Kisah para santri peralihan ini adalah cermin yang memantulkan kenyataan, sekaligus teguran halus bagi kita yang seringkali terjebak dalam prasangka.Â
Dalam negeri yang mayoritas menganut Muslim, tak dapat dipungkiri bahwa intoleransi kadang menyeruak, menempatkan mereka yang berbeda keyakinan sebagai ancaman hingga disebut "kafir" oleh kelompok tertentu. Di balik narasi kehidupan para santri, kita diajak menyelami makna yang lebih dalam: perbedaan bukanlah rintangan, melainkan kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan untuk saling memahami.
Langkah itu adalah ajakan untuk membuka hati, bukan menghakimi; untuk merangkul, bukan mencampakkan. Sebuah pengingat bahwa di balik keberagaman ada persamaan mendasar yang menyatukan kita sebagai manusia.
Pengalaman nyantri selama 3 hari itu membuat santri itu menyerap hikmah tentang nilai-nilai universal, kebaikan yang menentramkan, persahabatan yang menyatukan, dan persaudaraan yang menguatkan. Sebagaimana iman dapat menjadi pengikat atau pemisah, Ia menyadari bahwa semuanya bergantung pada cara menghayatinya.
 Agama, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Gus Dur, bukanlah alat untuk membenci, tetapi jalan untuk memahami. Dengan membuka ruang bagi dialog, pesantren itu menjadi bukti nyata bahwa agama dapat menjadi jembatan yang menghubungkan, bukan tembok yang memisahkan.
Keberanian untuk melangkah di tengah perbedaan adalah teladan nyata bahwa kita dapat membangun harmoni di atas fondasi keberagaman. Setiap senyum yang ia beri, setiap tangan yang ia jabat, adalah bukti bahwa dunia ini tidak harus selalu diwarnai oleh ketakutan terhadap yang berbeda.Â
Harapannya bahwa dari pesantren kecil ini, dari sekilas kisah yang ringkas, tercipta inspirasi besar yang mendorong kita semua untuk lebih membuka hati, menerima keberagaman, dan menjadikannya bagian dari kemanusiaan kita yang luhur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H