Mohon tunggu...
Waatwahan Albert
Waatwahan Albert Mohon Tunggu... Penulis - Aktivis Desa

opini kampung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tanah Masyarakat Adat Malind Bukan Tanah Kosong

15 November 2024   19:42 Diperbarui: 15 November 2024   20:08 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rufinus KaimbePengurus Pusat PmkriPeriode 2024-2026

Perampasan tanah masyarakat adat Suku Malind di Papua Selatan untuk Program Strategis Nasional (PSN) telah menjadi isu yang mendalam dan kompleks. Suku Malind, yang mendiami wilayah Merauke dan sekitarnya, memiliki hubungan yang erat dengan tanah dan hutan mereka. Tanah adat mereka bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga berperan penting dalam identitas budaya, sejarah, dan spiritualitas mereka. Namun, banyak lahan adat mereka diambil alih untuk berbagai proyek PSN, terutama untuk kawasan perkebunan, pertambangan, dan infrastruktur skala besar.

Salah satu contoh yang sering menjadi sorotan adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Proyek ini awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, tetapi dalam pelaksanaannya justru mengancam keberlangsungan hidup masyarakat Suku Malind. Banyak lahan adat mereka diambil alih tanpa izin atau persetujuan penuh, dan proses ganti rugi sering kali tidak adil. Selain itu, penggundulan hutan yang masif untuk perkebunan besar menyebabkan degradasi lingkungan, merusak ekosistem yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan alami masyarakat adat.

Dampaknya sangat besar bagi masyarakat Suku Malind, mulai dari hilangnya akses ke sumber daya alam dan lahan pertanian hingga kerusakan budaya dan spiritualitas yang berakar pada hubungan mereka dengan tanah dan alam sekitar. Kehilangan tanah juga mengakibatkan kerawanan ekonomi, di mana mereka tidak lagi bisa mengandalkan hasil alam untuk kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Suku Malind dan pendukung hak masyarakat adat mendesak agar pemerintah Indonesia lebih serius dalam melindungi hak-hak tanah adat mereka. Langkah-langkah seperti pengakuan hukum atas tanah adat, keterlibatan aktif masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, serta penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal sangat penting. Pembangunan yang berkelanjutan dan adil harus melibatkan masyarakat lokal secara langsung, bukan hanya demi keberhasilan program, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan sosial dan keberlanjutan lingkungan di Papua Selatan.

Merauke dalam Genggaman Oligarki dan Korporat Untuk Kepentingan Sudah Sembada Pangan Melalui Program Strategis Nasional.

Merauke, yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tanah subur dan ekosistem yang kaya di Papua Selatan, memang berada dalam genggaman kepentingan oligarki dan korporasi besar melalui berbagai proyek Program Strategis Nasional (PSN) yang bertujuan mencapai swasembada pangan dan energi. Salah satu proyek terbesar adalah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang diluncurkan untuk mengembangkan lahan pertanian skala besar sebagai upaya meningkatkan produksi pangan nasional, terutama padi, jagung, dan kedelai, serta sumber energi seperti kelapa sawit.

Menurut beberapa laporan dari organisasi lingkungan dan masyarakat sipil, proyek MIFEE sendiri pada awalnya menargetkan sekitar 1,2 juta hektar untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Dalam proyek ini, hutan yang masuk dalam wilayah adat Malind banyak yang ditebang dan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian skala besar atau perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan penggundulan hutan secara masif yang berdampak pada degradasi lingkungan serta mengganggu keberlangsungan hidup masyarakat adat setempat.

Namun, proyek ini memiliki dampak besar pada masyarakat adat, terutama Suku Malind, yang tanah adatnya dijadikan target utama untuk konsesi lahan. Dalam pelaksanaan MIFEE dan proyek-proyek besar lain yang melibatkan konsesi lahan, oligarki dan korporasi besar memiliki pengaruh besar, menguasai area yang luas untuk kepentingan industri tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologi yang signifikan.

Kepentingan korporat dalam proyek ini sering kali menempatkan prioritas pada keuntungan jangka pendek dan penguasaan lahan dalam skala besar, yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem setempat. Konsep "swasembada" yang digaungkan melalui PSN justru sering kali mengorbankan hutan adat dan lahan subur yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal.

Masyarakat adat Merauke, khususnya Suku Malind, sangat terdampak oleh deforestasi, degradasi lingkungan, dan hilangnya tanah adat. Selain kehilangan akses ke sumber daya alam, mereka juga mengalami perubahan sosial yang cepat dan konflik kepentingan akibat masuknya tenaga kerja luar dan korporasi besar. Proyek-proyek besar ini sering kali dilakukan tanpa transparansi dan minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan.

Untuk mencegah dampak yang lebih besar, diperlukan pengawasan ketat dan kebijakan yang berpihak pada hak-hak masyarakat adat, pengakuan formal atas tanah adat, serta perlindungan terhadap keberlanjutan ekologi di Merauke. Tanpa langkah-langkah tersebut, program swasembada pangan yang dicanangkan bisa jadi akan membawa lebih banyak kerugian sosial dan lingkungan bagi Merauke dibandingkan manfaat yang diharapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun