Tiga peserta pemilu ini merupakan hasil dari fusi atau penyederhanaan dan penggabungan partai politik yang merupakan kebijakan presiden Soeharto yang dilakukan pada tahun 1973.
Lalu pada Pemilu 1977 periodisasi pemilu di Indonesia mulai tertib yakni dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan berlangsung untuk pemilu selanjutnya pada tahun 1982, 1987, 1992 dan 1997.
Meskipun pelaksanaannya sudah tertib, namun hasil pemilu sudah bisa ditebak sebelumnya yang berujung Soeharto tak dapat lagi menggelar Pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002.
Sebab pada 1998 setahun setelah Pemilu, negeri mengalami krisis ekonomi dan politik, aksi demonstrasi dimana-mana sehingga presiden Soeharto-pun lengser dan meletakkan jabatan.
Tampuk kepemimpinan nasional juga beralih lagi dari Soeharto kepada B.J Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden. Saat itu Indonesia dipimpin oleh presiden B.J Habibie.
Dianggap tak rakus jabatan, dan masa jabatannya dipersingkat, akhirnya presiden B.J Habibie mempercepat pelaksanaan Pemilu yang seharusnya tahun 2002 ia gelar pada tahun 1999.
Pada Pemilu 1999 peserta pemilu kembali membludak yakni sebanyak 48 partai politik dan ini merupakan Pemilu pertama pada era Reformasi pasca runtuhnya 36 tahun kekuasaan orde baru.
Pada Pemilu 1999 tujuan masih seperti Pemilu-pemilu sebelumnya yaitu hanya fokus pada pemilihan anggota legislatif yakni DPR, DPRD Tingkat I (Provinsi) dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota).
Hingga Pemilu 1999 pemilih kita belum mengenal istilah pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan kita juga belum tahu apa itu Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Lalu terjadilah amandemen konstitusi hingga empat kali dan sistem ketata negaraan kita banyak yang berubah menuju ke arah yang lebih baik dan demokratis.
Sehingga pada perubahan UUD 1945 itu sudah termuat didalamnya pasal-pasal yang mengatur tentang Pemilu diantaranya pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD secara langsung.