Saat engkau sulit dengan pelajaran di sekolah,
aku tersadar, aku terlalu memaksamu dan seharusnya belajar untuk bersepakat denganmu.
Aku sadar bahwa kapasitas dirikulah yang perlu terus ditambah,
Sedang engkau terus tumbuh dan belajar bersamaku.
"Apa komentmu," tanya Annes setelah memperdengarkan sajaknya.Â
"Itu ungkapan hati seorang ibu dalam kesadaran yang tinggi, bahwa "Anakmu bukanlah milikmu. Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri." "Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau. Mereka ada padamu tapi bukan milikumu," itu komentku, sebagai Sahabat Hati.
Usai komentar itu, hadirlah senyap menyelimuti mereka. Ada diam panjang yang hadir di antara dua pasangan yang sedang berwawan hati by VC Phone. Seperti keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Memecah kesenyapan, Sahabat Hati berucap: "Ya... ya... Berikan kasih sayangmu dan jangan sodorkan bentuk pikiranmu. Patut kau berikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Jiwa mereka adalah penghuni masa depan. Kamu boleh berusaha menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupai kamu."
Setelah merenung agak panjang, kemudian Annes manatap wajah Sahabat Hatinya melalui kaca phone dan bertanya, "pernahkan Sahabat Hati mendapat surat atau seperti goresan tangan anak-anakmu?"Â
Sahabat Hatinya menjawab secara diplomatis: "Mungkin nanti."
"Aku punya," ucap polos Annes. "Anakku Benneto Leonardo Bonita, suatu kesempatan, pembimbing sekolahnya menyuruh dia bersama sahabat seangkatannya menuliskan sepucuk surat untuk ibu di rumah."