Mohon tunggu...
Sylvia Liwis
Sylvia Liwis Mohon Tunggu... -

Seorang ibu rumah tangga yang senang bercerita dengan anak - anaknya agar mereka tumbuh dengan moral dan akhlak yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seri Flight Crash : Hendri The Repist

27 September 2014   13:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:18 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penjahat Pemetik Bunga

Langit mulai gelap. Pulau Nusa Kelima yang mirip zambrut di siang hari mulai penuh dengan bayangan hitam pepohonan. Ditengah rerimbunan hutan tropis yang rindang itu, tampak empat orang pria tinggi besar yang sedang berlarian menuju kesebuah rumah besar di pinggir hutan. Mereka menunggu sebentar di tepi hutan. Sebentar lagi suasana akan sepenuhnya gelap. Para pekerja yang bertugas di rumah itu akan berkurang. Saat – saat tersebut merupakan saat yang sangat menentukan kesuksesan aksi mereka ini.

Pria – pria itu penumpang pesawat yang hilang dari penerbangan yang mengalami kecelakaan di pegunungan. Para Daemon. Mereka mendapaat tugas untuk mengumpulkan kebutuhan hidup sementara setelah mereka terdampar di pulau tersebut.

“Mengapa kita di sini?” tanya Toni pada Joe. Dialah pemimpinnya. Dalam setiap operasinya ia tidak pernah gagal.

“Karena ini adalah rumah amal. Kita memenuhi semua kriteria mendapatkan santunan dari mereka” jawab Joe. Operasi ini miliknya, Joe the Feather, seorang pencuri terkenal di lima benua.

“Maksudmu kita meminta sumbangan?”

“Tepat sekali”. Joe mengangguk – angguk kecil. Wajahnya kelewat tenang sementara matanya yang tajam tetap menatap ke halaman kantor rumah charity yang mulai ramai dengan orang – orang yang hendak pulang ke rumah masing – masing.

“Mengapa?”tanya Toni lagi.

“Aku tak ingin membuat hal logistik ini sebagai pekerjaan. Kita tidak punya uang saat ini. Bank baru buka besok. Makanan kering tidak cukup untuk kita semua. Lagi pula kita butuh pakaian bersih karena tidak mungkin pergi mengurus semua uang kita dengan pakaian robek seperti ini.”

“Kalau hanya untuk meminta sumbangan, buat apa melibatkan banyak orang seperti ini?”kali ini Loki menjadi semakin kesal. Ia hendak berdiri dan menjauh tapi ditahan oleh Josh.

“Kita harus kerja sama agar mereka tidak mengenal wajah kita. Kamu mau ditangkap sekarang? Sebelum bersenang – senang di pulau ini sebentar?”

“Touchè, lihatlah wanita yang cantik itu....hmm... aku ingin...”mata paman Hendri melotot, mulutnya terbuka dengan iler hampir menetes dari ujungnya.

“Tahan.. paman Hendri, kita tidak ingin kau melakukan hal bodoh saat ini.” kata Josh sambil menatap pamannya dengan tajam.

Paman Hendri terdiam membalas tatapan Josh. Mereka saling pandang beberapa saat hingga Joe memegang tangan keduanya. “ Dengar, kita akan melakukan pekerjaan ini dengan sistem sel. Kita harus bersama. Paman Hendri mengamati keadaan di luar, Toni mengamati petugas keamanan di dalam, lalu aku dan Josh akan mengumpulkan kebutuhan kita. Makanan, selimut, pakaian dan sebagainya. Jika salah satu dari kita tertangkap maka yang lain akan meninggalkannya. Setuju!” Joe, mengucapkan kata terakhirnya sambil menatap paman Hendri.

“Baiklah...” hanya itu jawaban paman Hendri sambil bersandar di sebuah pohon akasia yang sangat besar.

Akhirnya suasana pekarngan itu sepi juga. Tinggal sebuah kendaraan yang terparkir dan hanya ada sebuah lampu yang menyala di bagunan tersebut. Waktunya beraksi.

“Ingat! Kita hanya memberi tanda dengan siulan.” kata Joe sebagai breafing terakhir sebelum ia memimpin kawanannya berlari menuju ke bangunan tersebut. Tinggalah paman Hendri seorang yang bersembunyi di rerimbunan. Ia memperhatikan sekeliling dengan seksama.

“cepat, cepat, cepat... kita tak ingin tertangkap saat sedang lemah bukan” bisik Joe pada saudara – saudaranya. Pintu depan tidak terkunci. Hal tersebut sudah di perkirakan oleh Joe. Itu juga berarti masih ada orang yang berada di dalam bangunan itu.

Satu persatu ke tiga orang Daemon itu masuk ke Charity House. Joe menyandarkan badannya ke tembok menghindari dirinya terlihat dari siapapun diruangan tersebut. Ia mengintip sebentar kemudian melambaikan tangannya memita Josh untuk maju di depan.

“Clear” Kata Josh sambil mendului Joe dan disusul oleh Toni yang memunggungi keduanya sambil berjalan mudur memeriksa situasi dibelakangnya. Joe dan Josh memeriksa ruangan sebelum kemudian mereka beralih ke ruangan setelahnya dengan gerakan metode yang sama.

Setelah ruangan ke tiga, Toni mulai rileks. Bahunya mengendor dan posturnya mulai biasa saja.“Kenapa kita melakukan gerakan aneh seperti ini? Bangunan ini hampir kosong. Jika ada yang akan datang pasti kita akan mendengar langkah kakinya dengan jelas.” Tanya Toni.

“Aku hanya ingin berakting seperti polisi yang melakukan penyergapan di TKP”

“Kau, apa!?” kali ini giliran Josh yang mengendurkan otot – ototnya yang terlalu lama menegang.

“Kau dengar. Sekarang diamlah dan bekerja. Nanti kita ketahuan.” bisik Joe. Akhirnya Josh pun hanya cemberut saja tanpa bisa membalasnya. Ketiganya pun bergerak dengan ringan menyusuri setiap bagian bangunan mencari ruangan penyimpanan barang – barang sumbangan.

***

Seorang wanita berjalan masuk ke pekarangan Charity House seorang diri. Usianya belum pasti. Wajahnya tidak terlalu jelas dalam kegelapan. Wanita itu menggunakan sweater panjang di padu rok longgar semata kaki yang membuatnya tampak tinggi semapai dengan keanggunan yang unik. Rambut hitam panjangnya sedikit mengikal diujungnya. Poninya terpotong rapi. Langkahnya tegap dengan penuh percaya diri. Dari kejauhan tampak bagai seorang malaikat yang baru saja mampir ke bumi.

Hmm... wanita idamanku, pikir paman Hendri. Sendirian di kegelapan. Jika tak ada yang bisa menjaganya, aku masih mampu kok untuk menjaga gadis secantik ini.

Ayolah paman Hendri. Umur paman sudah lebih dari 70 tahun. Cucu paman bahkan sudah akan menikah bulan depan. Carilah wanita yang sepadan denganmu. Tapi... bukan The Gardener jika tidak bisa mengoleksi banyak bunga. Sayang sekali, telah banyak bunga yang layu oleh tingkahnya yang asal memetik dimana – mana.

Dan siapa yang disalahkan. Belum ada undang – undang yang membuat seorang pemerkosa mendapatkan hukuman mati. Lima tahun penjara untuk membuat seorang gadis trauma sepanjang hidupnya? Ditambah pengurangan hukuman karena berkelakuan baik dipenjara? Well?...

Gadis itu berjalan melintas di hadapan paman Hendri. Saat itulah wajahnya tampak dengan jelas. Kulit putihnya halus tanpa cela. Hidungnya pesek tetapi bibirnya penuh dan seksi. Dan yang membuat paman Hendri terpesona adalah matanya. Mata wanita ini tajam dengan warna biru terang yang dalam. Setiap orang yang melihatnya akan tegelam dalam keindahan mata itu tanpa dapat di tolong lagi.

Tidak bisa tidak. Dengan penuh tekat paman Hendri keluar dari persembuanyiannya. Ia lupa akan tugasnya. Ia tidak peduli kalau – kalau ada orang lain lagi yang masuk ke pekarangan itu. Ia membuntuti si gadis itu sampai area belakang bangunan. Gadis cantik ini tidak lewat pintu depan seperti ketiga keponakannya. Ia berjalan langsung ke pintu belakang.

Belum sampai si gadis menggerakkan pintu belakang gedung tersebut, paman Hendri sudah mendekap mulutnya dengan tangan kiri dan melingkarkan tangan kanannya di pinggang gadis tersebut. Tubuh si gadis menegang. Pupila matanya membesar, terkejut dan ketakutan.

“Angkat tanganmu keatas!”

Si gadispun mengangkat tangannya dengan segera. Dengan kasar, paman Hendri mendorong tubuh gadis itu ke tembok disamping pintu.

Ditempelkannya pipi si cantik ke tembok dengan keras hingga ia tidak dapat berbicara apalagi berteriak. Hanya suara erangan kesakitan yang mampu ia keluarkan. Itupun terdengar seperti decitan tak berharga. Si gadis memang berharap seseorang dari dalam rumah bisa mendengar erangannya yang tidak seberapa tersebut. Sayang, ia juga tahu kalau pada waktu – waktu seperti ini, dikantor yayasan jarang terdapat banyak orang. Suara itu malah membuat gairah paman Hendri semakin membara. Nafasnya memburu dan pegangan tangannya terasa seperti cengkraman predator. Satu – satunya yang bisa dilakukan si gadis hanya pasrah. Hanya doa yang mungkin dapat menyelamatkannya.

“Jika aku melepasmu, apakah kau janji tidak akan teriak?” bisik paman Hendri di telinga si gadis. Suaranya serak. Membuat si gadis mengangguk. Doa di hatinya semakin keras.

“Aku akan melepaskanmu sebentar. Jangan lari! atau aku akan membunuhmu.”. Si gadis hanya menjawab dengan anggukan mantap.

Paman Hendri melepas gadis itu dan mundur beberapa langkah. Dia ingin mengamati gadis itu lebih seksama. Angin yang berhembus kencang tidak menghalanginya. Dari belakang, bentuk tubuhn ya yang langsing begitu menggoda. Rambutnya melambai dengan indah terkena angin. Bahkan rok panjangnya yang menutup hingga mata kaki bisa memberikan efek yang sangat menggairahkan.

“Balikkan badanmu. Aku ingin melihat bagaimana wajahmu.”

Dengan perlahan, si gadis membalikkan badannya. Tanpa sadar si gadis berteriak terkejut “seorang kakek tua?”. Wajahnya ketakutannya menjadi rileks sedikit.

“Bukan Kakek tua biasa gadis cantik... aku akan membuat malam ini, malam yang tak akan terlupakan selama hidupmu. Malam yang penuh dengan kebahagian...” kata paman Hendri sambil memperlihatkan senyuman srigalanya. Sayang suasana yang gelap tidak bisa juga membuat wajah gadis itu telihat jelas.

Perlahan namun pasti paman Hendri mendekati korbannya. Ia lahap seluruh tubuh gadis tu dengan matanya. Si gadis menempelkan tubuhnya ke tembok dengan segenap jiwa raga seakan – akan ia bisa tenggelam dalam tembok padat itu dan menghilang dari sana.

Satu langkah lagi oleh paman Hendri dan...

“Hah!” teriak paman Hendri kaget. Gadis itu bukanlah seorang gadis, dari raut wajahnya tampak ia berusia sekitar tujuh puluh tahun walau tampak jelas bekas kecantikan masa muda di wajahnya.

“ugh,,,” erangan sesaat paman Hendri sambil memegang dadanya yang tiba – tiba terasa sakit sebelum berlutut di depan si nenek dan ambruk yang diikuti dengan teriakan sang nenek yang secara spontan menyambut tubuhnya dengan tangan mungilnya.

Paman hendri Tidak bergerak. Tubuh beratnya terasa lemas. Kalau saja Sang nenek tak menahannya, ia pasti sudah terpelanting jatuh.

“Tuan... tuan...apakah anda baik – baik saja.” tanya Sang Nenek khawatir.

“Ugh....” hanya erangan tak jelas itu yang bisa ia keluarkan.

“Oh...” kata si Nenek kesal. Ia meletakkan tubuh paman Hendri ke tanah dengan pelan dan mengamatinya. Wajahnya kaku sebelah, tubuh lemas dan nafas terenggah – enggah. Kakek ini mengalami serangan strok mendadak. Diluruskannya tubuh paman hendri dan meletakkan kedua tangannya di dada. Kemudian memirinkannya ke samping.

“Makanya kek, kalau mau main perempuan, ingat kondisi badan sendiri. Kita ini sudah tua, tidak pantas lagi bermain permainan anak – anak seperti ini. Lihat akibatnya, kan” nasehat sang nenek sambil meraih handponnya dan menelpon ambulan.

Saat Kate selesai melakukan panggilan. Pintu belakang itu terbuka. Dari pintu itu muncul Joe, Toni dan Josh. Ketiganya memanggul karung plastik besar berisi pakaian, makanan dan obat- obatan.

“Apakah paman Hendri baik – baik saja, nek?” tanya Josh saat melihat pamannya tergeletak di tanah.

“Dia akan baik – baik saja. Aku nenek sarah, mantan perawat bersertifikat. Aku bisa mengurusnya.”

“OK deh nek, Aku serahkan paman Hendri padamu. Aku harus membawa barang – barang ini ke korban kecelakaan pesawat kemarin. Kami menemukannya di ruang tengah. Telah terbungkus rapi. Kami bawa, ya!”

“Ya nenek mengerti. Kalian anak muda memang sudah seharusnya membantu sesama. Lagipula lima menit lagi ambulan akan datang. Cepatlah, sebentar lagi malam makin larut.” kata nenek Sarah senang. Tanpa pikir panjang lagi ketiganya bergerak cepat menuju rerimbunan hutan tropis. Tapi belum jauh melangkah, Joe berbalik dan melambaikan tangannya.

“Bye – bye Paman Hendri...”

“Ughhhhh.....”

Cukup lama mereka berlari. Setelah merasa aman akhirnya mereka melanjutkan perjalanan mereka dengan berjalan santai.

“Jadi... itu yang kau namakan mencuri. Meminta izin pada pemiliknya” kata Josh setengah mengejek.

“Jangan menghinaku. Aku sedang bebas tugas. Mengapa harus membuang tenaga untuk hal sepele seperti ini?”

“Yeah, yeah, yeah...”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun