"Tepat sekali", sambung Annes. "Ingat juga Sahabat Hati", lanjut Annes, "bahwa barang siapa kehilangan ibu, ia kehilangan semangat murni yang senantiasa melimpahkan restu dan lindungan."
"Wau... Gayamu bicaramu seperti pujangga Libanon, tatkala bersua sahabat hatinya Mary Elizabeth, puteri seorang direktur bank dan juga kepala sekolah Dean School," celetuk Sahabat Hati Annes, seperti sedang mendaur-ulang kisah Gibran yang pernah  ia baca sewaktu masa sekolah dulu.
"Bukan begitu Sahabat hatiku!" balas Annes dengan suara lebih lembut dari seberang phonenya. Lalu berucap dengan sedikit nada gunda bercampur seri-ceriah; "Belasan tahun sudah berlalu dan tak satu pun mimpi indah masa kecil anak-anakku tersisa padaku dalam kenyataan. Hanya tinggal kini kenangan yang bergayut di pelupuk bayang mataku, sesewaktu."
"Kadang menyedihkan hati dan mengalirkan air mata. Namun terselip di sana rasa suka cita tiada tara yang ingin kuulang lagi dalam pelukan mesrah tetapi tak berdaya. Yang kemarin sudah pergi, secara perlahan dan mejauh. Seperti tiada tersisa dalam kenyataan besok. Hanya ada kini hati yang duka kala membayang dan rasa yang suka manakala mengenang mereka. Dalam suka itu aku meneteskan air mata dan memuji Kebesaran DIA yang menganugerahkan mereka padaku."
Semua persaaan itu kutuang dalam sajak kecil ini, dan aku bacakan untukmu, Sahabat Hatiku.Â
Sejurus kemudian, dari seberang phone, Annes membacakan syair-syair sajak itu;
Anakku,,, awal aku mengira, aku yang akan mengajarimu banyak hal.
Ternyata engakulah yang menyadarkan aku, akan banyak hal.
Saat engkau meniruku, aku tersadar aku perlu menjadi teladanmu.
Saat engkau enggan bercerita padaku,
aku tersadar bahwa aku perlu menjadi sahabatmu.