"Lagi apa, Yan? Tanya Putut, yang melihatku sedang berdiri di depan foto keluarga besarnya.
"Gak, Bos. Hanya melihat foto keluarga besarmu. Di sini ada lima, namun tadi pas ke kamar gak ada sapa-sapa, Tut?" Tanyaku sedikit takut karena bertanya masalah privasi keluarganya.
"Itu foto lama, Yan. Masku yang paling tua, tinggal di Malang bersama istrinya. Sedangkan dua masku ini sudah meninggal kecelakaan motor karena itu aku gak bole pulang naik motor. Sementara Mbakku ini tadi di kamar, Yan" jawab Putut, menerangkan keluarganya sembari menunjuk orangnya satu persatu di foto itu dengan perasaan biasa tanpa rasa marah.
"Oalah, tak kirain kamu anak mama, Bos, hehe" sahutku tertawa kecil.
Kami kembali duduk di kasur, mengistirahatkan sebentar kelelahan dan kantuk kami untuk makan makanan yang Putut bawa tadi sebelum lanjut untuk tidur.
Kami makan sembari bercerita, mendongeng panjang akan kisah hidup kami masing-masing dan keluarga kita. Bahkan Putut pun bercerita tentang mbaknya yang selain cacat fisik seperti nampak pada foto tadi juga cacat mental atau bisa dibilang idiot tanpa ada perasaan malu lagi.
Ini bukan Putut yang ku kenal, Putut kali ini berbeda, lebih terbuka akan hidupnya kepadaku.
Makanan telah abis kami lahap, rasa kantuk semakin berat, bercampur rasa lelah berselimut raga, kami mengakhiri dongeng akan kisah hidup dengan tidur lelap nan panjang. Piring dan sisa makanan kami pun tak sempat kami bereskan, keburu mata ini tertutup pada kasur mewah milik pangeran Putut.
Aku terlelap tidur, mimpi aneh itu datang. Mimpi sama seperti yang ku alami di Kontrakan kemarin malam. Namun kali ini dalam mimpi, aku duduk jongkok, memberanikan membuka kotak kecil terbungkus kain putih yang ku temukan. Â
Nampak dalam kotak itu ada jarum jahit dan jarum kecil yang ukurannya lebih kecil dari jarum jahit berwarna emas menusuk kertas putih bertuliskan "Ojak Karo Aku (jangan denganku)" berwarna merah darah. Saat membaca tuliskan itu duduk jongkok, aku dikagetkan seorang pemuda yang kemarin aku lihat duduk di bawah pohon menepuk pundakku. Aku menengok ke arahnya, melihat wajahnya yang tak bermuka.
Saat itu juga aku terbangun dari tidurku, merasa takut!, gemetar tubuh, dipenuhi akan kecemasan yang penuh pertanyaan akan tanda dari mimpi itu. Maksudnya apa ini? Mimpi untuk kedua kalinya seperti itu.
Aku menengok jam dinding di kamar Putut, astaga!, sudah jam satu malam. Padahal aku merasa tidur hanya sebentar, memperkirakan ini masih habis magrib karena kami tadi tidur sore sekitar jam tiga lebih sedikit.