, agar dia tenang, dan mau keluar dari tempat persembunyiannya. Setelah itu terjadi, maka aku akan segera menyelesaikan semua penderitaan dan parasit yang mengerubungi dirinya.

Satu jam berlalu. Benar saja, pintu almari kayu itu terdengar sedikit bergetar. Aku masih sabar menunggu semuanya berjalan ke arahku. Terdengar lagi pintu yang dibuka, dan aku yakin seseorang telah keluar dari tempat persembunyiannya.

Suara langkah terseret-seret berjalan semakin dekat ke arahku. Aku masih menunggu dengan sabar. Tak butuh waktu lama, seorang gadis remaja muncul di depanku. Mata kami saling bertemu, namun dengan respon yang berbeda.

“Hai, Tesa. Sudah lelah dari tempat persembunyianmu?” sapaku dengan senyum tipis mengembang.

“Mau apa kau ke sini?” ucapnya dengan nada bergetar.

“Hei, tak perlu panik. Aku datang ke sini hanya untuk membantumu keluar dari penderitaanmu selama ini, Tesa.”

Ia memundurkan langkahnya beberapa ketukan ke arah pintu keluar. Namun sayang, aku sudah menekan remote control untuk menutup satu-satunya pintu di ruangan ini.

“Apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyanya masih dengan nada bergetar, aku rasa ia ketakutan melihatku.

Aku melirik sebuah benda yang sedari tadi masih kugenggam erat. “Apakah kau memperhatikan apel merah tadi, Tesa?” Aku kembali melirik ke arahnya. Ia terlihat semakin berkeringat, rasa takut dan cemas sudah memenuhi raut mukanya.

“Aku sudah membebaskan apel merah tadi dari parasit-parasit yang menyerangnya dalam proses pembusukan. Sekarang buah itu telah terbebas dari penderitaannya,” ucapku hati-hati.

Aku beranjak dari dudukku. Melangkah pelan mendekati gadis itu. Cukup. Aku tak tahan lagi melihatnya dalam penderitaan ini. Aku harus segera mengakhirinya. Tak jauh jarak kami berdiri, hanya butuh beberapa langkah aku sudah berada tepat di depannya.

“Kenapa kau menangis, Tesa? Apakah ini air mata terakhirmu? Kau sangat merindukan kedua orang tuamu ‘kan? Kau ini kalian kembali bertiga menjadi keluarga yang utuh ‘kan?”

Air mata gadis itu terus mengucur semakin deras. Isakan tangis mulai terdengar parau.

Baiklah. Sekarang adalah waktuku untuk melakukan aksiku dalam pembebasan penderitaan Tesa di dunia. “Selamat tinggal, Tesa. Selamat bersenang-senang.”

Aku menghantamkan benda tajam yang sedari tadi kupegang. Pisau potong berkarat itu dengan lancar menusuk perut gadis remaja malang ini. Darah segar mengucur deras. Aku menusuknya berkali-kali. Sampai di titik terakhir, aku harus memotong daerah sendi vitalnya untuk memutus kehidupannya.

Bau anyir darah mulai tercium. Gadis itu telah terbebas dari penderitaannya. Ia terkulai lemas tak bernyawa dengan berlumurkan darah yang mensucikan dirinya dari dunia.

Sekali lagi kuucapkan, “Selamat tinggal, Tesa. Salam untuk mama dan papa.”

TAMAT

Bionarasi

Aku Aksara Akanan. Di umur 21 tahun ini aku sedang berjuang untuk menempuh gelar S.Fil dari kampus biru di kota Yogyakarta. Kota kelahiranku disebut sebagai kota ukir. Aku senang berkicau di Twitter dan berkeluh kesah di podcast. Kalian bisa temui aku di Instagram: @aksara_akanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun