Ketiga, mahar tidak boleh berasal dari hasil ghasab, yaitu barang yang diperoleh secara tidak sah. Meskipun akadnya tetap sah, namun Islam menekankan pentingnya memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan menjauhi segala bentuk penipuan atau pemerasan. Ini menegaskan prinsip kejujuran dan keadilan dalam setiap transaksi, termasuk dalam pemberian mahar.
Terakhir, mahar harus merupakan barang yang jelas keadaannya. Tidak boleh menggunakan barang yang tidak jelas atau tidak disebutkan jenisnya saat menetapkannya. Ini dilakukan untuk menghindari keraguan dan perselisihan di kemudian hari dan memastikan bahwa mahar benar-benar bermanfaat bagi istri.
Mahar dapat digunakan untuk menunjukkan penghargaan dan tanggung jawab suami terhadap istri dalam pernikahan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan ini. Lebih dari sekadar simbol materi, mahar dapat menunjukkan keseriusan, kejujuran, dan komitmen untuk membangun hubungan keluarga yang berlandaskan nilai-nilai Islam.
Macam-Macam Mahar
Para fukaha, atau ulama ahli fiqh, sepakat bahwa terdapat dua jenis mahar dalam Islam, yakni mahar musamma dan mahar mitsil. Mahar musamma merujuk pada mahar yang sudah disepakati kadar dan besarannya pada saat akad nikah. Penetapan nilai dan jumlah mahar musamma bisa dilakukan melalui perjanjian antara calon suami dan calon istri, atau dengan kesepakatan bersama yang dipimpin oleh seorang hakim syariah.
Dalam mahar musamma, baik suami maupun istri telah mengetahui secara pasti nilai dan jenis mahar yang akan diberikan, sehingga tidak ada keraguan atau ketidakpastian terkait hal tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi dan kesepahaman antara kedua belah pihak dalam pernikahan, serta memberikan kejelasan mengenai kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami kepada istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 237 yang berbunyi ;
وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“Padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu”.
Ulama ahli fiqh membagi mahar musamma menjadi dua kategori: musamma mu’ajjal dan musamma ghairu mu’ajjal. Mahar jenis musamma muajjal harus diberikan kepada istri segera setelah akad nikah. Ini menunjukkan bahwa memenuhi hak istri secara langsung dan tidak ditangguhkan adalah penting. Sebaliknya, mahar musamma ghairu mu’ajjal adalah jenis mahar yang telah ditetapkan dalam bentuk dan jumlah, tetapi pembayarannya ditangguhkan hingga waktu tertentu atau sampai kedua belah pihak mencapai kesepakatan tertentu. Dengan kedua jenis mahar ini, Islam memberikan kebebasan untuk memenuhi hak istri sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasangan.