Hak mempublikasikan pers hanya dimiliki oleh warga negara yang memiliki SIT. Yang memberikan SIT adalah pemerintah. Dalam perspektif hak asasi manusia kenyataan ini dapat rancu. Ia memberi kesan seolah pemerintah, bukan alam, bukan Tuhan, yang menjadi sumber hak asasi. Keharusan memiliki SIT kemudian dihapus oleh UU No 21/1982. UU yang baru ini memperkenalkan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers).
Dalam praktek, dibawah SIT ataupun SIUPP, sudah banyak terjadi penyetopan terbit media massa, yang dilakukan pihak eksekutif, tanpa melalui sidang pengadilan. Kesalahan pihak media dengan demikian tidak dibuktikan di pengadilan. Pihak media tidak diberikan hak untuk membela diri.
Seperti ini gambaran dan riwayat kedaulatan rakyat dalam format politik Orde Baru. Pernyataan ini bukanlah dari John Locke, filsuf barat itu, tapidari Mohamad Hatta, pemikir pribumi, salah seorang proklamator kemerdekaan RI. Ia menuliskan pandangan tersebut di berkala sepuluh harian Daulat Rakyat, 20 September 1931, lebih dari enam puluh tahun lalu. Benih kesadaran itu sudah dicoba di tanam di bumi pertiwi sejak lama rupanya
Saat itu, umumnya para aktivis demokrasi di era Orde Baru belum lahir. Kerja penganjur demokrasi seharusnya lebih ringan karena hanya mengulang apa yang sudah diserukan Hatta, dengan menggunakan kosa kata politik yang lebih baru. Spirit seruan Hatta itu muncul dalam terma yang berbeda kini, seperti: self-determination, kebebasan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan pers, partisipasi politik. Cara termudah untuk memahami Demokrasi Pancasila mungkin harus ditelusuri dari praktek politiknya. Agar terukur dan spesifik, konsep demokrasi atau kedaulatan rakyat itu dibatasi pada persoalan sistem perwakilan, kebebasan berorganisasi dan kebebasan pers. Dari tiga variabel itu dapat dicek berbagai kebijakan resmi yang ada pada era Orde Baru.
Mungkinkah format politik ini dirubah? Bagi kita, Orde baru bukanlah sebuah format politik, apalagi generasi pemerintahan. Orde Baru adalah sebuah cita-cita dalam rangka, seperti apa yang tertulis di pembukaan UUD 45, mengantar rakyat Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.
Format politik dirancang sebagai strategi untuk mencapai cita-cita itu. Cita-cita dapat abadi, tapi format politik harus terus berubah menyesuaikan diri dengan zaman. Format politik yang efektif di satu zaman dapat mandul di zaman lain, bahkan justru jadi penghalang mencapai cita-cita. Mempertahankan sebuah format politik dengan segala konsekwensinya berarti merubah strategi menjadi cita-cita.
Format politik Orde Baru yang diuraikan di atas harus dianggap bersifat temporer belaka. Format itu pernah sangat efektif ketika menghadapi zaman yang penuh trauma dan luka politik, akibat pepecahan politik dan kerusakan ekonomi di tahun enam puluhan. Namun sekarang ini bukan lagi era enam puluhan. Zaman yang berbeda telah datang. Generasi baru telah lahir.
Dalam pembahasannya tentang pers, Lubis menyoroti tiga dilema yang meliputi dunia pers, yakni definisi pers Pancasila, mekanisme perizinan dalam industri pers, dan dilema sensor dalam pers. Tak pernah ada rumusan jelas tentang pers Pancasila, yang sejak Orde Baru istilahnya dipasarkan. Tentang pers Pancasila, para pejabat hanya menyebut bahwa pers jenis ini bukan pers liberal, juga bukan pers komunis. Maksudnya, ini mengacu pada tipologi kuno yang dilansir Fred Siebert dan kawan-kawan dengan empat teori pers. Pers Pancasila lalu dibayangkan sebagai pers bertanggung jawab secara sosial. Padahal bangunan pengertian atas empat teori pers ini pun bias dengan hegemoni Amerika pasca-Perang Dunia II. Sebuah buku penting menjelaskan dengan gamblang bagaimana bias hegemoni Amerika itu muncul dalam khasanah teori-teori komunikasi modern. Buku itu berjudul Science of Coercion: Psycological Warfare and Mass Communication Research 1945-1960 ditulis Christopher Simpson (1994).
Dalam praktik yang dijalankan muncul semacam panduan: mana yang boleh dan tidak boleh ditulis. Masalah antarsuku, agama, ras, dan antargolongan tabu untuk ditulis. Masalah bisnis keluarga Soeharto, tak boleh ditulis. Masalah gunting pita di mana-mana, boleh ditulis. Pesawat militer jatuh, tak boleh ditulis pada keesokan hari. Harus menunggu rilis resmi dari pihak markas besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Peristiwa kerusuhan baru bisa ditulis setelah ada pengumuman resmi-berikut jumlah korban-dari pemerintah. Lain dari itu, tak boleh ditulis.
Soal perizinan dalam pers juga merupakan kesalahan berpikir yang mendasar. Namun ini bisa dipahami sebagai bagian dari usaha menundukkan pers di masa Orde Baru. Undang-Undang Pers pertama tahun 1966 jelas menyebutkan: untuk mendirikan surat kabar tak perlu surat izin terbit (SIT), tapi dalam klausul peralihan, hal surat izin dimungkinkan. Lalu dalam undang-undang yang sama disebutkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor, tapi nyatanya sensor justru hadir sehari-hari.
Hukum pers tak memberikan perlindungan yang meyakinkan bagi pers itu sendiri. Justru membelenggu lantaran ketidakpastiannya itu. Belum lagi ketika konsep surat izin terbit berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dikatakan dalam undang-undang berikutnya (nomor 21 tahun 1982), tak ada pencabutan SIT, nyatanya ada pers yang tak bisa terbit lagi. Dalihnya berganti: SIUPP-nya yang dicabut, bukan SIT-nya. Begitulah logika kelas nol besar yang coba diterapkan Orde Baru pada persnya. Sayangnya, sebagian besar orang pers percaya, atau paling tidak dipaksa percaya.