Mohon tunggu...
Viktorinus Rema Gare
Viktorinus Rema Gare Mohon Tunggu... Guru - Pengawas Sekolah

Apa adanya dan melihat orang lain bahagia dari setitik kontribusi yang bisa ku beri adalah kepuasan batin tak terukur. Mempelajari sesuatu yang baru adalah tantangan tersendiri seabagai wujud niat hati untuk terus berevolusi bahwa hidup ini tidak statis namun dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Melodi Kasih di Setiap Langkah (5)

20 Desember 2023   11:10 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:15 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah sepekan penuh kegembiraan di Flores, aku kembali ke Makassar untuk mengikuti orientasi mahasiswa baru yang kedua. Meski hati terasa terasa  berat karena tak sempat menemui Maria Yosephine, semangat untuk memulai babak baru di dunia perkuliahan terus bergelora  dalam dada.

Orientasi mahasiswa baru yang kedua diselimuti oleh gelombang antusiasme dan sukacita yang mengalir begitu indah. 

Namun, di lubuk hati yang tersembunyi, terukir kerinduan yang tak terucap.

Setiap langkah dalam kegiatan orientasi, membawaku merasakan sebuah petualangan baru. Bayangan senyum malu Maria Yosephine di depan pintu kosku terus menghiasi alam bawah sadarku.

Dalam setiap momen, keceriaan seakan menjadi catatan indah yang mengisi lembaran hidup.Dibalik itu, nostalgia akan senyumnya memberikan warna tersendiri.

Saat sesi-sesi orientasi berlangsung, aku berusaha meresapi setiap momen dan menjalin pertemanan dengan teman-teman seangkatan. Di antara keramaian itu, kenangan tentang surat dan wajah Maria Yosephine selalu menghiasi perjalananku.

Ketika malam tiba, aku duduk di sudut kosanku, menatap bintang-bintang di langit Makassar. Dalam keheningan malam, aku menulis surat untuk Maria Yosephine, menceritakan setiap detail dari hari-hariku dan bagaimana rindu ini semakin tumbuh di setiap sudut kota yang sama.

Surat itu menjadi cara terbaik untuk merayakan setiap momen di Makassar, sementara hatiku terus memikirkan pertemuan berikutnya dengan Maria Yosephine. Meski jarak memisahkan, tetapi mimpi dan surat-surat ini menjadi benang penghubung cinta pertama yang terus tumbuh dalam kejauhan.

***

Enam bulan kemudian menjelang ujian semester pertama,berita yang tiba melalui surat elektronik mengguncang jiwa.

Jiwa seakan terlepas dari raga .

Kosong pikiran seketika. Kaki terasa kaku dan tak kuasa melangkah.

Pesan singkat itu membawa kabar pahit, bahwa bapak tercinta telah berpulang ke sang pemilik kehidupan.

Memori enam bulan yang lalu masih tersimpan rapi di ingatanku. Senyum  bahagia yang terpahat indah di wajah bapak tatkala kedatanganku membawa khabar sukacita,  teruarai satu demi satu dan lenyap tak berbekas bersama kalimat yang terdiri dari tiga kata yang kubaca.

Kata-kata sederhana di lembaran putih seakan menusuk hati, mengingatkan bahwa hidupku akan berubah tanpa sosok yang begitu berarti.

"Anak, pulanglah segera,"

begitu singkat namun terasa begitu berat. Tangisku memenuhi ruangan kosanku, meresapi kehampaan di setiap sudut kampus yang baru saja kucintai.

Semua impian dan harapan lenyap sekejap di bawah beban kehilangan.

Setiap sudut kampus yang dipenuhi semangat belajar menjadi saksi bisu akan kehilangan ini. 

Dalam kehampaan, aku  merangkai barang-barangku, bersiap untuk meninggalkan Makassar.

Perjalanan pulang ke Flores terasa berat, langkahku seakan dihantui kenangan.

Dalam perjalanan pulang, pikiranku melayang ke masa depan yang penuh ketidakpastian.

"Bagaimana aku akan melangkah tanpa sosok bapak yang selalu memberi dukungan?"

"Impian dan cita-cita yang harus tertunda, bagaimana nasibnya?"

Di Flores, aku disambut oleh keheningan rumah tanpa sosok bapak. Sudah tujuh hari bapak  dimakamkan.

Di depan istana berdinding gedek, berlantai tanah dan beratap belahan bambu, disitulah pusara bapakku.

Aku terkulai di atas pusara yang masih basah.

Tubuhku lemas, terbujur di atas  pusara bapakku.

Tangisanku memanggil bapak yang tak akan pernah menjawab lagi.

"Bapak..."

"Maafkan aku, bapak..."

"Mana janji, bapak? Akan mendampingiku di saat aku wisuda."

Aku terbangun, sadar bahwa aku tak lagi berada di atas pusara bapakku. 

Kamar ini, setiap sudutnya, membawa kenangan manis, tapi juga kehampaan tanpa kehadiran sosok yang selalu memberi dukungan.

Sesak di dada dan sambil mencerna kenyataan pahit, bahwa segala impian berakhir di titik ini.

Dalam kesedihan dan kekosongan, aku menyadari bahwa kehidupan baru, kampus yang baru, dan impian yang baru harus menunggu di ujung perjalanan ini.

***

Kepergian bapak telah meninggalkan beban besar pada pundak mamaku, seorang janda petani. Namun, dengan kekuatan dan ketegaran hatinya, dia mendorongku untuk tetap melanjutkan kuliah.

Tidak sedikit yang bicara sinis, bahkan memandang dengan mata sebelah.

"Ah, bapaknya baru meninggal, sekarang sok-sokan mau lanjut kuliah. Biaya dari mana?"

Bisikan-bisikan tak terucapkan itu melayang di udara, menyatu dengan kerumunan pikiran negatif yang kadang menghiasi sudut-sudut kehidupan.

Menghadapi keraguan dan pandangan sinis itu tidak pernah mudah. Namun, di balik keragu-raguan itu, tersembunyi tekad dan semangat yang membara.

Saat seseorang kehilangan sosok yang dicintai, bukanlah hal yang mudah untuk mengangkat diri dan melangkah maju.  Bagiku, ini adalah bentuk penghormatan terbaik terhadap pesan terakhir bapak.

Mama memelukku erat,  di matanya terpancar kekuatan yang luar biasa.

"Nak, bapakmu sebelum pergi, berpesan agar kamu tetap kuliah. Walau  hanya seorang petani, mama akan berusaha sekuat tenaga untuk membiayai kuliahmu.

Kamu harus kembali ke Makassar, nak. Kejarlah mimpi dan cita-citamu," ucap mama dengan suara lembut dan berlinang air mata namun penuh kekuatan.

 "Kamu harus kembali ke Makassar, Nak. Kejarlah mimpimu",ujar mamaku dengan penuh keyakinan.

Kata-kata mama menusuk hatiku. Meski sederhana, namun mengandung kekuatan yang besar.Walau hati teriris, dengan hati yang berat, aku mengangguk setuju.

Setelah sepekan berada di Flores, aku mengumpulkan sedikit bekal uang sebesar Rp.100.000 yang diberikan mama.

Dengan berat hati, aku meninggalkan keluargaku. Perjalanan kembali ke Makassar kali ini terasa berat, namun tekad untuk melanjutkan kuliah dan meraih impian semakin kuat.

Perjalanan ini mengajarkan aku tentang kekuatan seorang mama, tentang arti keberanian dan keteguhan hati dalam menghadapi cobaan. Dengan setetes semangat dan cinta dari mama, aku melanjutkan langkah, membawa harapan dan tekad untuk bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanan menggapai mimpi yang hampir sirna.

***

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun