Kembali kulihat gemintang itu seolah berkedip padaku. Kini, rembulan itu tampak ikut meramaikan obrolan. Ia bersinar dengan lebih terang. Lenguhan burung hantu, berkesiur di bawa angin malam. Kepakan sayap kelelawar sesekali melintas di atap kost.
"Nak, sekarang di kampung itu sudah bahagia. Sawah-sawah kita sudah kembali di tanami."
Kembali wajah dari susunan bintang itu berbicara. Ia melanjutkan, sawah yang dahulunya kering, kini bisa subur karena air berhasil di bendung. Akibat penebangan liar itu sudah bisa di atasi. Sekarang para penduduk tengah ramai menanam kembali pepohonan. Ada beringin, akasia, sengon, jati, dan pohon nangka. Ku rasakan wajah simbok itu semakin dekat dengan tempatku duduk. Aku seolah bisa merasakan hangat tubuhnya.
"Cepat pulang ya, Nak! Simbok sudah tidak lama lagi," ujarnya sambil mencium keningku. Saat aku berusaha meraihnya, wajah itu tampak melesat cepat ke angkasa.
"Simboooook!" teriakku.
Aku masih dalam kondisi sama. Duduk di depan kost. Yang berbeda, kini kedua mataku sudah basah. Ternyata kejadian barusan adalah mimpi. Maksud dari pesan simbok apa? Mungkinkah kini beliau tengah sakit? Kopi yang kubuat tadi, kini gelasnya dingin  dengan air pekat yang masih utuh. Ia seperti menyeringai dalam pandanganku. Seolah, ia menertawaiku yang menangis. Tidak kusangka, jarik simbok sendari tadi ku gunakan untuk menutupi kepala. Segera ku ambil kain itu, lantas menciuminya.
***
Cuaca pagi ini sangat kelabu. Awan-awan hitam menggantung malas di langit. Beberapa kali butiran air itu sempat turun, bagai air mata kesedihan yang perlahan membasahi bumi. Di dalam kamar diriku tengah bergulat dengan ego---memutuskan pulang---resikonya aku belum memiliki hal yang bisa di banggakan. Tengah runyam dengan pergulatan itu, aku di kagetkan suara petir yang tiba-tiba menyambar garang.
"Apa yang terjadi?" gumamku sembari melongokan kepala keluar. Ternyata petir itu menyambar pohon kelapa di sebelah bangunan kost.
Semula air yang turun tampak pelan dan sahdu, kini dengan beringas jatuh bagai luapan kemarahan. Dari balik jendela, aku kembali tercekat dengan kumpulan awan yang seolah membentuk wajah simbok. Ribuan titik air itu turun tanpa ampun. Alam seolah ingin menyampaikan sesuatu padaku.
"Ahh. Mungkin tahun depan saja aku pulang. Toh ada Azizah di rumah yang mendampingi simbok. Terpenting, uang bulanan mereka terpenuhi," putusku saat menatap bayanganku dari pantulan cermin.