“Anak-anak, kalian dapat teman baru, silahkan kamu perkenalan dulu” kata Bu Ana mempersilahkan laki-laki itu untuk bicara.
“Pagi, kenalkan nama saya Awan, saya dari Jakarta” katanya singkat.
“Baiklah Awan kamu duduk di sebelah sana ya, bangku nomer dua” kata Bu Ana menunjuk kursi kosong di depanku.
“Kenapa Bu Ana nunjuk kursi ini? Padahal kursi di belakang Pampam juga kosong” keluhku dalam hati.
Bu Ana tak menggubris wajahku yang kesal, ia tetap berlanjut menjelaskan materi minggu lalu tentang aliran listrik paralel. Aku yang biasanya tak pernah tertarik dengan Fisika menjadi semakin tak tertarik lagi dengannya.
“Kiki” Bu Ana memanggilku.
“iya Bu” jawabku dengan cepat.
“Kerjakan soal nomer empat di papan tulis” pinta Bu Ana. Dengan terpaksa aku beranjak dari dudukku dan mulai berjalan ke depan kelas. Sesampainya di depan aku menuliskan soal di papan. Aku mencoba mengerjakan mencari dengan rumus satu ke rumus yang lain tapi belum juga aku menemukan hasilnya langkahku terhenti, seakan berjalan di labirin semua jalan buntu. Aku melirik papan tulis sebelah sudah berganti beberapa anak yang lain.
“Sebenarnya kamu bisa mengerjakan tidak?” tanya Bu Ana padaku.
“Maaf Bu, tadi waktu Ibu menjelaskan saya tidak bisa memperhatikan karena Awan terlalu tinggi Bu” kataku memberi penjelasan.
“Kamu selalu saja mencari alasan, seakan Ibu tidak tahu kalau kamu memang tak pernah memperhatikan Ibu, sekarang murid baru itu sudah jadi kambing hitam kamu” kata Bu Ana dengan nada tinggi. Aku terdiam mendengar semua celoteh Bu Ana yang panjang lebar, sampai bel pergantian pelajaran berbunyi. Aku selamat. Aku berlali ke kamar mandi. Mencuci mukaku beberapa kali. Aku segera bergegas keluar dari kamar mandi di ujung koridor langkahku tiba-tiba terhenti. Awan, tiba-tiba dia ada di hadapanku. Aku terhuyung dan jatuh, dia menjagaku memegang erat kedua lenganku. Saat ini aku benar-benar dekat dengannya, gurat wajahnya terlihat jelas oleh manik mataku.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya padaku membuatku tersadar dan segera berdiri tegak.