Diskriminasi dia dapatkan hanya karena menjadi istri dari seorang pemberontak yang dianggapkan buruk dan sampah di masyarakat. Namun, ia tidak peruruk. Ia tetap bangkit dan melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Ia ingin mengejar kembali cita-citanya yang sedari kecil untuk menjadi guru.Â
Berkat kepintarannya, ia mendapatkan beasiswa guru di luar negeri hingga bertemu dengan sosok pria yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Namun, mantan suaminya yang mantan napi seorang pemberontak itu seakan tidak mau membiarkan hidupnya tenang.Â
Dengan pengaruh dan provokasinya, dia berhasil memperngaruhi pikiran suami mudanya dan menuduhnya telah berselingkuh.Â
Bagi Muryati, tuduhan itu tidak termaafkan hingga pada akhirnya sosok Muryati yang tangguh membiarkan diri dalam kekosongan hati karena terlalu banyak sakit hati yang telah dia rasakan atas ulah-ulah mantan suaminya yang mantan seorang golongan kiri dengan segala sifat-sifat diri yang membersamai hingga secara tidak langsung berhasil menghancurkan kehidupannya untuk yang kesekian kali.Â
Menurut pandangan pribadi saat membacanya, novel ini mampu membawa saya merasakan emosi senang, sedih, mencinta, dicintai, dan kesal sepanjang jalan cerita. Harapannya sampai akhir mbak  Mur dapat hidup bahagia sama mas Han.Â
Sosok mas Han yang digambarkan sebagai pria lemah lembut dan sebaik itu dalam memperlakukan Muryati sebagai istri dengan penuh kasih sayang dan cinta, tetapi rasa cinta yang telah mereka pupuk bersemi harus rusak oleh pengaruh-pengaruh buruk Widodo. Sayang sekali, mbak Mur sudah terlanjur kecewa. Sebagai pembaca, saya dapat merasakan betapa lelahnya hati menjadi sosok Muryati menghadapi kehidupannya di masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H