Alur Novel "Jalan Bandungan" karya NH Dini.
Ini menjadi salah satu karya sastra bentuk novel terbaik yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan menjadi seorang wanita tangguh di setiap persoalan kehidupan. Novel ini menggambarkan perjuangan tidak mudah yang dialami sebagian orang di masa-masa pemberontakan PKI Madiun dari sudut pandang seorang istri.
Jalan Bandungan menceritakan kehidupan seorang perempuan sebagai tokoh "aku" yang bernama Muryati. Muryati belia digambarkan sebagai sosok yang pintar, rendah hati, dan ceria.Â
Kehidupannya yang mudah dan tercukupi karena gaji sang ayah sebagai abdi negara dan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Muryati menempuh pendidikan calon guru yang saat itu dikenal dengan istilah SPG. Pada suatu ketika, ia dijodohkan dengan pemuda kenalan ayahnya yang bernama Widodo. Muryati menyapanya akrab dengan sebutan "Mas Wid".Â
Muryati dilamarnya, hari-hari dijalani Muryati dan Widodo sebagai seorang kekasih, pernikahan terencana dilaksanakan setelah Muryatai lulus dari sekolah calon guru sesuai dengan keinginan ayahnya supaya putrinya itu benar-benar mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru barulah ia merestui adanya pernikahan.
Namun, di sisi lain Widodo menunjukkan sikap ketidakgemaran akan sikap Muryati dan orang tuanya yang menurutnya semakin hari semakin banyak mengatur dirinya untuk melakukan ini dan itu.Â
Sebagai contohnya, Widodo enggan kala Muryati mengajaknya menonotn film sewaktu libur sekolah karena Widodo pikir itu bukan kesukaannya.Â
Di lain waktu, ayah Muryati memintakan hal serupa kepada calon menantunya supaya membawa Muryati menonton. Untuk perihal "sangu" dan tiket, biarkan ayah Muryati yang menanggungnya. Namun, Widodo menanggapi hal tersebut dengan rasa hati yang berat. Dia tidak suka menonton sehingga ia merasa terpaksa dan didesak untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak ia sukai.
Muryati menyadari, Widodo selalu murung saat diajak menonton. Perempuan itu mulai mempertanyakan rasa cinta Widodo terhadap dirinya.Â
Ada kecurigaan mengapa Widodo tidak melakukan hal yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih seperti yang dia tahu dari buku-buku dan film; mengapa dia malah murung saat dirinya senang? Mengapa tidak kentara ada hasrat sebagaimana mestinya seorang kekasih kepada tunangannya? Muryati mulai dilingkupi berbagai keraguan akan kelanjutan hubungan dengan calon suaminya.Â
Hubungan mereka mengalami kerenggangan. Widodo jarang datang berkunjung di akhir pekan sehingga menimbulkan tanya pada diri Muryati, "Adakah yang salah pada sikap dirinya?".Â
Suatu hari Widodo mengirimkan sebuah surat yang menyampaikan ketidaksukaannya akan sikap orang tua Muryati yang suka memerintahnya melakukan sesuatu hal; atau saat membujuknya pergi menonton, sedangkan hal itu bukanlah kesukaannya. Widodo mengakui jika itu merupakan pemaksaan kehendak.
Muryati merasa kurang suka dengan sikap Widodo yang ternyata "egois" dan kurang menghargai orang tuanya. Muryati tidak menyangka jika persoalan mengajaknya menonton di akhir pekan menjadi masalah untuknya.Â
Padahal dalam hal ini, ia sependapat dengan sang ayah jika pergi menonton bersama pasangan adalah hal yang lumrah dan sebagai hiburan kala dirinya penat setelah sepekan berkutat dengan buku pelajaran sekolah.Â
Muryati melaporkan isi surat itu kepada kedua orang tuanya, lalu orang tua Muryati mengambil tindakan tegas bertanya akan keseriusan Widodo, apakah akan berlanjut atau disudahi jika dia merasa tidak cocok selagi pernikahan belum terlaksana. Widodo menyatakan untuk terus melanjutkan dan tidak sekali pun ingin menyudahi hubungannya dengan "Dek Muryati", begitu sapaan akrab pria itu kepada Muryati.
Semenjak ayah Muryati meninggal, kehidupan keluarga Muryati berubah. Kebutuhan yang semula terpenuhi, kini harus prihatin. Kebutuhan rumah dan sekolah disokong dengan uang pensiun ayahnya yang tak seberapa, ibunya lantas membuka warung sembako kecil-kecilan untuk menyambung penghidupan keluarga.Â
Meskipun di kalangannya berjualan dianggap sebagai pekerjaan yang memalukan dan rendahan, tetapi ibu Muryati mengesampingkan ocehan tetangga dan tetap berjualan untuk menghidupi beberapa anaknya yang masih butuh biaya sekolah dan makan sehari-hari.
Muryati menikah dengan Widodo. Ketidakcocokan semakin ditemukan setelah kehidupan pernikahan dijalani. Widodo yang semakin bertindak semaunya sendiri. Muryati yang dibatasi dalam hal pergaulan dengan rekan dan tetangga, ia yang diminta mundur dari profesinya sebagai guru.Â
Pun wanita itu memenuhi permintaan-permintaan sang suami meski ia pikir itu bukan kemauannya dan hal-hal keterpaksaan sering Muryati lakukan demi bentuk kepatuhannya pada sosok yang disebut suami.
Suatu hari, Muryati curiga dengan pekerjaan suami yang seringnya pulang malam dan penghasilan yang tidak tetap, bahkan kekurangan. Pada akhirnya sebuah kabar berita mengejutkan sampai di telinganya kala polisi berhasil meringkus suaminya yang diduga sebagai orang-orang yang termasuk golongan kiri alias komunis. Suaminya ditahan di Nusakambangan. Beberapa tahun terpisah, Muryati semakin jarang mengunjungi sang suami di penjara.Â
Jikalau dia mengujungi, itu ia anggap sebagai sebuah kewajiban akan status istri yang masih disandangnya, ia masih memikirkan omongan orang-orang akan keharusan seorang istri berbakti pada suami meskipun ia merasa tidak ada lagi kewajiban yang harus dipenuhi karena sebagai suami, Widodo tidak lagi menafkahi baik fisik ataupun batin.Â
Keretakkan dalam rumah tangganya sudah berlangsung sejak lama. Hingga suatu hari, ia memutuskan melayangkan surat gugatan perceraian kepada suaminya. Mereka resmi berpisah.
Muryati menjadi orang tua tunggal untuk ketiga anaknya. Perekonomian yang dibantu oleh sang ibu dari uang hasil berjualan sembako di warung kecilnya ternyata dapat membantu menghidupi anak-anaknya hingga tubuh besar.
Suatu hari, Muryati berkunjung ke keluarga suaminya yang selama ini tak pernah diizinkan berkunjung sebab Widodolah yang melarangnya bertandang. Di rumah mertuanya, Muryati disambut dengan baik, anak-anaknya hasil pernikahannya dengan Widodo disambut riang oleh mertuanya.Â
Sang mertua yang menjelaskan jika hubungannya dengan anak sulung mereka tidak berlangsung baik karena sikap Widodo sejak remaja yang sudah menunjukkan perilaku memberontak hingga pada akhirnya ia mempunyai sosok panutan yang tidak lain adalah pamannya.Â
Widodo yang "manut" kepada sang paman sehingga pihak keluarga tidak terkejut atas kabar tergabungnya ia dalam pemberontakan kelompok golong kiri di Madiun. Mertuanya mengatakan sejak Widodo dekat dan tinggal bersama dengan pamannya, sejak saat itu mereka seolah terputus hubungan dengan anak sulungnya.Â
Muryati memahami bahwa selama ini sikap-sikap suaminya yang selalunya teguh pendirian, tidak mau diatur, dan egois merupakan sifat dasarnya. Jika jiwa "pemberontak" telah mengalir di dalam darahnya sejak kecil.Â
Muryati kembali menata hidupnya. Ia kembali menjadi guru, melanjutkan cita-cita dan kesukannya dalam hal mengajar. Â Suatu hari ia mendapat beasiswa ke Belanda, di sana ia bertemu dengan seorang pemuda setanah air. Dia seorang arsitek yang usianya terpaut cukup jauh di bawahnya, ia bernama Handoko yang merupakan adik bungsu Widodo. Singkat cerita, Muryati menikah dengan Handoko.
Uniknya, sapaan "Mbak Mur" tak ubahnya bagi Handoko untuk memanggil istrinya alias mantan iparnya itu dan "Mas Han" menjadi ciri khas Muryati menyapa sang suami dengan rasa hormat. "Mas" di sini bukan berarti "Kang Mas", tetapi kependekan "Dimas" yang dalam bahasa Jawa berarti adik dikarenakan hubungan mereka tetap memperhatikan "kepernahan" yakni menjaga rasa saling hormat terpaut usia sekaligus pernah menjadi seorang adik dan kakak ipar.
Berbeda saat bersama Widodo dulu dimana tugas-tuganya sebagai istri hanya memenuhi sebuah keharusan sebagai bakti istri kepada suaminya. Namun dengan Handoko, Muryati melakukan semua hal atas dasar cinta. Bersama pria itu dia merasa dicintai, merasa jatuh cinta sejatuh-jatuhnya, dia siap berbakti dengan sepenuh hati, dan turut pergi kemana pun sang suami membawanya pergi.Â
Tak ada satu kali pun Muryati menunjukkan sikap ketidakcintaan kepada Handoko sebab di dalam hatinya hanya ada nama Handoko, bahkan nama Widodo tidak pernah terbesit sama sekali di benaknya.
Suatu masa, Widodo terbebas dari masa kurungan. Ia kembali mendekati Muryati dan berharap dapat rujuk dengan mantan istrinya itu. Widodo mengetahui jika saat ini Muryati telah diperistri oleh adik bungsunya.Â
Widodo melakukan berbagai cara supaya keretakkan rumah tangga adiknya terjadi dan Muryati dapat kembali kepadanya. Pun Muryati menyadari kebahayaan Widodo dalam hal memprokasi. Betapa Muryati mengetahui bagaimana Handoko rawan terpangaruh oleh perkataan kakak sulungnya yang sedari dulu kewenangan Widodo tak pernah mampu dibantahnya.Â
Handoko kecil begitu penurut pada sosoknya. Hal ini yang membuat Muryati merasa takut saat suaminya berinteraksi dengan Widodo karena betapa pria itu sangat berbahaya dalam hal mempengaruhi pikiran adiknya sendiri.
Widodo terus mempengaruhi Handoko supaya berpikir buruk terhadap istrinya. Widodo bahkan mengadu domba dengan mengarang cerita palsu jika Muryati mengatakan ingin rujuk padanya; atau menyebar berita Muryati telah berselingkuh dengan rekan-rekan prianya. Handoko yang terpengaruh pun mengungkapkan kecurigaannya kepada Muryati.
 Namun dengan gigih Muryati tidak membenarkan semua tuduhan itu. Keinginan rujuk dan perselingkuhan itu hanyalah fitnah dari Widodo. Muryati mengaku bahwa kecintaannya hanya untuk suaminya seorang.Â
Di sisi lain, Muryati berbalik menjadi kesal kepada Handoko betapa dia telah mudah dihasut dan terprovokasi oleh Widodo yang dasarnya mempunyai jiwa provokator dan pengadu domba itu. Muryati kecewa atas sikap Handoko yang lebih mempercayai bekas nara pidana itu daripada istrinya sendiri.
Sejak saat itu, Muryati merasa harga diri Handoko menurun di matanya. Kecintaannya kepada Handoko yang semula membumbung tinggi dan tak pernah berkurang sedikit pun, kini seakan turun kadarnya. Hubungan mereka menjadi renggang dan kehidupan yang dijalani ala kadarnya berdasarkan pada tuntutan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami dan istri.Â
Hingga di akhir cerita, Handoko mendapatkan proyek di luar negeri. Muryati ditinggalkan sementara dan diharapkan menyusul bila nanti kehidupan Handoko telah stabil di sana. Namun, Muryati tak begitu memikirkan. Ia tidak lagi merasa takut kehilangan walau terpisah jauh dengan suaminya; walau harus terpisah bertahun-tahun lamanya karena kini Muryati telah merasa berbeda dengan Muryati yang dulu yang ingin bersanding selalu dengan sosoknya.Â
Tekadnya dulu yang akan mengikuti kemana pun dia pergi, kini seakan perpisahan adalah sebuah kebaikan bagi mereka. Perpisahan itu memang bukan sebuah perceraian karena baginya terlalu sayang mengakhiri hubungan daripada rasa cinta dan kenangan indah yang selama ini dijalani bersama.Â
Namun, kepergian suaminya tak pula membuatnya sedih karena selepas percekcokan itu rasa di hatinya kepada suaminya kian memudar, maka dia biarkan hatinya hampa entah dalam waktu berapa lama.
Dari novel ini saya banyak belajar dari sosok Muryati digambarkan sebagai wanita yang mampu bersikap dewasa dan sangat tabah menjalani gelombang pasang surut kehidupan. Kehidupannya yang mudah menjadi sulit sejak kematian ayahnya, ditambah jalan kehidupan yang rumit setelah pernikahannya dengan seorang pemuda yang rupanya anggota golongan kiri yang tergabung dalam aksi pemberontakan Madiun kala itu.Â
Cemoohan harus ia hadapi dengan menutup mata dan telinga karena label "istri pemberontak" masih sering didengarnya. Betapa berat ujiannya mendapatkan perlakuan dari masyarakat atas sesuatu hal yang tidak dia lakukan.Â
Diskriminasi dia dapatkan hanya karena menjadi istri dari seorang pemberontak yang dianggapkan buruk dan sampah di masyarakat. Namun, ia tidak peruruk. Ia tetap bangkit dan melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Ia ingin mengejar kembali cita-citanya yang sedari kecil untuk menjadi guru.Â
Berkat kepintarannya, ia mendapatkan beasiswa guru di luar negeri hingga bertemu dengan sosok pria yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Namun, mantan suaminya yang mantan napi seorang pemberontak itu seakan tidak mau membiarkan hidupnya tenang.Â
Dengan pengaruh dan provokasinya, dia berhasil memperngaruhi pikiran suami mudanya dan menuduhnya telah berselingkuh.Â
Bagi Muryati, tuduhan itu tidak termaafkan hingga pada akhirnya sosok Muryati yang tangguh membiarkan diri dalam kekosongan hati karena terlalu banyak sakit hati yang telah dia rasakan atas ulah-ulah mantan suaminya yang mantan seorang golongan kiri dengan segala sifat-sifat diri yang membersamai hingga secara tidak langsung berhasil menghancurkan kehidupannya untuk yang kesekian kali.Â
Menurut pandangan pribadi saat membacanya, novel ini mampu membawa saya merasakan emosi senang, sedih, mencinta, dicintai, dan kesal sepanjang jalan cerita. Harapannya sampai akhir mbak  Mur dapat hidup bahagia sama mas Han.Â
Sosok mas Han yang digambarkan sebagai pria lemah lembut dan sebaik itu dalam memperlakukan Muryati sebagai istri dengan penuh kasih sayang dan cinta, tetapi rasa cinta yang telah mereka pupuk bersemi harus rusak oleh pengaruh-pengaruh buruk Widodo. Sayang sekali, mbak Mur sudah terlanjur kecewa. Sebagai pembaca, saya dapat merasakan betapa lelahnya hati menjadi sosok Muryati menghadapi kehidupannya di masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H