Dunia pesantren adalah labirin, penuh dengan adat, kebiasaan, dan ritual yang baginya seolah ditulis dalam bahasa yang belum dipahami. Setiap langkahnya ibarat meniti tali rapuh di atas jurang, setiap tatapan mengingatkannya akan jarak yang menganga.
Di tengah gemuruh keraguan, Ia mengingat firman lain yang tertulis dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Kami menciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal."
Bukankah harmoni sejati lahir dari gesekan yang berbeda? Bukankah mengasihi yang sejati tak mengenal batas, tak bertanya tentang dari mana seseorang berasal atau bagaimana caranya berdoa? Di setiap detak waktu, semua itu bersatu dan menjadi lentera menuntunnya hatinya untuk merangkul perbedaan dengan tangan terbuka dan jiwa yang lapang.
Menghidupi jiwa “Santri Peralihan” di kandang milik orang lain ibarat meniti benang di antara kain berliku, dinamis tetapi juga sarat makna. Bagi seorang remaja dengan kepercayaan yang sama tapi hidup di lingkungan yang berbeda, kehidupan yang tertata rapi dan penuh aturan ini membuat gejolak di hati.
Tepat pukul 4 dini hari, suara adzan yang merdu mengalun dan menyerukan jiwa-jiwa untuk bangkit dari peraduan. Bagi dirinya, lantunan itu menjadi pengingat akan kewajiban yang harus dijalankannya sebagai seorang santri. Tak sebatang kara, dirinya pun ditemani oleh seorang kawan dari perantauan untuk menjalankan shalat Subuh dan pengajian pagi bersama.
Dalam langkahnya, tersembunyi keraguan yang menguatkan, perbedaan yang menyatukan. Meski keberagaman di sekitarnya terasa mencolok, santri itu mencoba untuk membawa keunikan dirinya sebagai entitas ganda di tengah teman-temannya yang tidak sama, baik dari asal-usulnya ataupun di tempat yang sedang disinggahinya.
Keraguan yang semula menggumpal, perlahan menjadi benang yang terurai. Sebagaimana cahaya yang menyusup di celah gelap, ia menyadari bahwa pesantren bukan sekadar tempat sujud dan rukuk, tetapi taman kebajikan, tempat jiwa-jiwa bertumbuh dalam harmoni. Di sana, Ia menjadi saksi kedisiplinan yang terukir rapi, tak hanya menjadi rantai kewajiban, Berbagai kesempatan yang ada dipergunakkan oleh santri perantau itu untuk menunaikan kewajiban shalat 5 waktu dengan para santri yang lebih berpengalaman itu. Ia memahami bahwa lantunan doa para santri adalah nyanyian hati yang mengajarkan kebersamaan, bukan keseragaman.
Terlintas di benaknya, bahwa selama ini keberagaman sudah tampak di sekelilingnya saat Ia beraktivitas di kampung halamannya. Dalam tempo yang serba cepat, Ia temukan kebebasan yang hakiki untuk merangkul kenyataan. Pemahaman bahwa keberadaan manusia adalah untuk membawa keberkahan bagi sesama.
Di tengah batas-batas syariat yang ada, ditemukannya ruang untuk saling berbagi, berinteraksi, dan saling mengerti dalam ukhuwah. Seperti bunga-bunga yang tak seragam namun tetap menghiasi satu taman, begitu pula manusia diciptakan berbeda untuk melengkapi, bukan meniadakan.
Meski keyakinan mereka berbeda, ia menyadari bahwa kasih sayang adalah bahasa universal yang dijadikan fitrah oleh Allah di hati manusia.
Di balik tembok pesantren yang sederhana, kehidupan para santri berdenyut dalam harmoni antara ibadah dan ikhtiar. Usai menuntaskan tilawah pagi yang meneduhkan jiwa, mereka menyingsingkan lengan, menyapa bumi dengan cangkul dan doa. Di ladang, mereka menanam benih bukan hanya untuk hasil panen, tetapi juga untuk menumbuhkan kesabaran, tanggung jawab, dan cinta pada ciptaan Allah.