Dan terkesan otoriter, walaupun larangan bahwa barang-barang cetakan semacam buletin, surat kabar, majalah dan lain-lain dalam UU No. 11 tahun 1966 telah dihapus.
Hal yang patut disorot di sini adalah pada bab II tentang Syarat-syarat Tentang Pimpinan Penerbitan Pers. Bab ini terlalu ketat mengatur perusahaan pers hingga pada pengaturan struktural pengurusnya, yakni pada pimpinan umum (pemimpin umum-pen.), pimpinan redaksi (pemimpin redaksi-pen.) ataupun pimpinan perusahaan (pemimpin perusahaan-pen.). Belum lagi pada masalah pemindahan tanggung jawab tulisan kepada pemimpin redaksi dan penulis diatur dalam pasal 4. Ini juga peraturan yang terlalu ketat dan membatasi.
Kesimpulan
Demokratis tidaknya sebuah bangsa dapat dilihat dari kehidupan persnya. Khusus pada negara berkembang seperti Indonesia pada masa Orde Baru, perbaikan dan pembangunan pada berbagai bidang sedang digalakkkan, khususnya di bidang kehidupan ekonomi. Namun titik berat pembangunan politik kurang begitu “diperhatikan”, walaupun muncul ideologis Pancasila yang dikomunikasikan secara intens kepada khalayak melalui berbagai media, khususnya media cetak.
Pada awal pemerintahan Orde Baru kebebasan politik dan kebebasan bersuara, kebebasan pers dan kebebasan berkspresi dijunjung tinggi. Namun selang beberapa tahun, tampaknya kebebasan itu terhitung kebablasan dan bagi Suharto saat itu terlalu bebas dan mampu memunculkan merendahkan dan mengancam pemerintahannya, tentu dengan alih-alih mengancam ideologi Demokrasi Pancasila. Maka dimunculkanlah bentuk pemerintahan Suharto yang sentralistis, otoriter, militeristik dan bertangan besi. Secara lembut dan halus ini masuk ke dalam pemikiran pejabat pada saat itu. Masyrakat termasuk pers ikut terbius.
Namun ideologi Pancasila yang diterapkan pada pers pada masa itu bukanlah demokrasi pada konsep sebenarnya. Demokrasi lewat peraturan-peraturan pada pada masa itu memang mengizinkan adanya pers bebas yang bertanggung jawab secara sosial baik kepada masyrakat dan pemerintah, pers juga memiliki hak untuk tidak dibredel penerbitannya.
Namun demikian akibatnya pers diperalat sebagai corong pemerintah untuk mengkomunikasikan kebijakan-kebijakannya. Pers ini secara ketat dikontrol oleh peraturan pokok pers, Surat Izin Penerbitan, SIUPP. Ditambah lagi izin dan pengawasan oleh pihak militer. Pers pun terkesan lebih bertanggung jawab kepada pemerintah daripada dengan pemerintah. Isi surar kabar dan bentuk media massa lainnya tidak boleh ada yang menentan kebijakan pemerintah, ada perlakukan embargo, berita-berita press release lebih banyak mewarnai media cetak masa itu ketimbang usaha-usaha pers sendiri. Bila ketentuan itu dilarang muncul tekanan-tekanan yang umumnya bersifat politis dan ekonomi, seperti pencabutan SIT dan SIUPP. Pers dinilai tidak memiliki kekuatan bulat mengembalikan kebebasan pers dalam konteks demokrasi yang sebenarnya.
Namun akhirnya untuk memilih koridor yang paling baik bagi kehidupan pers pada masa yang akan datang adalah tetap dalam konteks Demokrasi Pancasila, di mana pers itu lebih bertanggungjawab kepada masyarakat sebagai pembacanya. Dan hal ini harus jelas dan tegas ditekankan pada konsep demokrasi itu dan tentu saja dalam peraturan pokok dan organisasi pers dan kewartawanan nasional.
Sumber Pustaka
- Franz Magnis Suseno; Mencari Sosok Demokrasi-Sebuah Telaah Filosofis; Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997
- Gaffar Afan; Politik Indonesia -Transisi Menuju Demokrasi; Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
- Alfian; Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991
- Sudibyo Agus; Politik Media dan Pertarungan Wacana; Lkis; Yogyakarta, 2001
- Syahrir; Habibie dan Gus Dur tidak Selicik Soeharto dalam Berhubungan dengan Pers http://www.rnw.nl/ranesi/html/penguasa-pers.html, 2000
- Denny J.A; DEMOKRASI DALAM FORMAT ORDE BARU; http://www.isnet.org/archive-milis/archive95/sep95/0333.html; 1995
- IGNATIUS HARYANTO; http://www.pantau.or.id/txt/16/11f.html; 2001
- Soejono Eddy Drs MA; Perubahan Paradigma Media; ELSIM.OR.ID http://www.elsim.or.id/divisi/mwatch/naskediv09/ppm.html
- Solahudin; Revisi UU Pers: Kesalahan Logika yang Berbahaya; http://www.kompas.com/kompas-cetak/0201/04/OPINI/revi04.htm
- Jalaluddin Rakhmat; Pers Indonesia Pasca-Orde Baru: Mencari Sosok Pers Reformis http://www.muthahhari.or.id/doc/artikel/edisihaji/perspascaorba.htm
- Presiden Megawati Harus Pertahankan Kebebasan Pers; Kompas
- TAUFIK ANDRIE; Media Kepala Batu; http://www.pantau.or.id/txt/25/02.html
- Pers Partisan, Lahan Hidup atau Perjuangan? http://aliansi.hypermart.net/1999/09/serba
- Ferry Kurniawan Sinergi Pers, Media dan Gerakan LSM menuju Civil Society http://www.lsm.or.id/workshop/sinergi.html; Yayasan Pakta
- J Anto – Koordinator Program Media Watch KIPPAS Medan; Kebebasab Pers, Bukan Sekadar Pers Bebas (Makalah dalam Diklatsar Jurnalistik UKMP Suara USU, Medan, 2001)
- Harmoko; Komunikasi Sambung Rasa dalam Pembangunan Nasional, Kumpulan Pidato, Sambutan, Pengarahan dan Ceramah Menteri Penerangan RI 1984; Deppen RI; 1985
- Wishnu Basuki; Pers dan Penguasa – Pembocoran Pentagon Papers dan Pengungkapan oleh New York Times; Pustaka Sinar Harapan; Jakarta; 1995
- Let. Kol. CKH. Drs. Nazaruddin, SH; Kumpulan Peraturan-Peraturan dan Perundang-undangan Mengenai Pers, Radio, Film dan Televisi; Erlangga, Jakarta; 1974
- L.M Gandhi S H; Undang-Undang Pokok Pers – Proses Pembentukan dan Penjelasannya, Rajawali Press, Jakarta, 1985