Mohon tunggu...
HIMUN ZUHRI
HIMUN ZUHRI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis dan Penulis

Himun Zuhri seorang aktivis yang saat ini sebagai kuli tinta

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kita, Dalam Pencairan Sistem Pemilu yang Ideal

15 Juni 2023   10:14 Diperbarui: 15 Juni 2023   10:17 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita, Dalam Pencarian Sistem Pemilu yang Ideal"

Setelah 10 tahun Indonesia merdeka bangsa kita baru dapat melaksanakan Pemilu perdana pada tahun 1955 dan sebelum itu kita sudah punya presiden dan wakil presiden yakni Soekarno - Hatta.

Pada Pemilu 1955 bangsa ini mulai mengenal Demokrasi dan Pemilu di tahun itu merupakan Pemilu pertama semasa Republik Indonesia dipimpin Soekarno sang Proklamator.

Pasca Pemilu 1955 bangsa ini mulai memasuki sistem Demokrasi semu atau demokrasi terpimpin yang digagas oleh presiden pertama yang populer dengan sosok orator ulung.

Sehingga pada masa yang disebut orde lama itu, Pemilu hanya dapat terlaksana sekali dan disambut dengan wacana presiden seumur hidup namun Soekarno terlanjur lengser pada tahun 1967.

Pada tahun yang sama pucuk kepemimpinan nasional beralih ke tangan Soeharto yang sejak di bangku SD kita disajikan cerita sejarah peralihan kekuasan dengan istilah (Supersemar).

Empat tahun menjabat presiden, yaitu pada tahun 1971 Soeharto menggelar Pemilu pertama pada era kepemimpinannya dan Pemilu kedua sejak negara ini dinyatakan merdeka.

Pada Pemilu 1971 Pemilu diikuti oleh 9 Partai Politik dan 1 organisasi masyarakat yakni Golongan Karya. Pemilu ini juga disebut dengan tingkat partisipasi pemilih tertinggi.

Kemudian bangsa ini kembali menggelar Pemilu pada tahun 1977 atau Enam tahun setelah Pemilu kedua di Indonesia. Pada Pemilu 1977 jumlah partai mulai di 'stel' oleh penguasa.

Pada pemilu pertama 1955 diikuti 172 peserta dan Pemilu kedua tahun 1977 diikuti 10 peserta lalu pada Pemilu 1977 hanya tinggal 3 peserta yaitu yang kita kenal dengan PPP, Golkar dan PDI.

Tiga peserta pemilu ini merupakan hasil dari fusi atau penyederhanaan dan penggabungan partai politik yang merupakan kebijakan presiden Soeharto yang dilakukan pada tahun 1973.

Lalu pada Pemilu 1977 periodisasi pemilu di Indonesia mulai tertib yakni dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan berlangsung untuk pemilu selanjutnya pada tahun 1982, 1987, 1992 dan 1997.

Meskipun pelaksanaannya sudah tertib, namun hasil pemilu sudah bisa ditebak sebelumnya yang berujung Soeharto tak dapat lagi menggelar Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002.

Sebab pada 1998 setahun setelah Pemilu, negeri mengalami krisis ekonomi dan politik, aksi demonstrasi dimana-mana sehingga presiden Soeharto-pun lengser dan meletakkan jabatan.

Tampuk kepemimpinan nasional juga beralih lagi dari Soeharto kepada B.J Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden. Saat itu Indonesia dipimpin oleh presiden B.J Habibie.

Dianggap tak rakus jabatan, dan masa jabatannya dipersingkat, akhirnya presiden B.J Habibie mempercepat pelaksanaan Pemilu yang seharusnya tahun 2002 ia gelar pada tahun 1999.

Pada Pemilu 1999 peserta pemilu kembali membludak yakni sebanyak 48 partai politik dan ini merupakan Pemilu pertama pada era Reformasi pasca runtuhnya 36 tahun kekuasaan orde baru.

Pada Pemilu 1999 tujuan masih seperti Pemilu-pemilu sebelumnya yaitu hanya fokus pada pemilihan anggota legislatif yakni DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota).

Hingga Pemilu 1999 pemilih kita belum mengenal istilah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan kita juga belum tahu apa itu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Lalu terjadilah amandemen konstitusi hingga empat kali dan sistem ketata negaraan kita banyak yang berubah menuju ke arah yang lebih baik dan demokratis.

Sehingga pada perubahan UUD 1945 itu sudah termuat didalamnya pasal-pasal yang mengatur tentang Pemilu diantaranya pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD secara langsung.

Akhirnya pada Pemilu 2004, pemilih sudah dapat memilih secara langsung siapa pasangan capres dan cawapres yang dia inginkan dan tidak lagi ditentukan oleh MPR seperti selama ini.

Disamping itu, kita juga sudah disajikan calon anggota DPD yang akan mewakili daerah masing-masing provinsi dengan jumlah anggota yang sama di seluruh Indonesia.

Juga berbeda dengan Pemilu sebelumnya dalam memilih calon anggota legislatif pemilih telah disajikan daftar nama calon yang diinginkan bukan hanya memilih partai saja.

Dan Pemilu tahun 2004 ini telah menganut sistem proporsional daftar terbuka. Meski demikian, peraih suara terbanyak tidak secara otomatis langsung dapat kursi, namun masih bersyarat.

Sehingga sistem proporsional ini masih bersifat semi karena daftar calon peraih suara terbanyak harus menembus  100 persen angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) jika tidak tercapai, maka kursi terpilih berdasarkan nomor urut.

Begitulah kondisi Pemilu tahun 2004 silam, Pemilihan presiden dan wakil presiden juga anggota DPD murni dipilih langsung oleh masyarakat, sementara anggota DPR dan DPRD juga langsung tetapi dengan syarat yang berat.

Karena dari ratusan Caleg DPR RI hanya ada dua nama yang menembus angka 100 BPP sehingga sistem proporsional terbuka dengan 100 persen BPP dievaluasi dan diubah oleh pembuat UU.

Sehingga pada Pemilu 2009 sistem tersebut mensyaratkan keterpilihan caleg dengan perolehan suara hanya 30 persen saja dari angka BPP lebih ringan dari sebelumnya 100 persen.

Namun belum sempat diterapkan sudah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya bahwa pada Pemilu 2009 calon yang mendapat kursi yakni murni peraih suara terbanyak tanpa embel-embel BPP.

Sehingga pada Pemilu 2004, 2009, 2014 dan 2019 sistem Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD yakni menganut sistem proporsional terbuka beda dengan Delapan kali Pemilu sebelumnya yakni sejak 1955 hingga 1999 dengan sistem proporsional tertutup.

Namun, untuk Pemilu 2024 sistem proporsional terbuka menurut UU 7 tahun 2017 diuji ke MK dengan pokok permohonan agar Pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional tertutup.

Pemohon meminta MK mengabulkan permohonannya dan norma pasal 168 ayat (2) dan norma pasal 420 ayat (d) UU 7 tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Terhadap pengujian sistem pemilu ini menimbulkan pro dan kontra yang sangat tajam ditengah masyarakat bahkan 8 dari 9 fraksi DPR menolak sistem proporsional tertutup kecuali PDI-P yang mendukung.

Banyak pengamat hukum tata negara dan pengamat pemilu menyatakan dalam pengujian ini menyatakan MK tidak berwenang karena norma yang diuji kebijakan pembuat undang-undang yang kita kenal 'open legal policy'.

Pembuat Undang-undang adalah DPR  dan DPR telah sepakat untuk tidak merevisi regulasi untuk Pemilu 2024 yakni dasar hukum yang sama dengan aturan Pemilu 2019 lalu.

Memang kita sadari, sejak reformasi negara kita masih labil dalam menerapkan sistem pemilu 'bongkar pasang aturan main' yang hingga saat ini masih dalam pencairan titik ideal.

Meskipun kata Titi Anggraini mantan direktur Perludem bahwa kita tidak akan menemukan sistem pemilu yang ideal hanya saja kita sedang mencari sistem pemilu yang cocok.

Dan inilah resiko dari pilihan bernegara kita yang menerapkan sistem demokrasi yang tidak sempurna, jika boleh meminjam istilah dari Prof. Yusril Izha Mahendra bahwa demokrasi lebih baik daripada diktator.

"Kita belum menemukan sistem yang lebih baik dari pada demokrasi, seburuk-buruknya demokrasi mungkin lebih baik dari sistem yang diktator" kata Yusril.

Akhir kata mari kita nanti putusan dari 9 majelis hakim MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022 apakah tetap Terbuka atau Tertutup, padahal banyak sistem pemilu yang juga sedang kita terapkan terhadap sistem Pemilu DPD dan Pemilu Capres & Cawapres (*).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun