Berinvestasi atau beramal dengan menggunakan dana hasil ngutang? Hellooooooow!!
Seorang kenalan terlilit hutang pinjol dan kartu kredit dalam jumlah yang menurut saya tidak sedikit. Akan tetapi hasil berhutang itu tidak terlihat dalam kehidupannya sehari-hari.
Misal, dia masih naik kendaraan umum. Padahal nampaknya dia bukan tipe orang yang mau bertahan tidak memiliki kendaraan pribadi karena hobi naik kendaraan umum demi mengurangi kemacetan lalu lintas.
Rumah pun masih numpang di rumah orang tuanya. Makan sehari-hari biasa saja, masih lebih sering mengajak makan di kaki lima.
Bentuk-bentuk investasi? Tidak terlihat juga. Yang terlihat hanyalah sering stress dikejar-kejar debt collector. Sekadar untuk menjual sesuatu demi untuk mengurangi hutang pun ternyata tidak ada.
Jadi duit hasil ngutangnya dipakai untuk apa?
Suatu hari akhirnya kesempatan untuk bertanya datang juga ketika topik pembicaraan kami memang pas dan dia sendiri yang memulai pengakuan bahwa dia sedang berusaha keras melunasi hutang-hutangnya.
“Memangnya kebutuhan hidupmu banyak sekali ya, sampai-sampai harus ngutang sampai sebanyak itu?”
Jawabannya cukup membuat saya berpikir dan merenung.
“Saya suka bantuin orang. Jadi saya suka ngasih-ngasih”
Oalah… sampai segitunya ya. Tapi koq beramal dari hasil ngutang?!! Apa tidak berpikir panjang tentang akibatnya… apalagi kalau sampai berhutang tanpa memperhitungkan kemampuan membayar.
Lain lagi dengan seorang kerabat yang juga terlilit hutang. Kondisi sehari-hari sama juga, tidak ada yang mencolok, misalnya kehidupannya glamour atau dalam kesehariannya terlihat “berlebih”.
Sama dengan teman tadi, orang ini juga kehidupan sehari-harinya biasa saja, sederhana. Sudah berkeluarga, tetapi rumah masih ngontrak. Dan konon kabarnya tidak dapat mencicil rumah karena track recordnya dalam berhutang dan masuk black list gara-gara tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.
Lantas ke mana duitnya? Padahal pekerjaan cukup ok dan saya yakin penghasilannya relatif besar dibandingkan pegawai pada umumnya. Level pendidikan juga cukup tinggi.
Usut punya usut ternyata duitnya dipakai untuk berinvestasi sementara penghasilan bulanannya dipakai untuk membayar cicilan hutang yang uangnya dipakai untuk berinvestasi.
Ini sih parah!
Harus dimengerti kalau investasi itu sifatnya jangka panjang, sementara hutang itu adalah sesuatu yang harus dibayar sesuai perjanjian. Misal dicicil setiap bulan. Atau jika meminjamnya ke teman atau saudara, biasanya ada janji dari si peminjam bahwa uang akan segera dikembalikan.
Meskipun pinjam uang ke teman atau keluarga, tidak ada ikatan kapan harus dibayar, namun pihak yang dipinjami pasti berharap hutang tersebut dibayar sesegera mungkin. Masalahnya, hasil investasi itu, selain sifatnya jangka panjang, juga tidak pasti.
Jadi, bagaimana bisa meminjam uang untuk berinvestasi dan berharap hasil investasinya dipakai untuk mencicil atau membayar kewajiban akibat berhutang? Apalagi jika tidak ada penghasilan lain untuk menutupi sementara waktu, sebelum investasinya menghasilkan.
Selain itu, pinjaman ke lembaga resmi seperti institusi perbankan, pinjol entah itu legal atau illegal, pinjaman ke marketplace,dsj, pasti ada bunganya. Belum lagi denda jika terlambat membayar, dan juga bunga-berbunga akibat tidak mampu membayar tepat waktu. Apakah itu bisa tertutup dengan hasil investasi yang entah kapan dan sedikit banyak ada resikonya? Atau jika mengandalkan penghasilan bulanan dulu, apakah sudah diperhitungkan kalau cicilan pembayaran hutang tidak melebihi kemampuan?
Belum lagi beban mental ketika ditagih sana-sini oleh debt collector.
Ujung-ujungnya? Investasi gagal karena terpaksa harus diberhentikan dan belum tentu balik modal. Sementara itu hutang tetap harus dibayar.
Itu adalah contoh Keputusan investasi yang tidak bijaksana dan kurang perhitungan. Sepertinya ahli-ahli investasi perlu juga memberikan pembelajaran mengenai ini. Bukan cuma sekedar memberikan nasehat dan saran mengenai bentuk investasi apa yang menguntungkan.
Risiko investasi?
Bagaimana jika investasi gagal sementara dana pinjaman yang dipakai untuk berinvestasi harus dikembalikan?
Sebagai contoh, katakanlah si A, tergiur untuk menanam modal pada tambak ikan. Dia pun meminjam uang dari bank. Eh ternyata setelah beberapa lama, tambak ikan tidak jalan, dan modal tidak kembali.
Hal seperti ini bisa terjadi terjadi karena si pemodal tidak pandai menganalisa proposal investasi, kurang pengalaman, atau tidak cukup informasi mengenai bentuk investasi yang ditawarkan. Hasilnya uang hilang, tetapi hasil investasi tidak ada. Padahal dia harus mengembalikan uang pinjaman yang dipakai untuk modal investasi tersebut.
Contoh lain, si B, meminjam uang dari kerabatnya untuk disimpan di koperasi, dengan pertimbangan bunga simpanan di koperasi simpan pinjam lebih besar daripada di bank.
Entah bagaimana ceritanya, setelah beberapa waktu, koperasi terindikasi miss management sehingga tidak dapat melakukan pembayaran dana kepada nasabahnya ketika jatuh tempo pembayaran. Padahal si B sudah berjanji pada orang yang dipinjami, akan mengembalikan uang setelah beberapa lama. Ternyata eh ternyata, koperasi itu tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Dalam kasus seperti ini saya dengar sampai ada kasus ganguan kejiwaan akibat tidak siap dengan “kehilangan” uang tersebut. Mungkin beban mental karena sudah menggunakan uang yang seharusnya bukan untuk investasi. Entah itu hasil pinjaman atau dana yang seharusnya dialokasikan untuk hal yang lain.
Sebaiknya jangan berspekulasi dalam hal penggunaan dana untuk investasi. Sekali lagi investasi itu sifatnya jangka panjang dan ada resiko. Jadi jangan berhutang untuk berinvestasi.
Lain soal kalau investasinya berupa “pertukaran” uang dengan sesuatu yang bendanya menjadi milik Anda dan dapat diuangkan lagi di kemudian hari. Misalnya membeli rumah.
Rumahnya tentu bisa dijual lagi ketika di tengah jalan Anda tidak sanggup melanjutkan pembayaran cicilan hutang pembeli rumah. Beda soal juga jika bendanya berupa sesuatu yang nilainya akan turun dari waktu ke waktu. Misal kendaraan.
Membeli kendaraan dengan cara mencicil tanpa menghitung kemampuan membayar cicilan, menurut saya bukan hal yang bijaksana. Kecuali kendaraannya itu nantinya akan dipakai untuk sesuatu yang menghasilkan uang. Itu pun tetap harus antisipasi jika hasil tidak sesuai rencana.
Logikanya investasi dan beramal itu seharusnya menggunakan dana “nganggur” dan juga harus direncanakan dengan matang. Bukan sekadar ikut-ikutan tren atau dengan pertimbangan hasil tinggi pada jangka waktu yang pendek.
Perlu dimengerti juga kalau berinvestasi berbeda dengan menabung. Menabung itu adalah menyimpan uang. Bisa di celengan atau di bank. Jika menabung di celengan resikonya adalah uangnya dicuri orang atau seperti kasus yang pernah diberitakan beberapa tahun lalu: uangnya dimakan rayap. Sedangkan jika menabung di bank, uang tidak akan hilang dan dijamin LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Namun ada potongan untuk biaya administrasi.
Bagaimana dengan menabung di Koperasi? Sepintas menabung di koperasi itu sama dengan menabung di bank, namun perlu disadari bahwa menabung di koperasi tidak dijamin oleh LPS.
Biasanya bunga tabungan di koperasi lebih besar daripada di bank. Dan hal itulah yang membuat orang tergiur untuk menyimpan dana dalam jumlah besar di koperasi simpan pinjam, bahkan ada yang sampai menggunakan dana yang sudah dialokasikan untuk keperluan lain atah menggunakan uang hasil pinjaman untuk mendapatkan keuntungan dari koperasi. Padahal, selain tidak dijamin LPS, sifat koperasi adalah gotong royong dan saling membantu.
Jadi, apapun bentuknya sebaiknya tidak menggunakan dana hasil pinjaman atau dana yang sudah dialokasikan untuk keperluan lain untuk berinvestasi.
Berhutang pun ada hitungannya agar tidak terjebak dalam gali lubang tutup lubang. Berhutang harus memperhitungkan kemampuan bayar setiap bulannya yang diambil dari penghasilan tetap. Tidak mungkin kan membayar cicilan bulanan melebihi penghasilan yang didapat rutin setiap bulannya.
Penghasilan yang dimaksud di sini adalah penghasilan rutin yang sudah pasti jumlahnya. Jika ada kemungkinan mendapatkan bonus di luar penghasilan tetap, sebaiknya tidak dihitung dalam menentukan jumlah cicilan hutang per bulannya. Karena sifatnya tidak tentu, bisa ada bisa tidak.
Jangan pula menerima tawaran berhutang hanya dengan alasan ada yang mau kasih hutang artinya masih dipercaya. Berbagai cara dilakukan sales kredit di bank untuk menawarkan pinjaman kepada nasabahnya: program kepercayaan lah, terundang untuk mendapatkan pencairan dana lah, fasilitas pencairan dana lah…padahal intinya adalah tentang memberikan pinjaman yang tentunya harus dibayar tepat waktu. Mereka hanya mengemas kalimat agar yang ditawari merasa istimewa. Padahal namanya tetap pinjaman dan pasti ada timbal balik termasuk juga resikonya.
Maka bijaklah dalam mengatur keuangan, termasuk dalam keputusan untuk berhutang atau menerima tawaran pinjaman. Jangan berhutang untuk keperluan beramal atau berinvestasi.
Berhutang boleh, tetapi hitunglah dengan benar agar tidak terjebak dalam lingkaran setan gali lubang tutup lubang. Dan jangan berspekulasi dengan hutang dengan harapan mendapat selisih keuntungan dari hasil investasi dan pembayaran hutang.
Jangan pula beramal diluar batas kemampuan dan karena gengsi akhirnya menjadikan alasan penghalal untuk berhutang. Saat terlilit hutang, tidak mungkin Anda memaksa meminta bantuan pada orang yang pernah Anda bantu dengan alasan dulu pernah membantu.
VRGultom
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H