Pemohon meminta MK mengabulkan permohonannya dan norma pasal 168 ayat (2) dan norma pasal 420 ayat (d) UU 7 tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terhadap pengujian sistem pemilu ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam ditengah masyarakat bahkan 8 dari 9 fraksi DPR menolak sistem proporsional tertutup kecuali PDI-P yang mendukung.
Banyak pengamat hukum tata negara dan pengamat pemilu menyatakan dalam pengujian ini menyatakan MK tidak berwenang karena norma yang diuji kebijakan pembuat undang-undang yang kita kenal 'open legal policy'.
Pembuat Undang-undang adalah DPR Â dan DPR telah sepakat untuk tidak merevisi regulasi untuk Pemilu 2024 yakni dasar hukum yang sama dengan aturan Pemilu 2019 lalu.
Memang kita sadari, sejak reformasi negara kita masih labil dalam menerapkan sistem pemilu 'bongkar pasang aturan main' yang hingga saat ini masih dalam pencairan titik ideal.
Meskipun kata Titi Anggraini mantan direktur Perludem bahwa kita tidak akan menemukan sistem pemilu yang ideal hanya saja kita sedang mencari sistem pemilu yang cocok.
Dan inilah resiko dari pilihan bernegara kita yang menerapkan sistem demokrasi yang tidak sempurna, jika boleh meminjam istilah dari Prof. Yusril Izha Mahendra bahwa demokrasi lebih baik daripada diktator.
"Kita belum menemukan sistem yang lebih baik dari pada demokrasi, seburuk-buruknya demokrasi mungkin lebih baik dari sistem yang diktator" kata Yusril.
Akhir kata mari kita nanti putusan dari 9 majelis hakim MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 apakah tetap Terbuka atau Tertutup, padahal banyak sistem pemilu yang juga sedang kita terapkan terhadap sistem Pemilu DPD dan Pemilu Capres & Cawapres (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H