Perjalanan dari Kota Malang ke Kota Madiun sekitar tiga jam lebih kalau jalannya sepi tanpa macet. Kami pisah dengan Bayu saat motor kami sudah masuk Kota Kediri.
"Hati-hati, kalian. Sampai bertemu di Madiun" ucap Bayu pamit kepada kami, Â belok ke arah lain menuju rumahnya.
Kami pun melanjutkkan perjalanan menuju Kota Nganjuk. Kali ini terjadi lagi, bukan karena mistis tapi sikap Putut. Sesampainya di terminal Kota Nganjuk, Putut berhenti, memarkirkan motornya di terminal. Parkir yang bisa berhari-hari menitipkan kendaraan. Lantas di ajaknya aku naik bus untuk melanjutkkan perjalanan ke Kota Madiun.
"Heran dan bingung!, padahal ada motor kenapa harus naik bus??" Bertanyaku dalam diri atas sikap Putut ini
Aku diam tanpa mempertanyakan sikap Putut itu, ikut saja kehendak Putut karena ini pengalaman pertamaku ke Madiun. Kami naik bus ekonomi jurusan Madiun-Ponorogo karena letak desa Putut memang berada di perbatasan Ponorogo.
Waktu itu bus_nya ramai, kami gak kebagian tempat duduk, terpaksa kami berdiri di lorong bus. Perjalanannya sekitar satu jam lebih. Namun kami berdiri hanya sampai Kecamatan Saradan karena sudah ada banyak penumpang yang turun.
Pemandangan di sekeliling juga indah, banyak kendaraan yang lalu lalang bukan hamparan sawah atau gunung. Sekitar satu jam lebih sedikit, kami bedua sampai desa tempat rumahnya Putut berada. Ternyata bus_nya gak ke terminal Madiun terlebih dulu tapi langsung berhenti di jalan raya tempat desa rumah Putut.
Kami berdua turun dari bus, Putut jalan kaki masuk gang kecil di samping kami turun tadi. Mungkin rumahnya Putut masuk gang, pikirku yang terus mengikuti dibelakangnya. Tak jauh dari gapura gang, Putut belok di sebuah rumah, bangunannya sedikit berbeda seperti ada bangunan model warung di depannya.Â
Ternyata Putut mengajakku ngopi dulu sebelum ke rumahnya. Di sana ternyata memang biasa Putut ngopi bersama teman dan bapak-bapak desa karena para pengunjung warung kenal dengan Putut.
Kami memesan kopi, minuman idaman kami, lalu duduk di kursi mirip bayang tanpa sandaran. Putut mengambil makanan ringan, gorengan tempe tipis berbalut tepung dengan saus tomat. Ini berbeda dengan di tempatku, karena biasanya gorengan tempe disajikan dengan sambal petis. Aku coba satu gorengan tempe, renyah sekali seperti kripik dan memang pas disajikan dengan saus tomat biasa.
"Kenapa tadi naik bus, Tut?. Kan naik motor enak" tanyaku, penasaran tentang tadi.
"Aku gak boleh bawa motor, Yan. Kalau pulang balik ke rumah" jawab Putut sedikit malu.
"Oalah. Anak mama kamu, Bos!, hehehe" Jawabku tertawa mendengar jawaban Putut yang gak boleh bawa motor.
Kami menikmati ngopi siang ini, melanjutkan obrolan rencana kita mendaki di Lawu dan bahasan akan perkuliahan. Putut memintaku mengerjakan tugas makalah untul tambahan nilainya nanti malam.
Aku pun mengiyakan karena selama ini memang Putut banyak meminta tolong kepadaku kalau masalah tugas kuliah dan ia juga sering memberiku upah atau menolong dalam materi.
Kopi kami telah abis, gorengan tempe pun habis kita makan berdua, Putut mengajak ke rumahnya berjalan kaki kembali ke depan gang kita masuk tadi.
"Jalan kaki, Bos?" Tanyaku yang sudah capek tadi berdiri dalam bus.
"Iya, yan. Rumahku seberang jalan raya, depan gang tadi kita masuk" jawab Putut, menunjuk rumahnya dengan tangan.
Rumah mewah yang ku lihat, luas dengan garasi bus yang cukup untuk dua bus dan di tambah dengan gudang slep tempat penggilingan padi. Pantes saja, Putut sering mentraktirku makan ketika di kontrakkan. Bahkan tak jarang memberiku uang saat selesai mengerjakan tugas kuliahnya, ternyata Putut anak orang kaya.
Kami sudah masuk gerbang rumah Putut, bertemu mamanya, dengan perawakkan gemuk yang sedang duduk di kursi balai depan rumah. Aku meberi salam kepada mamanya sembari memperkenalkan namaku, tak lupa juga Putut meminta izin kepada mamanya kalau aku menginap di rumahnya.
Kami langsung pergi ke kamar Putut setelah pamit kepada mamanya. Kamar yang besar bak kamar hotel, penuh fasilitas baik itu pendingin ruangan (AC), sound sistem, televisi dan juga Playstation (PS). Jauh timpang mirip kesenjangan ekonomi dengan kamarku di rumah yang kecil tanpa fasilitas.
Aku beristirahat, tiduran di kasur empuk mengingat tubuh penat akan kelelahan perlu untuk di istirahatkan. Sementara Putut keluar mengambil makanan.
Aku ingat, aku belum izin ayahku di rumah, beliau pasti menunggguku pulang. Aku mengambil ponselku, ku hubungi ayahku. Hanya berdering tanpa diangkat. Â Sedikit lama aku tunggu akhirnya ada jawaban di ujung telpon sana.
"Yah, aku gak pulang Lamongan. Aku minta izin main ke rumah Putut di Madiun karena minggu depan mau ndaki ke Gunung Lawu" ucapku di telpon.
"Madiun??, Gunung Lawu??, Sama siapa??" Tanya ayahku yang cerocos bertanya tanpa jeda seperti ada firasat sesuatu di Madiun dan Gunung Lawu.
"Banyak banget pertanyaan ayah!. Sama teman-teman kampus, ada Putut, Bayu, Raguk dan Bella. Memang ada apa, Yah?" Tanyaku balik ke ayah yang seperti menyimpan firasat.
"Apa gak bisa dibatalin dan pulang ke rumah langsung?, perasaan ayah gak enak daritadi menunggu kamu pulang ke Lamongan. Dua hari lagi suroan, mesti di Madiun ramai dan Ingat loh Gunung Lawu itu sarang demit bahkan ada mitosnya" tanya ayahku, yang mencegahku berangkat ndaki ke gunung Lawu dan menyuruh untuk segera pulang.
"Gak enak sama teman-teman, soalnya sudah janji pergi buat ndaki. Insyahallah, aman, lancar dan selamat, Yah. Minta doanya saja, Yah" jawabku meminta doa ayahku.
"Ya sudah, ayah izinin dan doakan tapi inget jaga tata krama baik lisan maupin perilaku di rumah Putut ataupun nanti di gunung. Sholatnya juga di jaga. Kalau ada apa-apa telpon ayah" pinta ayah mengingatkanku.
Aku menutup telponnya, menunggu Putut datang yang keluar kamar sebentar mengambil makanan untukku dan dirinya. Melihat sekeliling kamar Putut yang besar, merasa kagum, sedikit iri karena memang kamarku kecil. Manusiawi merasa iri akan dunia karena aku hanya manusia biasa.
Saat melihat sekeliling kamar Putut, Â pandangan bola mataku berhenti, tertuju pada sebuah foto yang menempel pas di balik pintu kamarnya.
Foto keluarga besar Putut, nampak ia sedang memakai baju kebesaran salah satu perguruan silat yang terkenal di Jawa Timur bahkan Indonesia. Gak usah aku sebut nama perguruannya karena sensitif. Namun bukan itu yang menjadikan foto itu aneh tapi jumlahnya ada lima saudara kandung Putut dengan salah satunya saudara, mohon maaf sedikit cacat fisik.
Penasaran akan fotonya, aku berdiri mendekati Foto itu, tiba-tiba Putut datang membuka pintu kamar untuk masuk ke dalam. Kaget aku!, melihat Putut datang, dengan gelagat tubuh yang menunjukkan salah tingkah kepada Putut.
"Lagi apa, Yan? Tanya Putut, yang melihatku sedang berdiri di depan foto keluarga besarnya.
"Gak, Bos. Hanya melihat foto keluarga besarmu. Di sini ada lima, namun tadi pas ke kamar gak ada sapa-sapa, Tut?" Tanyaku sedikit takut karena bertanya masalah privasi keluarganya.
"Itu foto lama, Yan. Masku yang paling tua, tinggal di Malang bersama istrinya. Sedangkan dua masku ini sudah meninggal kecelakaan motor karena itu aku gak bole pulang naik motor. Sementara Mbakku ini tadi di kamar, Yan" jawab Putut, menerangkan keluarganya sembari menunjuk orangnya satu persatu di foto itu dengan perasaan biasa tanpa rasa marah.
"Oalah, tak kirain kamu anak mama, Bos, hehe" sahutku tertawa kecil.
Kami kembali duduk di kasur, mengistirahatkan sebentar kelelahan dan kantuk kami untuk makan makanan yang Putut bawa tadi sebelum lanjut untuk tidur.
Kami makan sembari bercerita, mendongeng panjang akan kisah hidup kami masing-masing dan keluarga kita. Bahkan Putut pun bercerita tentang mbaknya yang selain cacat fisik seperti nampak pada foto tadi juga cacat mental atau bisa dibilang idiot tanpa ada perasaan malu lagi.
Ini bukan Putut yang ku kenal, Putut kali ini berbeda, lebih terbuka akan hidupnya kepadaku.
Makanan telah abis kami lahap, rasa kantuk semakin berat, bercampur rasa lelah berselimut raga, kami mengakhiri dongeng akan kisah hidup dengan tidur lelap nan panjang. Piring dan sisa makanan kami pun tak sempat kami bereskan, keburu mata ini tertutup pada kasur mewah milik pangeran Putut.
Aku terlelap tidur, mimpi aneh itu datang. Mimpi sama seperti yang ku alami di Kontrakan kemarin malam. Namun kali ini dalam mimpi, aku duduk jongkok, memberanikan membuka kotak kecil terbungkus kain putih yang ku temukan. Â
Nampak dalam kotak itu ada jarum jahit dan jarum kecil yang ukurannya lebih kecil dari jarum jahit berwarna emas menusuk kertas putih bertuliskan "Ojak Karo Aku (jangan denganku)" berwarna merah darah. Saat membaca tuliskan itu duduk jongkok, aku dikagetkan seorang pemuda yang kemarin aku lihat duduk di bawah pohon menepuk pundakku. Aku menengok ke arahnya, melihat wajahnya yang tak bermuka.
Saat itu juga aku terbangun dari tidurku, merasa takut!, gemetar tubuh, dipenuhi akan kecemasan yang penuh pertanyaan akan tanda dari mimpi itu. Maksudnya apa ini? Mimpi untuk kedua kalinya seperti itu.
Aku menengok jam dinding di kamar Putut, astaga!, sudah jam satu malam. Padahal aku merasa tidur hanya sebentar, memperkirakan ini masih habis magrib karena kami tadi tidur sore sekitar jam tiga lebih sedikit.
Perasaan aneh itu datang lagi, perasaan yang tak bisa di ungkap dengan kata-kata, hanya bisa dirasakan. Kali ini bukan hanya bulu tangan tapi juga bulu kudukku berdiri, apa genderuwo itu datang kesini??, mengingat sejenak sosok genderuwo yang ku lihat kemarin di kontrakkan karena merasa ada yang meniup pundakku dari belakang seperti orang bermafas.Â
Mencoba tetap biasa, melirik ke belakang tidak ada apa-apa. Melirik ke samping, terlihat Putut sedang tidur melingkar seperti janin dalam kandungan. Melirik ke kanan, ada kaca rias tempat Putut mengaca yang menampakkan sosok Bapak tua berjenggot putih memakai ikat kepala hitam dan membawa tongkat berdiri di samping putut sembari mengelus kepala Putut.
Takut!, namun tetap tenang menoleh kembali ke arah sebelah kiri tempat sosok bapak tua itu berdiri di cermin, kosong. Tak nampak seseorang.
"Astagfirullah" ucapku dalam hati dengan rasa takut.
Mencoba untuk kembali tidur dengan rasa takut yang mencekam dihati. Berselimut rasa penasaran akan mimpi sama yang sudah dua kali datang kepadaku. Sampai akhirnya, mata penuh kantuk, melanjutkan tidurnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H