“Kau, apa!?” kali ini giliran Josh yang mengendurkan otot – ototnya yang terlalu lama menegang.
“Kau dengar. Sekarang diamlah dan bekerja. Nanti kita ketahuan.” bisik Joe. Akhirnya Josh pun hanya cemberut saja tanpa bisa membalasnya. Ketiganya pun bergerak dengan ringan menyusuri setiap bagian bangunan mencari ruangan penyimpanan barang – barang sumbangan.
***
Seorang wanita berjalan masuk ke pekarangan Charity House seorang diri. Usianya belum pasti. Wajahnya tidak terlalu jelas dalam kegelapan. Wanita itu menggunakan sweater panjang di padu rok longgar semata kaki yang membuatnya tampak tinggi semapai dengan keanggunan yang unik. Rambut hitam panjangnya sedikit mengikal diujungnya. Poninya terpotong rapi. Langkahnya tegap dengan penuh percaya diri. Dari kejauhan tampak bagai seorang malaikat yang baru saja mampir ke bumi.
Hmm... wanita idamanku, pikir paman Hendri. Sendirian di kegelapan. Jika tak ada yang bisa menjaganya, aku masih mampu kok untuk menjaga gadis secantik ini.
Ayolah paman Hendri. Umur paman sudah lebih dari 70 tahun. Cucu paman bahkan sudah akan menikah bulan depan. Carilah wanita yang sepadan denganmu. Tapi... bukan The Gardener jika tidak bisa mengoleksi banyak bunga. Sayang sekali, telah banyak bunga yang layu oleh tingkahnya yang asal memetik dimana – mana.
Dan siapa yang disalahkan. Belum ada undang – undang yang membuat seorang pemerkosa mendapatkan hukuman mati. Lima tahun penjara untuk membuat seorang gadis trauma sepanjang hidupnya? Ditambah pengurangan hukuman karena berkelakuan baik dipenjara? Well?...
Gadis itu berjalan melintas di hadapan paman Hendri. Saat itulah wajahnya tampak dengan jelas. Kulit putihnya halus tanpa cela. Hidungnya pesek tetapi bibirnya penuh dan seksi. Dan yang membuat paman Hendri terpesona adalah matanya. Mata wanita ini tajam dengan warna biru terang yang dalam. Setiap orang yang melihatnya akan tegelam dalam keindahan mata itu tanpa dapat di tolong lagi.
Tidak bisa tidak. Dengan penuh tekat paman Hendri keluar dari persembuanyiannya. Ia lupa akan tugasnya. Ia tidak peduli kalau – kalau ada orang lain lagi yang masuk ke pekarangan itu. Ia membuntuti si gadis itu sampai area belakang bangunan. Gadis cantik ini tidak lewat pintu depan seperti ketiga keponakannya. Ia berjalan langsung ke pintu belakang.
Belum sampai si gadis menggerakkan pintu belakang gedung tersebut, paman Hendri sudah mendekap mulutnya dengan tangan kiri dan melingkarkan tangan kanannya di pinggang gadis tersebut. Tubuh si gadis menegang. Pupila matanya membesar, terkejut dan ketakutan.
“Angkat tanganmu keatas!”