Tanah masyarakat adat Malind di Papua Selatan bukanlah tanah kosong. Tanah ini telah dihuni, dikelola, dan dimaknai oleh masyarakat Suku Malind selama berabad-abad. Bagi Suku Malind, tanah bukan sekadar aset ekonomi; ia merupakan warisan leluhur yang kaya akan nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan hubungan mendalam dengan alam.
Tanah adat Malind mencakup hutan, sungai, lahan, dan ekosistem lain yang memiliki makna sakral serta fungsi vital dalam kehidupan sehari-hari mereka. Tanah ini adalah sumber penghidupan mereka, tempat mereka berburu, bercocok tanam, mencari bahan pangan, dan mendapatkan obat-obatan alami. Selain itu, tanah adat juga menyimpan cerita-cerita leluhur, tempat-tempat sakral, dan ritus budaya yang menjadi bagian dari identitas Suku Malind.
Namun, dengan adanya proyek-proyek pembangunan, terutama Program Strategis Nasional (PSN) dan kegiatan industri seperti perkebunan sawit serta perkebunan tebuh dengan skala yang sangat besar, wilayah ini sering kali dianggap sebagai lahan kosong yang bisa diambil alih tanpa mempertimbangkan hak-hak adat. Proses yang terjadi pun seringkali tanpa persetujuan penuh atau partisipasi aktif dari masyarakat adat, dan ini mengabaikan nilai-nilai yang melekat pada tanah mereka.
Persepsi bahwa tanah adat Malind adalah "tanah kosong" merupakan pandangan yang keliru dan tidak menghargai hak-hak masyarakat setempat. Tanah adat ini memiliki fungsi dan makna yang dalam bagi Suku Malind, yang tidak bisa begitu saja digantikan dengan uang atau ganti rugi material. Penghormatan terhadap hak-hak adat dan kearifan lokal sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup, identitas, dan kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka.
Oleh karena itu, pemerintah, korporasi, dan masyarakat luas perlu menyadari bahwa tanah adat Malind bukanlah "tanah kosong," melainkan tanah yang hidup dengan budaya, sejarah, dan keberlanjutan ekologis yang harus dihormati dan dilestarikan. Pembangunan yang menghargai hak adat dan melibatkan masyarakat setempat secara langsung adalah langkah penting untuk memastikan kesejahteraan masyarakat adat sekaligus mendukung pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan di Papua Selatan.
Negara Harus Menghormati Hak-hak Masyarakat Adat.
Pandangan negara terhadap masyarakat adat di Indonesia seringkali didasari oleh dua kepentingan utama: integrasi nasional dan pembangunan ekonomi. Negara mengakui keberadaan masyarakat adat dalam konstitusi dan peraturan tertentu, seperti Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2), yang menyebutkan bahwa negara menghormati hak-hak masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun, dalam praktiknya, hak-hak masyarakat adat masih sering kali terbentur dengan berbagai kebijakan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Di satu sisi, negara melihat masyarakat adat sebagai bagian penting dari keragaman budaya dan identitas nasional.
Pengakuan terhadap hak-hak adat juga diatur dalam beberapa undang-undang lain, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang memberikan pengakuan atas desa adat.
Untuk memperbaiki hal ini, banyak pihak mengadvokasi agar negara lebih serius dalam melindungi hak-hak masyarakat adat melalui pengesahan Undang-Undang Masyarakat Adat yang khusus, serta melibatkan mereka secara aktif dalam setiap proyek yang mempengaruhi wilayah adat mereka. Pandangan negara yang lebih menghargai masyarakat adat diharapkan dapat mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, yang mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat serta keseimbangan ekologis.
Perampasan tanah masyarakat adat Suku Malind di Papua Selatan untuk Program Strategis Nasional (PSN) telah menjadi isu yang mendalam dan kompleks. Suku Malind, yang mendiami wilayah Merauke dan sekitarnya, memiliki hubungan yang erat dengan tanah dan hutan mereka. Tanah adat mereka bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga berperan penting dalam identitas budaya, sejarah, dan spiritualitas mereka. Namun, banyak lahan adat mereka diambil alih untuk berbagai proyek PSN, terutama untuk kawasan perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur skala besar.
Salah satu contoh yang sering menjadi sorotan adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, tetapi dalam pelaksanaannya justru mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Suku Malind. Banyak lahan adat mereka diambil alih tanpa izin atau persetujuan penuh, dan proses ganti rugi sering kali tidak adil. Selain itu, penggundulan hutan yang masif untuk perkebunan besar menyebabkan degradasi lingkungan, merusak ekosistem yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan alami masyarakat adat.
Dampaknya sangat besar bagi masyarakat Suku Malind, mulai dari hilangnya akses ke sumber daya alam dan lahan pertanian hingga kerusakan budaya dan spiritualitas yang berakar pada hubungan mereka dengan tanah dan alam sekitar. Kehilangan tanah juga mengakibatkan kerawanan ekonomi, di mana mereka tidak lagi bisa mengandalkan hasil alam untuk kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Suku Malind dan pendukung hak masyarakat adat mendesak agar pemerintah Indonesia lebih serius dalam melindungi hak-hak tanah adat mereka. Langkah-langkah seperti pengakuan hukum atas tanah adat, keterlibatan aktif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, serta penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal sangat penting. Pembangunan yang berkelanjutan dan adil harus melibatkan masyarakat lokal secara langsung, bukan hanya demi keberhasilan program, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan sosial dan keberlanjutan lingkungan di Papua Selatan.
Merauke dalam Genggaman Oligarki dan Korporat Untuk Kepentingan Sudah Sembada Pangan Melalui Program Strategis Nasional.
Merauke, yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tanah subur dan ekosistem yang kaya di Papua Selatan, memang berada dalam genggaman kepentingan oligarki dan korporasi besar melalui berbagai proyek Program Strategis Nasional (PSN) yang bertujuan mencapai swasembada pangan dan energi. Salah satu proyek terbesar adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang diluncurkan untuk mengembangkan lahan pertanian skala besar sebagai upaya meningkatkan produksi pangan nasional, terutama padi, jagung, dan kedelai, serta sumber energi seperti kelapa sawit.
Menurut beberapa laporan dari organisasi lingkungan dan masyarakat sipil, proyek MIFEE sendiri pada awalnya menargetkan sekitar 1,2 juta hektar untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Dalam proyek ini, hutan yang masuk dalam wilayah adat Malind banyak yang ditebang dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian skala besar atau perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan penggundulan hutan secara masif yang berdampak pada degradasi lingkungan serta mengganggu keberlangsungan hidup masyarakat adat setempat.
Namun, proyek ini memiliki dampak besar pada masyarakat adat, terutama Suku Malind, yang tanah adatnya dijadikan target utama untuk konsesi lahan. Dalam pelaksanaan MIFEE dan proyek-proyek besar lain yang melibatkan konsesi lahan, oligarki dan korporasi besar memiliki pengaruh besar, menguasai area yang luas untuk kepentingan industri tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologi yang signifikan.
Kepentingan korporat dalam proyek ini sering kali menempatkan prioritas pada keuntungan jangka pendek dan penguasaan lahan dalam skala besar, yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem setempat. Konsep "swasembada" yang digaungkan melalui PSN justru sering kali mengorbankan hutan adat dan lahan subur yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal.
Masyarakat adat Merauke, khususnya Suku Malind, sangat terdampak oleh deforestasi, degradasi lingkungan, dan hilangnya tanah adat. Selain kehilangan akses ke sumber daya alam, mereka juga mengalami perubahan sosial yang cepat dan konflik kepentingan akibat masuknya tenaga kerja luar dan korporasi besar. Proyek-proyek besar ini sering kali dilakukan tanpa transparansi dan minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencegah dampak yang lebih besar, diperlukan pengawasan ketat dan kebijakan yang berpihak pada hak-hak masyarakat adat, pengakuan formal atas tanah adat, serta perlindungan terhadap keberlanjutan ekologi di Merauke. Tanpa langkah-langkah tersebut, program swasembada pangan yang dicanangkan bisa jadi akan membawa lebih banyak kerugian sosial dan lingkungan bagi Merauke dibandingkan manfaat yang diharapkan.
Dampak Buruk Dari Program Strategis Nasional Kepada Masyarakat Adat.
Program Strategis Nasional (PSN) memang sering kali membawa dampak buruk bagi masyarakat adat, terutama mereka yang wilayahnya kaya sumber daya alam. Beberapa dampak buruk dari PSN terhadap masyarakat adat mencakup sangat buruk antara lain
1. Kehilangan Tanah dan Sumber Penghidupan
Banyak PSN yang berfokus pada perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur besar sering mengambil lahan masyarakat adat tanpa persetujuan penuh atau ganti rugi yang adil. Tanah adat yang telah dikelola dan diwariskan secara turun-temurun dialihfungsikan, memaksa masyarakat adat kehilangan sumber penghidupan mereka.
2. Degradasi Lingkungan dan Ekosistem
Penggundulan hutan, perubahan tata air, dan pencemaran yang disebabkan oleh proyek-proyek PSN merusak ekosistem setempat yang menjadi tumpuan hidup masyarakat adat. Hutan yang ditebang untuk perkebunan sawit atau tambang, misalnya, menghilangkan keanekaragaman hayati dan sumber makanan alami serta bahan obat-obatan.
3. Kehilangan Identitas Budaya dan Spiritual
Bagi banyak masyarakat adat, tanah bukan hanya aset ekonomi tetapi juga ruang spiritual dan budaya. Tempat-tempat sakral, situs sejarah, dan hutan keramat sering kali ikut hilang dalam proyek-proyek besar ini. Hilangnya tanah adat berarti juga kehilangan ruang bagi ritual, adat, dan warisan budaya yang sangat berharga bagi identitas masyarakat adat.
4. Marginalisasi Ekonomi dan Sosial
Meskipun PSN diharapkan membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan perekonomian lokal, masyarakat adat sering kali tidak mendapatkan manfaat langsung. Pekerjaan yang diciptakan lebih banyak diambil oleh tenaga kerja dari luar, sementara masyarakat adat cenderung tidak mendapatkan posisi atau pelatihan yang memadai. Hal ini semakin memperparah kesenjangan ekonomi dan memarjinalkan masyarakat adat di tanah mereka sendiri.
5. Konflik Sosial
Masuknya perusahaan besar dan tenaga kerja dari luar sering menimbulkan konflik dengan masyarakat adat, yang merasa hak-hak mereka tidak dihormati. Pertentangan antara kepentingan korporasi dan masyarakat adat ini dapat memicu ketegangan sosial dan, dalam beberapa kasus, memunculkan kekerasan serta kriminalisasi terhadap tokoh adat yang mempertahankan tanahnya.
Dampak buruk ini menunjukkan bahwa PSN, meskipun bertujuan meningkatkan ekonomi dan pembangunan nasional, sering kali mengorbankan hak-hak dan kesejahteraan masyarakat adat. Agar pembangunan nasional lebih adil, diperlukan kebijakan yang memastikan hak-hak adat dihormati, termasuk pengakuan formal atas tanah adat, keterlibatan aktif masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan keputusan, serta perlindungan terhadap keberlanjutan ekologis dan budaya mereka.
Papua Selatan Dalam Ancaman Deforestasi Akibat dari Penggundulan Hutan Adat.
Papua Selatan, khususnya wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat seperti Suku Malind, memang menghadapi ancaman serius akibat deforestasi dan penggundulan hutan adat yang semakin meluas. Proses ini sebagian besar dipicu oleh berbagai proyek besar yang didorong oleh Program Strategis Nasional (PSN), seperti perkebunan skala besar (sawit, tebuh), pertambangan, dan proyek infrastruktur lainnya. Hutan adat yang telah menjadi bagian dari identitas budaya dan kehidupan masyarakat adat selama berabad-abad, kini semakin terancam akibat aktivitas yang merusak ekosistem.
Dampak Deforestasi terhadap Papua Selatan.
Kerusakan Ekosistem Hutan Papua Selatan merupakan salah satu kekayaan alam terbesar di Indonesia, dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Penggundulan hutan mengancam habitat bagi spesies langka dan endemik, serta merusak siklus hidrologi yang vital untuk pertanian dan sumber air masyarakat adat.
Ancaman terhadap Keberlanjutan Hidup Masyarakat Adat, Masyarakat adat seperti Suku Malind sangat bergantung pada hutan untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk bahan pangan, obat-obatan, dan tempat tinggal. Penggundulan hutan menghilangkan akses mereka terhadap sumber daya alam tersebut, yang dapat menyebabkan kerawanan pangan dan kehilangan identitas budaya yang erat terkait dengan tanah dan alam sekitar.
Perubahan Iklim, Deforestasi juga memiliki dampak global terhadap perubahan iklim. Hutan tropis Papua Selatan berperan penting dalam menyerap karbon dioksida. Penggundulan hutan meningkatkan emisi gas rumah kaca, yang memperburuk pemanasan global.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H