Mohon tunggu...
Iita Marissa
Iita Marissa Mohon Tunggu... Buruh Cuci -

Begini aja apa adanya...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menggenggam Awan

20 Januari 2014   23:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini aku merasa ada yang kurang. Aku sadar bahwa langit pagi ini benar-benar biru. Biru sepenuhnya, tak ada awan. Cirus, culumbus, nimbus semuanya tak ada.
“Kemana mereka” batinku berkata.
Aku terus melanjutkan langkahku menuju sekolah, seperti biasa lima belas menit sebelum bel sekolah bunyi aku sudah tiba di sekolah.
“Ada apa ini?” kataku lirih begitu melihat kerumunan siswa di depan kantor guru. Aku ikut berjalan mengikuti arus. Hingga aku tiba tepat di depan kantor guru. Ikut berdesak-desakan.

“Hey, berhentilah mendorongku” ucapku dengan nada tinggi pada seseorang di sebelahku. Aku yang lelah akhirnya bisa keluar dari kerumunan itu dan sampai di depan kelas.

“Tumben kamu berantakan” kata Dian teman sekelasku.

“Gimana ngak berantakan kalo aku harus nerobos kerumunan anak-anak di depan” keluhku.

“Oh, masih belum pada bubar?” tanya Dian.

“Jadi kerumunan itu udah dari tadi?” tanyaku, Dian menggangguk pelan.

“Emang apa sih yang buat mereka berdesak-desakan di sana?” aku bertanya lagi.

“Denger-denger sih ada cowok cakep, dia baru pindah ke sini” kata Dian. Aku tersenyum kecut mendengar penyebab kericuhan di depan.

***


Pelajaran pertama hari ini adalah Fisika, Bu Ana membawa seorang laki-laki tinggi, putih bersamanya.

“Siapa dia? Anak baru yang di maksud Dian?” batinku menerka.

“Anak-anak, kalian dapat teman baru, silahkan kamu perkenalan dulu” kata Bu Ana mempersilahkan laki-laki itu untuk bicara.

“Pagi, kenalkan nama saya Awan, saya dari Jakarta” katanya singkat.

“Baiklah Awan kamu duduk di sebelah sana ya, bangku nomer dua” kata Bu Ana menunjuk kursi kosong di depanku.

“Kenapa Bu Ana nunjuk kursi ini? Padahal kursi di belakang Pampam juga kosong” keluhku dalam hati.
Bu Ana tak menggubris wajahku yang kesal, ia tetap berlanjut menjelaskan materi minggu lalu tentang aliran listrik paralel. Aku yang biasanya tak pernah tertarik dengan Fisika menjadi semakin tak tertarik lagi dengannya.

“Kiki” Bu Ana memanggilku.

“iya Bu” jawabku dengan cepat.

“Kerjakan soal nomer empat di papan tulis” pinta Bu Ana. Dengan terpaksa aku beranjak dari dudukku dan mulai berjalan ke depan kelas. Sesampainya di depan aku menuliskan soal di papan. Aku mencoba mengerjakan mencari dengan rumus satu ke rumus yang lain tapi belum juga aku menemukan hasilnya langkahku terhenti, seakan berjalan di labirin semua jalan buntu. Aku melirik papan tulis sebelah sudah berganti beberapa anak yang lain.

“Sebenarnya kamu bisa mengerjakan tidak?” tanya Bu Ana padaku.

“Maaf Bu, tadi waktu Ibu menjelaskan saya tidak bisa memperhatikan karena Awan terlalu tinggi Bu” kataku memberi penjelasan.

“Kamu selalu saja mencari alasan, seakan Ibu tidak tahu kalau kamu memang tak pernah memperhatikan Ibu, sekarang murid baru itu sudah jadi kambing hitam kamu” kata Bu Ana dengan nada tinggi. Aku terdiam mendengar semua celoteh Bu Ana yang panjang lebar, sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Aku selamat. Aku berlali ke kamar mandi. Mencuci mukaku beberapa kali. Aku segera bergegas keluar dari kamar mandi di ujung koridor langkahku tiba-tiba terhenti. Awan, tiba-tiba dia ada di hadapanku. Aku terhuyung dan jatuh, dia menjagaku memegang erat kedua lenganku. Saat ini aku benar-benar dekat dengannya, gurat wajahnya terlihat jelas oleh manik mataku.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya padaku membuatku tersadar dan segera berdiri tegak.

“Ya. Terima kasih” kataku. Aku segera berlalu karena malu dan berkat kecerobohanku yang tak bisa menjaga langkahku aku tersandung diantara kakiku sendiri. Kali ini aku benar-benar jatuh. Awan menghampiriku. Aku tak bisa melihat wajahnya karena terlalu sibuk menyembunyikan rasa maluku.

“Aku baik-baik saja” kataku melepaskan tangannya dari lenganku, aku berdiri dan pergi dengan berjalan pelan. Hatiku berdebar, rasa malu ini belum bisa ku atasi bahkan hingga bel istirahat berbunyi. Aku hanya menenggelamkan wajahku di atas meja. Menghindari jika dia menghadap ke belakang untuk mengembalikan buku pelajaran ke dalam tasnya.

“Kau sakit?” tanyanya sambil memegang bahuku. Aku sedikit terkejut.

“Kenapa kamu baik sama aku?” tanyaku polos padanya.

“Karena kamu satu-satunya orang di sini yang tak menyukaiku” jawabnya dengan cepat.

“Lalu, apa dengan kau berbuat baik padaku, aku akan menyukaimu?” tanyaku lagi.

“Tidak, aku berbuat baik padamu tidak untuk itu” jawab Awan.

“Lalu, untuk apa?” aku masih berselimut rasa penasaran.

“Untuk ini” kata Awan dengan memajukan sedikit badannya kearahku. Hingga aku tak bisa melihat jarak antara kita. Terlalu dekat.

“Untuk membuatmu kagum padaku” kata Awan, aku mendorongnya kebelakang. Beberapa anak yang ada di kelas menyaksikan kejadian mengejutkan ini, bukan hanya untuk mereka tapi juga untukku.

“Kau gila” ucapku.

“Tidak biasanya aku mengangumi seseorang, tapi orang yang aku kagumi saat ini tak mengagumiku sedikitpun, ini menyakitkan” kata Awan. Hatiku semakin tak bisa ku kendalikan. Mungkinkah aku mengaguminya. Diam-diam bukan hanya sirus, nimbus dan culumbus yang kukagumi tapi juga Awan, ya hanya Awan tanpa nama dan dialah yang saat ini duduk di hadapanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun