“Hei, tak perlu panik. Aku datang ke sini hanya untuk membantumu keluar dari penderitaanmu selama ini, Tesa.”
Ia memundurkan langkahnya beberapa ketukan ke arah pintu keluar. Namun sayang, aku sudah menekan remote control untuk menutup satu-satunya pintu di ruangan ini.
“Apa yang akan kau lakukan padaku?” tanyanya masih dengan nada bergetar, aku rasa ia ketakutan melihatku.
Aku melirik sebuah benda yang sedari tadi masih kugenggam erat. “Apakah kau memperhatikan apel merah tadi, Tesa?” Aku kembali melirik ke arahnya. Ia terlihat semakin berkeringat, rasa takut dan cemas sudah memenuhi raut mukanya.
“Aku sudah membebaskan apel merah tadi dari parasit-parasit yang menyerangnya dalam proses pembusukan. Sekarang buah itu telah terbebas dari penderitaannya,” ucapku hati-hati.
Aku beranjak dari dudukku. Melangkah pelan mendekati gadis itu. Cukup. Aku tak tahan lagi melihatnya dalam penderitaan ini. Aku harus segera mengakhirinya. Tak jauh jarak kami berdiri, hanya butuh beberapa langkah aku sudah berada tepat di depannya.
“Kenapa kau menangis, Tesa? Apakah ini air mata terakhirmu? Kau sangat merindukan kedua orang tuamu ‘kan? Kau ini kalian kembali bertiga menjadi keluarga yang utuh ‘kan?”
Air mata gadis itu terus mengucur semakin deras. Isakan tangis mulai terdengar parau.
Baiklah. Sekarang adalah waktuku untuk melakukan aksiku dalam pembebasan penderitaan Tesa di dunia. “Selamat tinggal, Tesa. Selamat bersenang-senang.”
Aku menghantamkan benda tajam yang sedari tadi kupegang. Pisau potong berkarat itu dengan lancar menusuk perut gadis remaja malang ini. Darah segar mengucur deras. Aku menusuknya berkali-kali. Sampai di titik terakhir, aku harus memotong daerah sendi vitalnya untuk memutus kehidupannya.
Bau anyir darah mulai tercium. Gadis itu telah terbebas dari penderitaannya. Ia terkulai lemas tak bernyawa dengan berlumurkan darah yang mensucikan dirinya dari dunia.