Mohon tunggu...
Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah, Kadang Gemar Berimajinasi

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kain Jarik Simbok

22 Juni 2023   16:55 Diperbarui: 22 Juni 2023   16:56 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Belum lama memikirkan hal tersebut, tiba-tiba gelegar halilintar kembali terdengar. Kini suara-suara itu semakin kencang. Alam seolah meneriaki kebodohanku. Aku pun tersadar dengan kejanggalan ini. Detak jantungku langsung terpacu kencang. Tembok kamar yang tadinya putih, kini dalam pandanganku tampak redup. Cecak yang tiap pagi kulihat di pojok sudut atas ruangan, tiba-tiba ia kini terjatuh mati menimpa kepalaku.

Berulang kali aku mencoba menelpon kampung. Tetapi tidak satu pun panggilan ini terbalas. Perasaanku sangat gusar. Apa yang sedang terjadi? Mengapa kini alam seolah memarahiku? Hujan di luar kini bertambah deras dengan sapuan angin kencang. Atap kost yang tidak pernah mengalami kebocoran, menerima curahan hujan kali ini tidak dapat bertahan. Beberapa titik kini mulai tergenangi air.

***

Berbagai bayangan buruk berkelebat liar di benakku. Mitos kampung jika ada cecak yang mati menimpa kepala, maka dalam keluarga itu akan ada yang meninggal, cukup membuat bulu romaku berdiri. Kulirik cecak yang tadi kubungkus pelastik di atas meja. Apa semua ini pertanda?

"Assalamualaikum, Mas Bayu! Aku mohon izin tidak berkerja hari ini. Aku tengah mempersiapkan diri untuk pulang ke desa," pamitku pada Bayu yang kutelepon.

Bulat sudah keputusanku. Hari ini juga, aku harus berangkat ke Wonosobo. Di atas meja, kini aku tengah berkutat dengan kertas yang kutulisi surat permohonan cuti untuk pabrik tempatku berkerja. Kalap, kutuangkan alasan-alasan untuk pamit. Ujung pena seolah berlomba lari dengan jarum jam. Bayangan buruk itu tidak siap kuhadapi. Pesan-pesan simbok yang kudapatkan kemarin malam, hari ini berhasil melunturkan egoku. Tanpa perlu persiapan banyak, aku kini berlari menerobos lebatnya hujan. Kakiku seolah melayang di antara badai air. Genangan besar, satu, dua kulompati dengan cekatan.

***

Aku berdesakan dengan penumpang angkot lain menuju terminal. Gerutuan mereka yang terkena basah tubuhku tidak kupedulikan. Di pelupuk mata, hanya bayangan simbok dengan senyumanya, yang kini ingin kulihat. Jarik lusuh tergenggam erat di tanganku. Tidak lama berselang, kini terminal Surabaya sudah menyambutku. Beberapa bus terparkir rapi di jalur masing-masing. Aku segera melangkah menuju agen penjual tiket.

"Ini mas tiketnya! Bus-nya yang warna hijau itu ya," tunjuk petugas sambil menyerahkan tiket.

"Matur suwun, Pak! Saya permisi dahulu," pamitku.

Suasana terminal lumayan ramai. Beberapa orang yang datang tampak di sambut oleh keluarganya. Mataku kini sudah berkaca-kaca tidak kuat menahan rindu yang sudah terkumpul 5 tahun. Dengan langkah lesu, kuarahkan tubuh ini di kursi tunggu dan memesan kopi pada penjual kopi keliling. Setengah jam menunggu, panggilan pada penumpang jurusan Wonosobo menyentak lamunanku. Bergegas, aku berlari ke tempat parkir bus yang dimaksud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun