"Oi wonten nopo thoMas Abdul? Kok sajake ketingal galau," celetuk karyawan di sampingku.
"Walah Mas Nur! Mboten nopo-nopo kok. Mungkin awakku lagi kecapekan, Mas."
Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Ribuan botol minuman teh  ini harus segera selesai. Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru, tampak kelompok-kelompok kecil tengah asyik membahas soal pulang kampung. Mereka tampak antusias sekali. Di antara terangnya lampu dan gerungan mesin pabrik, kicauan para karyawan itu seperti menyindirku.
Saat jam pulang pabrik tiba, Aku melihat sohibku tengah merapikan barang bawaannya di loker karyawan, "Oi, Mas Bayu! Ayo pulang bareng," ajakku. Ia  membalas dengan anggukan. Kami berjalan beriringan menyusuri terotoar pinggiran kota Surabaya. Sore ini jalanan tampak macet.
Di sela langkah, kami tidak sempat berbincang. Aku dan Bayu sibuk dengan topik di benak masing-masing. Aroma khas penjual gorengan di dekat pabrik lumayan membuat liurku menetes. Tetapi aku ingat kalau harus rajin menabung; Agar lekas bisa kembali ke kampung.
"Enak ya jadi seperti mereka," tunjuk bagus pada iringan pejabat yang lancar menerobos kemacetan.
Mendengar ucapan karibku itu, aku sejenak memandang ke arahnya. Kutatap lekat wajah yang sudah tampak letih itu. Lalu aku juga mengikuti arah pandangnya ke iringan para pejabat, "Iya juga. Tetapi mereka itu sibuk sekali."
"Dari mana sibuk? Wong tiap hari hanya rapat-rapat dengan anggaran tidak masuk akal," celetuk Bayu. Kami pun tertawa lepas.
***
Bulan setengah lingkaran tampak mengangkasa gagah. Di sekitarnya ribuan bintang tampak jelas ikut mencumbui langit malam. Aku kini tengah bersantai di depan kost. Secangkir kopi dan sebungkus rokok nangkring di meja kecil di hadapanku. Netraku berusaha menjelajahi pekatnya atap dunia itu. Di sana, aku seolah melihat wajah simbok yang terlukis dari gemintang. Raut tua itu tampak lembut menatapku. Wajah itu seperti berbicara padaku, "Nak, piye gawean-mu nang Suroboyo?."
"Alhamdulillah, Mbok! Rasanya iku berat banget. Tetapi ini semua untuk keluarga," balasku.