Awak dhewe tau nduwe bayangan: besok yen wis wayah omah-omahan, aku maca koran sarungan, kowe blanja dasteran.
Suatu sore nan indah, tatkala Mentari berwarna jingga, aku duduk di teras depan rumahku. Secangkir teh ada di atas sebuah meja di samping kananku ditemani beberapa butir biscuit rasa vanilla. Lamunanku tiba-tiba menghantar aku pada pengalaman masa lalu. Saat itulah aku bertemu dengan Adit.
***
Adit adalah seorang murid yang baru pindah dari sebuah sekolah di Jakarta ke Bandung. Dari seorang guru yang adalah tetanggaku, aku mendapat informasi bahwa Adit adalah sosok yang brutal dan ganas. Di sekolahnya, ia dikenal sebagai ketua salah satu geng motor terkenal di Jakarta. Memang, jabatannya di dalam geng itu juga tidak main-main, panglima perang.
"Selamat pagi anak-anak...!", Pak Beni yang adalah Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan mengawali kelas pagi itu. "Mmm... Pagi ini kita kedatangan teman baru dari Jakarta. Silakan Adit memperkenalkan diri."
Serempak seluruh siswa di kelasku melayangkan pandangan ke arah pintu. Seorang remaja laki-laki berbadan tinggi dengan seragam sekolah yang compang camping tidak karuan. Rambutnya pun ditata dengan model emo. Poninya yang panjang dan lebat tampak menggantung menutupi mata kanannya. Ini membuat anak laki-laki itu tampak seperti berandalan yang beringasnya nggak ketulungan. Dengan menunjukkan gelagat rasa malasnya, ia pun memperkenalkan diri.
"Hai guys...", suaranya yang datar dan berat membuka perkenalannya. Aku dan para murid lainnya pun menanggapi dengan nada yang tidak kalah beratnya dan terkesan seperti lemas karena belum sarapan.
"Kenalin, gue Adit. Gue dari Jakarta. Cuma yang deket sama gue yang bisa kenal lebih jauh. Dah lah, capek basa basi terus... Thankyou." Sambil mengibaskan poninya, Adit menolehkan kepalanya dan mengacungkan ibu jarinya seolah memberi kode kepada Pak Beni kalau perkenalannya sudah selesai.
"Iya, itu tadi perkenalan dari teman baru kita, Adit. Semoga kalian nyaman dan bisa bersahabat dengan dia" ujar Pak Beni yang kemudian mempersilakan Adit untuk duduk. Seperti biasa, anak yang dikenal sebagai berandalan duduk di bangku paling belakang. Anehnya, ia duduk di kursi paling belakang yang berada sangat tepat di belakangku.
***
Sekolahku terkenal dengan peringkat terbaik berakreditasi A. Namun, tidak ada satu pun guru, bahkan guru BK pun tidak, apalagi siswa yang mampu mengubah watak dan kelakuan Adit. Hal ini disebabkan oleh gelar ke-berandal-an dan jabatan panglima perang yang masih melekat dalam dirinya. Namun, ada yang membuat aku aneh-aneh ngeri dengan tingkah Adit.
Aku mendapat kabar dari beberapa teman laki-laki yang mengabarkan kalau Adit diam-diam memperhatikan aku. Lebih terasa ngeri lagi ketika beberapa teman perempuan juga ditanya oleh Adit mengenai tempat tinggalku. Aku tidak pernah memberitahukan alamat tempat tinggalku, kecuali kepada beberapa teman dekatku. Waktu itu tangan-kakiku gemetaran, badanku lemas, jantung berdetak kencang, dan keringat dingin mengalir deras di wajahku. Perasaan cemas dan takut mulai menghantui pikiranku. Apalagi saat mengingat sepak terjang Adit di dunia criminal yang luar biasa melanglang buana. "Huft... Ya, Tuhan bagaimana ini?... Tolonglah aku...", aku mendesah, sebelum kemudian tanpa aba-aba balik kanan bubar jalan dan beranjak pulang ke rumah.
***
Singkat cerita, setelah dua tahun berjuang mengenal sikap dan kepribadian Adit, akhirnya ia berbalik 180 derajat di bawah pendampinganku. Tak ada yang menyangka, para guru dan para murid pun tak mengira kalau aku bisa melunakkan kerasnya sikap dan kepribadian Adit. Memang aku akui perlu kerja keras yang ekstra kuat untuk membuat Adit berpaling dari sikap buruknya.
"Saras, Ibu kagum melihat perubahan Adit belakangan ini. Kok bisa sih, Adit berubah seperti itu?", tanya Ibu Nita, Guru BK, membuka pertemuan siang itu.
"Mmm, begini Bu", aku mencoba menjawab pertanyaan Ibu Nita. "Sebenarnya Adit hanya ingin diperhatikan dan didengarkan. Adit merupakan anak yang lahir di lingkungan keluarga yang broken home. Kedua orangtuanya bercerai dan saat ini ia dibesarkan oleh ibunya. Ibunya pun sangat sibuk sehingga Adit juga kurang mendapat perhatian. Tak jarang Adit sering berkonflik dengan ibunya, bahkan sampai berhari-hari. Karena itulah, Adit mencari perhatian di luar dengan bertindak criminal dan menjadi anggota geng motor", ujarku menjelaskan berdasarkan cerita dari Adit tanpa mengarang-ngarang.
"Begitu rupanya latar belakang Adit. Mmhm... Ibu baru tahu lho, Saras" sahut Ibu Nita menanggapi jawabanku seakan tak percaya dengan yang ia dengar.
"Bu Nita," aku melanjutkan cerita. "Saya menjadi sahabat untuk Adit bukan karena saya suka dengan karakternya yang berandal dan brutal. Namun, karena saya ingin Adit berubah. Saat Adit pertama kali masuk sekolah, saya merasa ada sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya. Memang, awalnya Aditlah yang memperhatikan dan mendekati saya. Awalnya, juga saya mencoba untuk cuek. Ternyata, semakin saya menjauh, semakin ia mencoba mendekati saya terus. Moment ini saya manfaatkan untuk mengenal Adit lebih dalam lagi. Setelah saya mengetahui latar belakang Adit, saya mencoba mengajarkan Adit tentang berbagai hal yang baik yang dilakukan oleh orang lain. Awalnya tidak mudah. Lama-lama Adit terbiasa dan perlahan-lahan mulai membuka diri dan berubah", tuturku kepada Ibu Nita. Di ruangan itu aku banyak bercerita mengenai proses perubahan Adit kepada Ibu Nita. Bisa dikatakan aku pun membantu Bu Nita untuk bertanggungjawab sebagai guru BK dalam mendampingi para murid yang bersalah semacam Adit.
***
Malam itu di langit Kota Bandung, bulan terlihat bersinar dan angin terasa sepoi-sepoi menyentuh kulit. Kumasukkan tanganku ke dalam saku jaket mencoba menahan dinginnya. Adit, yang berada di sampingku tampak menggosok-gosokkan tangannya, lalu meniupnya, kemudian memasukkannya ke dalam saku jaket.
"Kamu kedinginan, Saras?", tanya Adit membuka percakapan.
"Iya nih. Padahal aku sudah pakai jaket tebal biar hangat. Â Tapi, tetap saja dingin. Brrr...", jawabku diiringi gertakan gigi tanda menggigil.
"Mau tahu caranya biar hangat?", tanya Adit yang tampaknya bercanda, namun wajahnya serius.
"Ya maulah... Memangnya bagaimana?", tanyaku sambal menaikkan alis mata sambil menatapnya penuh rasa penasaran.
Tiba-tiba Adit menarik tanganku kelaur dari saku jaketku. Digenggamnya erat tanganku. Jujur, tangan Adit saat itu terasa hangat dibanding tanganku yang sudah kaku kedinginan.
Entah perasaan apa yang hinggap dalam diriku sehingga aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya menatap tanganku yang bertaut dengan tangan Adit. Kupandangi terus dalam waktu yang lama sambil memasang secercah senyum yang penuh harap. Tanpa kusadari, Adit sudah menatapku dan jelas ia juga pasti melihat senyumanku tadi.
"Kenapa?" Tanyanya saat mataku dan matanya terkunci saling pandang beberapa detik.
"Kenapa apanya?" Tanyaku balik dan dengan segera membuang muka melirik ke arah pemandangan kota Bandung yang ramai.
"Kok senyum-senyum tadi?"
"Uuhhmm... Itu... "
"Kamu senang kalau aku pegang tanganmu? Hmm...?"
Pertanyaan itu membuat aku gugup. Bingung tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya tertunduk malu sambal tersenyum kecil. Dalam hati aku berharap agar Adit tak melihatnya. Sesaat kemudian aku merasa jemariku digenggam erat oleh Adit. Aku melihat ke arah tanganku lalu memberanikan diri menatap Adit. Aku melihat Adit memberikan kode kepadaku ke arah salah satu bahunya. Aku menurut dan menyenderkan kepalaku di bahunya. Saat itu aku begitu menikmati hangatnya tautan tangannya pada tanganku dan nyamannya menyenderkan kepalaku di bahu Adit.
"Saras, aku mau mengungkapkan sesuatu" ungkap Adit sambil menatapku.
"Apa yang mau kamu ungkapkan? Katakan saja" jawabku sambil balik menatap Adit. Tampak dari wajah serius Adit untuk mengungkapkan sesuatu itu. Aku bisa merasakannya karena aku sudah mengenalnya.
"Saras, aku mau berterimakasih atas segala perjuanganmu membimbing aku untuk berubah. Aku merasa ini bakal menjadi sulit buatmu dan buatku. Apalagi sifatku keras seperti batu, mungkin lebih" ia menatap suasana Kota Bandung. Setelah itu ia kembali menatapku lagi.
"Namun, ternyata sifat lembutmu itu seperti air yang terus tercurah hingga mengikis batu. Kamu berhasil membuat aku berubah" Pujian dari Adit membuat aku tersipu malu. "Saras, apakah kamu mau menjadi pacarku?" Pertanyaan Adit yang spontan dan tak terduga itu membuat aku terhenyak. Perasaanku luluh. Aku seperti melayang. Tak terasa ada air yang bergetar di pelupuk mataku. Aku terharu. Lalu, kuanggukkan kepala tanda mengiyakan.
"Adit," kuungkapkan ini dengan menggenggam tangannya dan kutatap matanya. "Aku juga sangat berterimakasih karena kamu mau membuka diri dan hati kamu. Bantuan dari siapapun, termasuk aku tidak akan berhasil kalau kamu tidak membuka diri dan hati kamu untuk berubah. Kamu berubah, bukan hanya karena aku atau karena siapa-siapa, tetapi karena diri kamu yang mau berubah."
Sejak peristiwa malam itu, aku dan Adit resmi berpacaran. Sejak saat itu pula Adit banyak berubah dan hampir tak terlihat lagi sikap brutal dan ganasnya seorang panglima perang geng motor.
***
Bagaimanapun juga, walaupun berubah menjadi lebih baik, sikap asli manusia masih tetap ada. Itulah juga yang aku rasakan setelah hampir dua tahun berpacaran dengan Adit. Adit yang kukira sudah berubah, ternyata belum sepenuhnya berubah total. Ia terlibat tawuran dengan kelompok geng motor lain. Tawuran itu diketahui oleh polisi yang langsung meluncur ke lokasi tawuran. Yang terlibat tawuran kocar-kacir melarikan diri, termasuk Adit. Dalam kondisi pincang, ia tak dapat meloloskan diri. Sebagai seorang panglima perang, ia harus menyerahkan diri ke polisi dan mendekam lama di dalam penjara.
***
Malam ini diberitakan telah terjadi tawuran di Jalan Bahureksa. Tawuran tersebut melibatkan setidaknya 50 orang siswa-siswi dari dua sekolah berbeda.
Saat ini pihak kepolisian sedang memeriksa beberapa saksi dan juga para pelaku yang terlibat dalam tawuran tersebut. Salah satu di antaranya berinisial A yang merupakan pemimpin salah satu geng sekolah kenamaan di Kota Bandung
Saat itu aku sedang mengerjakan tugas di kamar. Mbok Darmi, pembantuku mengetuk pintu kamarku dan memberi tahuku ada tawuran geng motor. Aku terkejut mendengar berita itu. Saat itu aku tenang-tenang saja karena berpikir bukan Adit yang terlibat dalam tawuran itu. Saat aku hendak kembali ke kamar, aku mendengar bunyi sirene polisi yang lewat di jalan depan rumahku. Saat itulah kutelepon Adit, namun tak ada jawaban. Seketika itu juga aku panik setengah mati. Seketika itu juga aku tahu Adit berbohong pada malam itu. Ia tidak menjemput adiknya di bandara. Tapi, ia tawuran. Air mata pun perlahan menetes tanpa izin di pipiku.
"A... A... Adit... Kenapa?" tanyaku sambil terus terisak menahan tangis.
Tanpa pikir panjang aku meminta Pak Sarjito, sopir pribadi ayahku untuk mengantarku ke kantor polisi. Dalam perjalanan aku memikirkan Adit sambil terus menghapus air mata yang tak hentinya mengalir. Pak Sarjito hanya diam, mencoba memahami perasaanku yang sedang berkecamuk. Setibanya di kantor polisi, aku buru-buru masuk. Baru saja membuka pintu, Adit sedang duduk di meja pemeriksaan dengan kondisi kaki diperban dan lengan diborgol.
"Ss... Saras... Kamu-" Perkataan Adit terputus saat dia tahu aku sedang menatapnya dengan penuh amarah dan kecewa. Perlahan Adit memundurkan tubuhnya dan tak berani berkata apa-apa.
Aku melihat tatapan matanya. Aku dekati dia, menatapnya sambil menggelengkan kepala. Aku hembuskan nafas diiringi dongakkan kepala seolah mengumpulkan kekuatan untuk percaya pada apa yang kulihat.
"Saras, maafkan aku. Aku..." Adit membuka percakapan.
"Adit, cukup!" Aku menggertak. "Aku kira kamu sudah berubah. Ternyata aku salah. Aku kecewa sama kamu Adit. Kita putus!!!" ujarku sambil berbalik menuju mobil dan pulang. Sebelumnya kuhampiri kedua orangtua Adit yang juga hadir di kantor polisi malam itu. "Om, Tante... Maafin Saras..." Aku memeluk kedua orangtua Adit. Kedua orangtua Adit pun tak segan untuk membalasnya. Di mata mereka aku adalah anak yang baik. Mereka pun dengan berani menitipkan Adit padaku. Mereka percaya aku mampu mengubah Adit. "Saras nggak bisa jaga Adit. Saras sudah mengecewakan om sama tante. Saras gagal..." Tangisku pecah dalam pelukan mereka. Sesaat kemudian aku pamit dengan kedua orangtua Adit. Kutatap sekali lagi Adit yang masih menunduk di hadapan polisi yang sedang memeriksanya.
Selama di mobil, tak hentinya aku menangis. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Rasa percaya yang sudah terbangun sejak Adit berubah, dihancurkan oleh rasa kecewa karena Adit kembali membuka sifat dan sikap aslinya. Sampai rumah pun, Mbok Darmi kaget melihatku menangis. Tanpa kata dan kalimat, apalagi cerita, aku langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Sejak hari itu aku tak mau lagi berkomunikasi dengan Adit. Ia sudah membuat aku kecewa dan sakit hati dengan sikapnya yang kembali seperti itu.
***
Nanging saiki wis dadi kenangan. Aku karo kowe wis pisahan. Aku kiri, kowe kanan. Wis beda dalan.
Pengalaman dengan Adit, merupakan cerita masa lalu. Aku tak mau, hal yang sama terulang untuk kedua kalinya dalam hidupku sekarang. Aku tidak tahu kabar Adit, sampai saat ini. Aku mencoba memulai kembali lembaran baru dalam hidupku. Seorang teman sekelasku semasa SMA, teman dekatku mencoba mengisi kekosongan hatiku. Dialah yang menjadi teman hidupku sampai saat ini dan semoga bertahan sampai maut memisahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H