Apa Itu Mahar?
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dalam pernikahan, mahar adalah salah satu hal penting yang harus dilakukan oleh calon suami sebagai bukti bahwa mereka benar-benar berkomitmen untuk membangun rumah tangga. Dalam tradisi pernikahan, mahar memiliki nilai moral dan spiritual selain dianggap sebagai simbol material.
Istilah shadaqah, nihlah, dan mahar digunakan untuk merujuk pada jenis pemberian ini dalam Al-Qur'an. Namun, istilah mahar lebih dikenal dan digunakan secara luas di masyarakat, terutama di Indonesia. Mahar biasanya dilihat sebagai bukan hanya pemberian materi, tetapi juga sebagai tanda cinta dan pengorbanan seorang pria kepada calon istrinya. Penggunaan istilah mahar yang lebih umum di masyarakat menunjukkan bagaimana budaya dan tradisi lokal menerima dan menafsirkan ajaran agama sesuai dengan konteks sosial mereka.
Kewajiban calon suami untuk membayar mahar juga menunjukkan bahwa mereka ingin membayar kebutuhan dasar rumah tangga. Dalam perspektif ini, mahar berfungsi sebagai bukti awal bahwa seorang pria siap untuk membantu keluarganya di masa depan. Hal ini juga mencerminkan nilai-nilai tanggung jawab dan komitmen dalam pernikahan, di mana seorang suami diharapkan mampu menyediakan kebutuhan materi bagi istri dan anak-anaknya.
Karena laki-laki diciptakan dengan tanggung jawab dan kemampuan untuk mencari nafkah, mereka harus memberi nafkah. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama keluarga di banyak budaya. Dianggap bahwa kemampuan fisik dan mental laki-laki untuk bekerja dan mendapatkan uang sesuai dengan tugas ini.
Dalam kerangka tradisional, tanggung jawab wanita adalah menjaga rumah tangga dan mendidik anak. Pembagian tanggung jawab ini didasarkan pada keyakinan bahwa wanita memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengelola rumah tangga dan memberikan perhatian dan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka.
Banyak masyarakat yang salah paham mengenai mahar dalam sebuah pernikahan. Kesalahpahaman ini sering kali disebabkan oleh kurangnya pemahaman yang mendalam tentang konsep mahar yang sebenarnya dalam ajaran Islam. Mahar sering kali ditafsirkan sebagai harga beli seorang perempuan dari walinya, sehingga wanita dianggap sebagai milik suami sepenuhnya setelah pernikahan. Pandangan semacam ini tidak hanya keliru, tetapi juga merendahkan martabat perempuan serta mengabaikan esensi sejati dari mahar sebagai bentuk penghormatan dan tanggung jawab
Selain itu, tidak jarang keluarga perempuan menganggap mahar sebagai hak mereka sebagai imbalan atas tanggung jawab menjaga dan membesarkan perempuan tersebut. Mereka percaya bahwa upaya dan pengorbanan yang dilakukan untuk merawat dan mendidik anak perempuan harus dibayar dengan uang.
Karena itu, mahar biasanya dilihat sebagai transaksi keuangan yang mengalihkan hak milik perempuan dari orang tuanya kepada suaminya. Pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang sebenarnya menempatkan mahar sebagai pemberian yang mulia dan penuh kasih sayang.
Karena apabila perempuan tersebut dikawinkan, mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki akan menjadi milik wali atau penjaganya. Padahal, menurut ajaran Islam, mahar adalah hak mutlak perempuan yang diberikan langsung kepada dirinya, bukan kepada walinya. Mahar merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan kepada perempuan sebagai individu yang memiliki hak dan martabat. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi yang lebih mendalam dan penyebaran informasi yang benar tentang konsep mahar.
Konsep Mahar Pada Masa Pra Islam
Mahar, bagian penting dari pernikahan, berfungsi untuk menentukan keseriusan dan komitmen pasangan. Dalam beberapa budaya, mahar dianggap sebagai kewajiban bagi laki-laki dan harus ditetapkan sebelum pernikahan. Namun, memahami peran mahar dalam pernikahan Islam memerlukan pemahaman sejarahnya.
Wanita sering dianggap sebagai objek tanpa hak dan hanya sebagai alat bagi pemiliknya pada masa Jahiliyyah, sebelum datangnya Islam. Perempuan berada dalam posisi sosial yang sangat rendah, dan mereka tidak memiliki hak untuk menikah, bercerai, atau bahkan menerima mahar.
Kedatangan Islam mengubah cara perempuan diperlakukan dalam pernikahan. Islam mengembalikan hak-hak perempuan, termasuk hak untuk menikah dan bercerai, dan mewajibkan laki-laki membayar mahar kepada calon istri mereka sebagai tanda bahwa mereka benar-benar mencintai mereka.
Namun, pada masa pra-Islam, konsep mahar tidak ditujukan untuk calon istri, melainkan untuk ayah atau kerabat dekat perempuan. Perkawinan pada masa itu sering dianggap sebagai transaksi jual-beli, di mana perempuan dianggap sebagai objek tanpa hak yang dapat diputuskan tanpa syarat melalui talak.
Sistem kekerabatan yang berlaku adalah Patriarkal agnatic, di mana laki-laki mendominasi sebagai kepala keluarga dan perempuan dianggap inferior tanpa hak penuh sebagai warga. Hal ini menyebabkan perempuan memiliki status sosial yang rendah dan terbatas dalam hak-haknya.
Praktik poligami, poliandri, dan perbudakan umum di masyarakat Arab pada masa itu, mencerminkan ketidaksetaraan dan penindasan terhadap perempuan dalam sistem sosial dan pernikahan. Namun, Al-Qur'an sebagai pedoman utama umat Islam mengubah konsep mahar untuk meningkatkan kedudukan perempuan dengan prinsip keadilan dan melindungi mereka dari diskriminasi.
Al-Qur'an menjadikan mahar sebagai simbol kesiapan suami memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya, serta mempromosikan kesetaraan dalam pernikahan sebagai landasan yang kuat bagi hubungan suami-istri yang saling menghormati dan mendukung satu sama lain.
Konsep Mahar Dalam Islam
Mahar adalah harta yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya sebagai lambang persetujuan dan kesediaan untuk menjalani hidup bersama. Mahar juga merupakan bukti kasih sayang suami terhadap wanita yang dipilihnya sebagai pasangan hidup, menandakan dimulainya kehidupan bersama sebagai suami istri, serta menjadi wujud ketulusan dari calon suami untuk mengelola dan memimpin rumah tangga.
Dalam fiqh Islam, selain kata mahar, terdapat sejumlah istilah lain yang mempunyai konotasi yanga sama yaitu: shadaq, nihlah, ujr, faridhah, hiba, dan lainnya. Keseluruhan istilah tersebut membawa maksud dan pengertian yang hampir sama, yaitu pemberian secara sukarela tanpa mengharapkan imbalan.
Mahar adalah simbol kejujuran dan persetujuan kedua belah pihak dalam pernikahan. Pemberiannya kepada istri tidak hanya menandai kemuliaan dan kehormatan bagi perempuan, tetapi juga menegaskan kesungguhan dan penghargaan dari pihak suami terhadap perannya dalam keluarga. Ini adalah tanda komitmen untuk melindungi, menghormati, dan memberikan nafkah yang layak bagi istri dan keluarga.
Hukum Mahar Dalam Islam
Mahar dianggap wajib dalam Islam sebagai syarat sahnya pernikahan, namun ada juga yang menganggapnya sebagai bagian dari rukun nikah. Dalam kedua perspektif tersebut, mahar menegaskan keseriusan suami dalam membangun hubungan pernikahan yang sah dan menghormati hak-hak istri.Dalil pensyariatan mahar, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.”
Dalam penafsiran terhadap ayat ini menurut Al-Qurtubi, dinyatakan bahwa pemberian mahar kepada istri adalah wajib hukumnya. Hal ini didasarkan pada ijma ulama, di mana tidak ada satupun dari mereka yang menentang pendapat ini. Nabi Muhammad juga memerintahkan umatnya untuk memberikan mahar kepada calon istri yang mereka nikahi, bahkan jika hanya berupa cincin dari besi.
Jika seseorang tidak memiliki harta untuk dijadikan mahar, maka boleh menggunakan hafalan dari surah yang dihafal dari Al-Quran sebagai gantinya. Dengan demikian, dalam ajaran Islam, pemberian mahar kepada istri adalah kewajiban yang tidak dapat diabaikan, sebagai bentuk penghargaan dan tanggung jawab suami terhadap istri dalam pernikahan.
Syarat Mahar
Dalam proses pernikahan Islam, mahar yang harus diberikan kepada calon istri sangat penting. Mahar adalah bukti komitmen, penghargaan, dan tanggung jawab suami terhadap istri. Karena itu, harus ada beberapa syarat agar dianggap sah dan sesuai dengan ajaran Islam.
Pertama, mahar tidak harus memiliki nilai yang besar; yang lebih penting adalah bahwa itu memiliki nilai, sehingga meskipun nominalnya kecil, masih dianggap sah. Hal ini mencerminkan kebijaksanaan Islam yang tidak membebani seseorang dengan tanggung jawab yang mereka tidak mampu penuhi. Hal ini juga menekankan bahwa nilai mahar tidak terletak pada jumlahnya, tetapi pada makna simbolisnya sebagai tanda penghargaan dan komitmen.
Kedua, mahar harus berupa barang yang suci dan bermanfaat. Barang yang haram atau najis tidak boleh digunakan sebagai mahar, meskipun nilainya tinggi. Ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian dan kesehatan dalam pernikahan, serta menghormati nilai-nilai agama yang mendorong kebaikan dan keberkahan dalam setiap aspek kehidupan.
Ketiga, mahar tidak boleh berasal dari hasil ghasab, yaitu barang yang diperoleh secara tidak sah. Meskipun akadnya tetap sah, namun Islam menekankan pentingnya memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan menjauhi segala bentuk penipuan atau pemerasan. Ini menegaskan prinsip kejujuran dan keadilan dalam setiap transaksi, termasuk dalam pemberian mahar.
Terakhir, mahar harus merupakan barang yang jelas keadaannya. Tidak boleh menggunakan barang yang tidak jelas atau tidak disebutkan jenisnya saat menetapkannya. Ini dilakukan untuk menghindari keraguan dan perselisihan di kemudian hari dan memastikan bahwa mahar benar-benar bermanfaat bagi istri.
Mahar dapat digunakan untuk menunjukkan penghargaan dan tanggung jawab suami terhadap istri dalam pernikahan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan ini. Lebih dari sekadar simbol materi, mahar dapat menunjukkan keseriusan, kejujuran, dan komitmen untuk membangun hubungan keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Macam-Macam Mahar
Para fukaha, atau ulama ahli fiqh, sepakat bahwa terdapat dua jenis mahar dalam Islam, yakni mahar musamma dan mahar mitsil. Mahar musamma merujuk pada mahar yang sudah disepakati kadar dan besarannya pada saat akad nikah. Penetapan nilai dan jumlah mahar musamma bisa dilakukan melalui perjanjian antara calon suami dan calon istri, atau dengan kesepakatan bersama yang dipimpin oleh seorang hakim syariah.
Dalam mahar musamma, baik suami maupun istri telah mengetahui secara pasti nilai dan jenis mahar yang akan diberikan, sehingga tidak ada keraguan atau ketidakpastian terkait hal tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan kesepahaman antara kedua belah pihak dalam pernikahan, serta memberikan kejelasan mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237 yang berbunyi ;
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.
Ulama ahli fiqh membagi mahar musamma menjadi dua kategori: musamma mu’ajjal dan musamma ghairu mu’ajjal. Mahar jenis musamma muajjal harus diberikan kepada istri segera setelah akad nikah. Ini menunjukkan bahwa memenuhi hak istri secara langsung dan tidak ditangguhkan adalah penting. Sebaliknya, mahar musamma ghairu mu’ajjal adalah jenis mahar yang telah ditetapkan dalam bentuk dan jumlah, tetapi pembayarannya ditangguhkan hingga waktu tertentu atau sampai kedua belah pihak mencapai kesepakatan tertentu. Dengan kedua jenis mahar ini, Islam memberikan kebebasan untuk memenuhi hak istri sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasangan.
Selain itu, mahar sepantasnya, juga disebut mahar mitsil, adalah jenis mahar yang disesuaikan dengan status sosial dan kemampuan ekonomi keluarga pasangan. Jika menetapkan mahar yang tepat sulit, maka mahar tersebut dapat disesuaikan dengan standar kepatutan di tempat tinggalnya. Mahar khusus dapat dibayar secara keseluruhan atau sebagian tunai atau melalui hutang. Jika tidak ada penjelasan tentang waktu pembayaran, maka dianggap harus dibayar tunai. Jika suami Anda meninggal dunia sebelum pembayaran mahar selesai, pembayaran akan dibatalkan.
Oleh karena itu, perincian tentang jenis-jenis mahar ini menunjukkan kebijaksanaan dan keadilan Islam dalam memperlakukan hak istri dalam pernikahan serta memberi pasangan suami istri arahan yang jelas tentang bagaimana mereka memenuhi kewajiban satu sama lain.
Kajian Ayat
Mahar dalam penafsiran Rasyid Rida terhadap kata saduqat dipakai sebagai istilah pemberian kepada Perempuan sebelum dukhul berdasarkan kesadaran diri. Rasyid Rida mengatakan bahwa dengan kata saduqat menyatakan tingkat mahar lebih tinggi dan mulia dari sekedar alat tukar.
Mahar juga sebagai simbol kasih sayang yang berfungsi untuk mempererat tali kebersamaan dalam membangun keluarga menjadi harmonis. Kewajiban dalam memberi mahar tidak bisa ditawar menawar layaknya seperti jual beli. Mengenai kata nihlah Rasyid Rida mengatakan bahwa kata nihlah merupakan sebuah ungkapan pemberian sukarela kepada orang lain tanpa adanya balas jasa.
Setelah mahar diberikan maka mahar tersebut menjadi hak Perempuan. Ketika mahar menjadi milik istri secara mutlak, maka suaminya tidak boleh mengganggu hak tersebut kecuali jika istrinya yang memberikan maharnya kepada suaminya maka suami boleh menerimanya. Karena terdapat izin dari pihak istri.
Pada hakikatnya memberikan mahar dalam agama Islam merupakan sebuah kewajiban dan sebagai penghormatan serta adanya bukti cinta dan kasih seorang laki-laki kepada perempuannya. Dalam menentukan mahar, kedua nelaj pihak tidak boleh memiliki unsur yang berlebihan sehingga memberatkan pihak laki-laki. Pemberian mahar harus memiliki rasa keihklasan dan kerelaan hatinya. Ketika mahar sudah menjadi hak istrinya maka suami tidak bisa mengganggu, apa yang telah menjadi hak istrinya tersebut kecuali dengan izin istrinya.
Diskusi
Ketergantungan atau pengaruh dari adat istiadat lokal seringkali menyebabkan banyak masyarakat salah memahami mahar. Harga yang harus dibayar oleh laki-laki untuk menikahi perempuan bukanlah satu-satunya hal; itu juga merupakan bukti kasih sayang yang ditunjukkan oleh laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya. Ini mencerminkan nilai-nilai kepedulian, penghargaan, dan kewajiban yang diperlukan untuk membangun hubungan pernikahan yang berlandaskan ajaran Islam.
Selain itu, perlu dipahami bahwa setelah mahar tersebut diberikan, maka secara hukum akan menjadi milik istri sepenuhnya, bukan lagi untuk keluarganya. Ini menegaskan kedudukan istri dalam pernikahan sebagai individu yang memiliki hak-hak yang dijamin dan dihormati.
Namun, dalam konteks kebersamaan dan saling mendukung antara suami dan istri, apabila sang istri dengan kerelaan hatinya ingin memberikan sebagian mahar kepada sang suami sebagai bentuk penghargaan atau dukungan, maka hal itu diperbolehkan dalam Islam. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan pernikahan dalam Islam dibangun atas dasar saling menghormati, saling mencintai, dan saling mendukung satu sama lain, serta menekankan pentingnya keadilan, kerelaan, dan kebersamaan dalam menjalani kehidupan berumah tangga
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa mahar merupakan pemberian dari suami kepada istri dalam bentuk harta, barang, atau jasa sebagai bagian dari pernikahan. Setelah diberikan, mahar menjadi hak milik istri sepenuhnya, sesuai dengan ajaran Islam.
Meskipun demikian, pada zaman pra-Islam, beberapa masyarakat masih memandang mahar sebagai imbalan kepada keluarga perempuan atas jasa yang telah diberikan, yang mencerminkan pandangan bahwa perempuan dianggap seperti objek jual-beli tanpa hak yang diakui. Namun, Al-Qur'an telah menjelaskan bahwa mahar adalah hak istri sepenuhnya.
Selain itu, apabila istri dengan kerelaan hatinya ingin memberikan sebagian mahar kepada suaminya, hal tersebut diperbolehkan dalam Islam. Pemaknaan mahar bukan sekadar pemberian atau hadiah, tetapi juga sebagai bukti cinta dan kesungguhan yang diberikan secara sukarela sebagai bentuk ibadah kepada Allah.
Dengan demikian, mahar bukan hanya merupakan aspek material dalam pernikahan, tetapi juga memuat makna spiritual dan nilai-nilai keagamaan yang dalam Islam menjadi landasan bagi hubungan suami istri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H