(By Alhayon)
KISAH Anneliese (Annes) dan Sahabat Hatinya, serasa membuka cakrawala kita sebagai orang tua untuk memahami anak-anak yang terus bertumbuh remaja di era milenial ini.
"Mereka, di hari-hari kemarin masih ditimang-timang, dan mudah diajak bergandengan tangan. Kini seperti janggal, mengulurkan tangan dan digandeng orang tua," tutur awal Annes kepada Sahabat Hatinya, suatu ketika keduanya berwawan hati by VC Phone.
Lanjutnya; "Ya, mereka kini sudah remaja, dan ingin mandiri. Tetapi bila berjumpa "kebuntuan" pada "pojok-pojok hidup" tertentu, mereka selalu memanggil ibu, mama, bapak atau papa."
"Mungkinkah panggilan demikian adalah ungkapan afektif yang dalam, bahwa mereka butuh seorang figur?" sambung Sahabat Hati Annes. "Karena itu figur seorang 'ibu, mama, bapak, papa' tentunya harus sigap atau bersiap selalu untuk moment yang tepat dan menentukan," lanjut Sahabat Annes.
"Lalu, apa pendapatmu tentang anak-anakmu ?" Tanya Sahabat Hati pada Annes dari balik VC Phone.
Dengan nada datar penuh nuansa, Annes menjawab: "Anak-anakku membuat aku melupakan kesalahan mereka padaku. Lupa akan kesalku atas tingkah mereka yang semberono. Lupa akan gerutuku karena budi bahasa dan sikap tingka mereka yang membuat aku naik pitam."
"Anak-anakku juga, membuat aku lupa akan laparku, ketika mereka meminta semangkuk hidangan yang isinya lebih segar dan nikmat. Aku lupa akan keadaan sakitku, manakala ada keluhan sakit pada raga mereka, akibat ulah-nakal mereka sendiri. Aku juga lupa akan sakit hatiku yang dalam manakala mereka menuduh dan menuding tegas, bahwa aku tidak mencintai mereka, atau sesuai bahasa keren mereka: "Aku pilih kasih."
"Hebat juga jawabanmu", sanggah  Sahabat Hati terhadap jawaban reflektif seorang Agnes.Â
Eiiitt, tidak berhenti di situ. Annes kemudian lanjut memperpanjang refleksinya: "Mother is everything. Ya khan ? Ibu adalah segalanya. Ia pelipur duka, harapan anak-anak dalam sengsara, dan kekuatan bagi mereka saat tak berdaya."
"Ya, betul, Annes," timpal Sahabat Hati dengan suara datar. "Jadi, ibu mau mengatakan, bahwa Ibu Annes adalah sumber cinta kasih, kecendrungan hati dan ampunan, gitu ?" tanya lanjut sahabat Annes.
"Tepat sekali", sambung Annes. "Ingat juga Sahabat Hati", lanjut Annes, "bahwa barang siapa kehilangan ibu, ia kehilangan semangat murni yang senantiasa melimpahkan restu dan lindungan."
"Wau... Gayamu bicaramu seperti pujangga Libanon, tatkala bersua sahabat hatinya Mary Elizabeth, puteri seorang direktur bank dan juga kepala sekolah Dean School," celetuk Sahabat Hati Annes, seperti sedang mendaur-ulang kisah Gibran yang pernah  ia baca sewaktu masa sekolah dulu.
"Bukan begitu Sahabat hatiku!" balas Annes dengan suara lebih lembut dari seberang phonenya. Lalu berucap dengan sedikit nada gunda bercampur seri-ceriah; "Belasan tahun sudah berlalu dan tak satu pun mimpi indah masa kecil anak-anakku tersisa padaku dalam kenyataan. Hanya tinggal kini kenangan yang bergayut di pelupuk bayang mataku, sesewaktu."
"Kadang menyedihkan hati dan mengalirkan air mata. Namun terselip di sana rasa suka cita tiada tara yang ingin kuulang lagi dalam pelukan mesrah tetapi tak berdaya. Yang kemarin sudah pergi, secara perlahan dan mejauh. Seperti tiada tersisa dalam kenyataan besok. Hanya ada kini hati yang duka kala membayang dan rasa yang suka manakala mengenang mereka. Dalam suka itu aku meneteskan air mata dan memuji Kebesaran DIA yang menganugerahkan mereka padaku."
Sejurus kemudian, dari seberang phone, Annes membacakan syair-syair sajak itu;
Anakku,,, awal aku mengira, aku yang akan mengajarimu banyak hal.
Ternyata engakulah yang menyadarkan aku, akan banyak hal.
Saat engkau meniruku, aku tersadar aku perlu menjadi teladanmu.
Saat engkau enggan bercerita padaku,
aku tersadar bahwa aku perlu menjadi sahabatmu.
Saat engkau sulit dengan pelajaran di sekolah,
aku tersadar, aku terlalu memaksamu dan seharusnya belajar untuk bersepakat denganmu.
Aku sadar bahwa kapasitas dirikulah yang perlu terus ditambah,
Sedang engkau terus tumbuh dan belajar bersamaku.
"Apa komentmu," tanya Annes setelah memperdengarkan sajaknya.Â
"Itu ungkapan hati seorang ibu dalam kesadaran yang tinggi, bahwa "Anakmu bukanlah milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri." "Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu tapi bukan milikumu," itu komentku, sebagai Sahabat Hati.
Usai komentar itu, hadirlah senyap menyelimuti mereka. Ada diam panjang yang hadir di antara dua pasangan yang sedang berwawan hati by VC Phone. Seperti keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Memecah kesenyapan, Sahabat Hati berucap: "Ya... ya... Berikan kasih sayangmu dan jangan sodorkan bentuk pikiranmu. Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Jiwa mereka adalah penghuni masa depan. Kamu boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupai kamu."
Setelah merenung agak panjang, kemudian Annes manatap wajah Sahabat Hatinya melalui kaca phone dan bertanya, "pernahkan Sahabat Hati mendapat surat atau seperti goresan tangan anak-anakmu?"Â
Sahabat Hatinya menjawab secara diplomatis: "Mungkin nanti."
"Aku punya," ucap polos Annes. "Anakku Benneto Leonardo Bonita, suatu kesempatan, pembimbing sekolahnya menyuruh dia bersama sahabat seangkatannya menuliskan sepucuk surat untuk ibu di rumah."
"Benneto anakku menulis bagus diawalnya namun pada bagian terakhir suratnya ia memohon maaf atas segala kelakuannya di rumah yang sering menyakiti hatiku sebagai, ibunya." Sebagai ibu, aku terharu membcanya.
"Lalu apa yang kamu buat untuk anakmu itu," tanya Sahabat Hati. "Aku membalas suratnya, via gurunya," jawab Annes cepat.
Isinya seperti ini, "Terima kasih untuk surat dan doa dari anak ibu. Ibu sangat bahagia. Maafkan ibu juga, ya, yang sering memaksakan Benneto bertumbuh menjadi anak yang mandiri walau belum waktunya, menjadi anak yang bertanggunjawab walau masih harus banyak belajar tentang kehidupan dan tuntutanya."
"Ingat nak, ibu mencintai anak-anak ibu lebih dari segala apapun karena kalian semua adalah angerah Tuhan paling mulia untuk ibu. Mari kita terus belajar bersama untuk hidup dan kehidupan ini. Ibu mengasihimu dan menyayangi kalian semua, anak-anak ibu."
Setelah membaca balasan surat pada anaknya, Annes selekas kilat memberi tanda pada Sahabat Hatinya di kaca phone bahwa Benneto membutuhkannya untuk menghantarnya ke gerbang sekolah.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI