Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kain Jarik Simbok

22 Juni 2023   16:55 Diperbarui: 22 Juni 2023   16:56 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

 

Sudah sekian tahun simbok di desa menyuruhku untuk pulang kampung. Tetapi aku selalu menjawab, "Nanti, Mbok! Kalau anakmu ini sukses pasti akan pulang dan membanggakkanmu." Dari balik telepon jadul ini, suara desahan napas kecewa sudah kudengar untuk kesekian kalinya. Wanita tua yang melahirkanku itu selalu menegaskan kalau tidak usah mengejar yang tidak pasti. Silakan pulang, simbok tidak akan kecewa. Namun, aku selalu menolak saat teringat kesuksesan teman sebayaku yang merantau ke kota-kota besar.

Aku adalah pekerja serabutan di kota metropolitan. Sebuah kota yang khas dengan kisah pertempuran antara Sura dan Baya. Yaps! Tepat sekali, aku merantau di Kota Surabaya. Sebuah tempat yang lumayan panas, daripada tempatku di Wonosobo. Keputusan untuk merantau ini kupilih karena menjadi orang kecil di desa di era gadget digital hanya di pandang sebelah mata---selalu menjadi pusat gunjingan---serta hidup yang tidak tenang, dengan gaya pamer para tetangga.

"Hoi, Abdul! Awakmu iku lapo ngelamun?" tegur sebuah suara di belakang sambil menepuk pundakku.

"Hoalah kamu to, Bayu! Biasa lah, Simbok di kampung menyuruhku pulang."

Teman seperjuanganku yang asli dari Ponorogo itu lantas duduk di sebelahku. Ia belum menanggapi penjelasanku. Matanya ikut nanar menatap keramaian kota. Suara kelakson, deru mesin, dan asap knalpot sejenak mencuri perhatianya. Aku sendiri juga kembali tenggelam pada renungan kehidupan pedesaan. Berasal dari keluarga miskin, menuntutku harus berpikir keras untuk membiayai simbok dan ketiga adikku di rumah.

"Kamu enak Abdul, Masih ada orang yang menginginkan dirimu pulang. Lha aku? Sudah sebatang kara, istri di bawa lari orang, dan semua hartaku habis di bawa mantan istriku itu," Keluh Bayu. Mendengar itu kualihkan pandangan menatapnya. Bayangan kampung sudah lenyap 5 menit lalu.

"Iya juga. Tetapi zaman sekarang orang merantau itu kalau pulang tidak sukses, hanya akan menjadi bahan gunjingan tetangga."

Sebuah jarik kumal sendari tadi kugenggam erat. Kain yang kubawa sebagai obat rindu pada simbok, Hanya inilah barang satu-satunya pengganti, dikala aku rindu pelukannya. Setiap ada perintah pulang dan aku belum bisa, jarik inilah yang setia dalam genggaman, terkadang aku juga menciuminya sembari membayangkan wajah simbok. Tekadku bulat, pantang pulang sebelum sukses!

***

Gedung dengan macam-macam mesin produksi, menjadi tempatku menggantungkan nasib. Sungai dengan air kecoklatan di sebelah kiri pabrik, kadang menjadi tempat untuk mengingat sungai jernih di kampung. Hari ini pesanan dari beberapa daerah cukup ramai. Ribuan karyawan seperti semut pekerja. Saling membantu, berteriak, dan kegaduhan lain yang riuh di sekelilingku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun