Kebebasan pers yang bertanggung jawab
Ini adalah salah satu teori yang disusun Siebert dalam memetakan kehidupan pers di dunia. Teori Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab ini pulalah yang dipakai pada masa Orde Baru untuk mengontrol pers nasional. Sedikit membandingkan dengan pers di Amerika Serikat, Komisi Kebebasan Pers (Commision on Freedom of the Press) menguraikan tanggung jawab pers antara lain:
- Pers harus memberi laporan peristiwa sehari-hari secara jujur, luas, dan cermat dalam konteks yang memberi arti terhadap kejadian itu.
- Pers harus menjadi forum pertukaran komentar dan kritik.
- Pers harus menonjolkan keadaan yang tepat mengenai kelompok-kelompok yang penting dalam masyarakat.
- Pers harus bertanggung jawab terhadap penyajian dan penjelasan mengenai tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.
- Pers harus memberikan akses penuh pada pengetahuan mutakhir.
Teori tanggung jawab sosial pers (the social responsibility theory) berasumsi bahwa kebebasan terdapat tanggung jawab. Di bawah teori ini pers berfungsi:
- Melayani sistem politik dengan menyajikan informasi, diskusi, dan debat tentang masalah umum.
- Memberi penerangan kepada masyrakat agar dapat melaksanakan self-government.
- Menjaga hak individu dengan menjadi pengawas pemerintah.
- Melayani sistem ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang dan jasa melalui periklanan.
- Memberi hiburan
- Mengelola swasembada keuangannya agar bebas dari tekanan tertentu.
Menurut Wishnu Basuki dalam bukunya: Pers dan Penguasa – Pembocoran Pentagon Papers dan Pengungkapan oleh New York Times, pers Indonesia masih mengesankan sifat primordial yang relatif bertahan. Pers di Indonesia masih bersifat sektarian atau terkotak-kotak. Keadaan ini menjauhkan mereka dari kebulatan prinsip dalam memperjuangkan konsep bersama seperti kebebasan informasi dan hak mengetahui.
Sistem politik kita belum siap menghadapi keterbukaan sepenuhnya. Maksudnya, penyebaran informasi yang bebas dan kebebasan pers itu sendiri bekum menjamin baik secara yudisial atau politis sehingga menjadikan tanggung jawab pers kita sepihak di mana lebih bertanggung jawab kepada pemerintah.
Pers Indonesia juga masih disibukkan dengan urusan kebebasan berbicara dan pers sendiri yang masih beum mantap terutama mengenai masalah keberadaan SIUPP yang dirasa menjadi penghalang kebebasannya. Akibatnya pers lebih terpesona dengan perjuangan melawan SIUPP daripada menuju kebebasan pers itu sendiri. Dengan keberadaan SIUPP itu pemerintah bisa mencabutnya sewaktu-waktu, sehingga tanggung jawab pers itu dicurigai bisa terwujud karena ketakutannya terhadap SIUPP.
Untuk melek terhadap hal mengetahui dan kebebasan informasi memang memerlukan syarat tertentu, antara lain:
- Adanya kemauan warga negara yang tinggi untuk mengetahui lebih jauh tentang dirinya dan lingkungannya berkenaan dengan urusan, interaksi, dan keinginan umpan balik dalam kehidupan umpan balik dalam kehidupan sosial dan politik.
- Warga negara memahami bahwa pemerintah adalah bagian dari rakyat, bukan sebaliknya, jadi informasi pemerintah merupakan informasi rakyat.
- Warga negara mengembangkan pengertian bahwa kebebasan ekspresi hanya bentuk komunikasi satu arah yang ahrus dilengkapi dengan kebebasan informasio yang merupakan bentuk komunikasi dua arah.
- Bila keadaan nasional dalam kegagalan dan kemelut dimana rakyat akan mudah mencurigai pemerintah dan meminta keterangan terbuka.
Telaah undang-undang
Dalam tulisan ini perlu juga menelaah ketentuan-ketentuan hukum yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru kepada pers nasional. Dengan demikian pemikiran politik pembuat, pelaksana dan pengawas kebijakan terhadap pers dapat dilihat secara komprehensif.
Dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No: 01/PER/MENPEN/1969 tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Perusahaan Pers, khususnya dalam Pasal 5 dinyatakan: “Perusahaan Pers diwajibkan menjadi anggota Organisasi Pers yang telah disyahkan oleh Pemerintah.” Dalam hal ini, terkesan pemerintah ingin menyatukan wadah keorganisasian wartawan pada saat itu, agar pemikiran ideologis yang didengungkan pemerintah tidak terpecah menjadi idelogi lain yang bernilai merongrong pemerintah yang syah. Dalam organisasi itu pula dipatrikan satu ideologi pers, yakni Pers Pancasila, tak ada yang lain. Pada masa itu organisasi pers hanya satu yang dibentuk oleh pemerintah yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Juga terlihat perusahaan pers masa itu dipolitisir oleh pemikiran dan kebijakan pemerintah untuk melawan paham komunisme. Maklum waktu itu Soeharto sedang genca-gencarnya membasmi oknum-oknum PKI pasca pemberontakannya pada 30 September 1965. Dalam bab II tentang Syarat-syarat Tentang Pimpinan Penerbitan Pers pada pasal 6, masih pada Peraturan yang sama, dijelaskan: “Yang dapat memegang sesuatu penerbitan pers, baik pimpinan umum, pimpinan redaksi ataupun pimpinan perusahaan, sebagai dimaksud dalam ayat (1) di atas adalah orang-orang yang tidak tersangkut dalam G30S/PKI dan aksi-aksi kontra revolusi lainnya. Lihat juga “…dan aksi-aksi kontra revolusi lainnya…” Di sini benar-benar ditekankan tidak diizinkan memuat pemikiran, berita ataupun suara-suara yang berlawanan dengan pemerintah ataupun yang berkehendak melawan kebijakan pemeritah dalam media massa. Sebab Suharto sedang menghapuskan pemikiran dan gerakan-gerakan Komunisme/Marxisme-Leninisme yang notabene adalah landasan idiil PKI dan pemikiran Sukarno sebagai “lawan politiknya.” Tentang ini lihat pada Peraturan Menteri Penerangan RI No. 03/PER/MENPEN/1969 tentang Lembaga Surat Izin Terbit dalam Masa Peralihan Bagi Penerbitan Pers yang Bersifat Umum, pada bab III Tentang Pencabutan Surat Izin Terbit, poin a.