"A... A... Adit... Kenapa?" tanyaku sambil terus terisak menahan tangis.
Tanpa pikir panjang aku meminta Pak Sarjito, sopir pribadi ayahku untuk mengantarku ke kantor polisi. Dalam perjalanan aku memikirkan Adit sambil terus menghapus air mata yang tak hentinya mengalir. Pak Sarjito hanya diam, mencoba memahami perasaanku yang sedang berkecamuk. Setibanya di kantor polisi, aku buru-buru masuk. Baru saja membuka pintu, Adit sedang duduk di meja pemeriksaan dengan kondisi kaki diperban dan lengan diborgol.
"Ss... Saras... Kamu-" Perkataan Adit terputus saat dia tahu aku sedang menatapnya dengan penuh amarah dan kecewa. Perlahan Adit memundurkan tubuhnya dan tak berani berkata apa-apa.
Aku melihat tatapan matanya. Aku dekati dia, menatapnya sambil menggelengkan kepala. Aku hembuskan nafas diiringi dongakkan kepala seolah mengumpulkan kekuatan untuk percaya pada apa yang kulihat.
"Saras, maafkan aku. Aku..." Adit membuka percakapan.
"Adit, cukup!" Aku menggertak. "Aku kira kamu sudah berubah. Ternyata aku salah. Aku kecewa sama kamu Adit. Kita putus!!!" ujarku sambil berbalik menuju mobil dan pulang. Sebelumnya kuhampiri kedua orangtua Adit yang juga hadir di kantor polisi malam itu. "Om, Tante... Maafin Saras..." Aku memeluk kedua orangtua Adit. Kedua orangtua Adit pun tak segan untuk membalasnya. Di mata mereka aku adalah anak yang baik. Mereka pun dengan berani menitipkan Adit padaku. Mereka percaya aku mampu mengubah Adit. "Saras nggak bisa jaga Adit. Saras sudah mengecewakan om sama tante. Saras gagal..." Tangisku pecah dalam pelukan mereka. Sesaat kemudian aku pamit dengan kedua orangtua Adit. Kutatap sekali lagi Adit yang masih menunduk di hadapan polisi yang sedang memeriksanya.
Selama di mobil, tak hentinya aku menangis. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Rasa percaya yang sudah terbangun sejak Adit berubah, dihancurkan oleh rasa kecewa karena Adit kembali membuka sifat dan sikap aslinya. Sampai rumah pun, Mbok Darmi kaget melihatku menangis. Tanpa kata dan kalimat, apalagi cerita, aku langsung masuk kamar, mengunci pintu dan menangis sejadi-jadinya. Sejak hari itu aku tak mau lagi berkomunikasi dengan Adit. Ia sudah membuat aku kecewa dan sakit hati dengan sikapnya yang kembali seperti itu.
***
Nanging saiki wis dadi kenangan. Aku karo kowe wis pisahan. Aku kiri, kowe kanan. Wis beda dalan.
Pengalaman dengan Adit, merupakan cerita masa lalu. Aku tak mau, hal yang sama terulang untuk kedua kalinya dalam hidupku sekarang. Aku tidak tahu kabar Adit, sampai saat ini. Aku mencoba memulai kembali lembaran baru dalam hidupku. Seorang teman sekelasku semasa SMA, teman dekatku mencoba mengisi kekosongan hatiku. Dialah yang menjadi teman hidupku sampai saat ini dan semoga bertahan sampai maut memisahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H