"Iya, pak. Hari ini akan ada pelajaran mengarang. Buku bekas dari tetangga sudah habis semua!" imbuhnya dengan tangis.
Sebenarnya aku bukan tidak mau membelikan. Namun, uang narik hanya cukup untuk memenuhi penyambung hidup. Dengan wajah tersenyum, ku usap kepala anaku. Sekuat tenaga, aku berjuang agar tidak meneteskan air mata. Permintaan Dina hanya buku tulis. Namun, barang itu belum bisa kupenuhi. Bapak macam apa aku ini? Batinku nelangsa.
"Doakan bapak ya nak! Semoga hari ini banyak yang naik becak. Biar nanti Dina bisa punya buku baru."
Anaku akhirnya terdiam. Dengan anggukan kepala, dia lantas menghampiri ibunya. Sarapan pagi dengan nasi dan garam sudah bukan hal asing baginya. Aku sendiri bersyukur memiliki anak yang bisa memahami orang tua. Meski begitu, akan kubuktikan pada dunia, akulah ayah terbaik untuknya.
"Bu, bapak berangkat dahulu."
"Iya Pak, hati-hati. Jangan lupa bekalnya dibawa" balas istrikku sembari mencium tanganku.
Dina masih murung di depan. Bukan tidak paham perasaanya. Namun, hanya dorongan semangat dan kehadiranku selalu di sampingnya yang pasti tidak akanhilang. Setelah mengantarnya sekolah, kembali kuarahkan becak ke tempat mangkal pertama, di gang pasar.
***
Hari ini tidak seperti biasanya. Pengunjung pasar tampak sepi. Sendari tadi tidak ada penumpang. Terik matahari sudah tidak lagi kuhiraukan. Yang ada dipikiranku , segera mendapatkan penumpang, dan lekas membelikan buku tulis untuk Dina. Hingga tepukan pelan di pundak mengagetkanku.
"Pak, tolong antarkan saya ke alamat ini," ujar seorang gadis, memberikan secarik kertas.
"Ohh! Baik Neng, Silakan naik dahulu."