Mohon tunggu...
Videlya Esmerella
Videlya Esmerella Mohon Tunggu... Lainnya - https://redrebellion1917.blogspot.com/

Always unique. Never boring. A Feminist www.twitter.com/videlyae www.instagram.com/videlyae

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mbak Melisa yang Ambiguis

5 Mei 2020   10:33 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:42 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.instagram.com/omou.sc19

Sebuah Kritik atas Diskusi @ec.ofphilosophyMKS x @SeruanPerempuan Tertanggal 25 April 2020

Sebuah koreksi atas foto atau poster atau pamphlet atau apalah itu kategorinya diakun Instagram. Ini sebenarnya bukan mau menghina atau menjatuhkan. Bukanlah! Moso iya saya setega itu?  

Okay, where do we have to start? Let me see... AHA! Ini adalah sebuah diskusi online yang tadinya bakalan saya pandu ditanggal 25 April 2020. Nah, tepat di hari H, saya ada kerjaan mendadak dari atasan yang seorang ekspatriat. 

Kerja dengan mereka itu beneran harus disiplin, dan saya yang cuman buruh ini harus jalanin kalau masih mau makan. Singkat cerita diskusi tersebut akhirnya di take over langsung oleh  Founder akun @ec.ofphilosophyMKS. Penonton sudah tongkrongin, sayang kalau batal. 

Saya sendiri tidak menyimak karena ngeburuh. Saya baca resumenya itu setelah ada foto atau poster atau pamphlet atau apalah itu kategorinya di akun Instagram tersebut. Sesuatu menggelitik nih atas resume tersebut. Nah disaat itu pulalah, seorang kawan Daeng Rhina menyampaikan untuk menulis koreksi atas hasil diskusi online tersebut. 

Sekali lagi, bukan untuk menjatuhkan atau menghina, but hal seperti ini penting sebagai bagian dari Demokrasi. Tulisan dibalas dengan tulisan, bukan dengan bogem mentah macam Satpol Pamong Praja. Kalau memang  tidak terima, bisa dibantah balik lewat tulisan.


Pertama, saya awali tulisan ini dengan menyampaikan sekali lagi bahwa saya tidak mengikuti dari awal hingga akhir diskusi. Pun begitu dengan rekaman LIVE. Saya menulis kritik ini didasarkan atas foto di Instagram. Apa yang melatarbelakangi? Saya tidak mau massa tergiring dalam sebuah opini yang keblinger.  

Mengutip kalimat Kawan Rina (SP & SGBN) : "gerakan feminis mesti diluruskan agar menjadi basis bacaan buat diskusi" dan "Untuk yang melisa itu. Harus diurai penindasan terhadap perempuan jadi engga bicara normative saja kak".  Jadi, hasil resume diskusilah yang menjadi acuan untuk ditelaah secara komprehensif berbasarkan dialektika, bukan retorika semata. Berdasarkan Teori Feminsime untuk pembebasan perempuan, bukan keaktivismean belaka.

Kedua, jika saya adalah seorang Pemantik dalam sebuah diskusi, saya akan memperhatikan dengan seksama resume yang akan diterbitkan. Saya akan memastikan point-point yang saya sampaikan terkutib dan tertulis sesuai dengan yang saya katakan. 

Ini penting, sebab ini menyangkut nama baik terlebih adanya sebuah unsur kebenaran dari perkataan yang saya pribadi berikan ke khalayak ramai. Untuk yang satu ini, sorry to say but Mbak Melisa fail for this. 

Entah mungkin karena tidak membaca dengan seksama sehingga terlewatkan (saya lihat ada jempol beliau di foto tersebut) atau  besar keungkinan Mbak Melisa ini terlalu baik hati hingga sangat segan untuk mengoreksi. Who knows, entahlah. Biarlah saya bingung dan menuliskannya hingga beban di Hati dan Otak saya sedikit terangkat atas resume tersebut.

Mengapa saya kemukakan demikian? Karena dibaris atas hasil diskusian ada tertera satu pokok bahasan yakni RUU Ketahanan RT. RT itu apakah singkatan dari Rumah Tangga? Atau RUU Ketahanan Rukun Tetangga? 

Jika iya, Mbak Melisa ini yang dikatakan sebagai "Pemerhati Hukum" perlu menjabarkan ke khalayak ramai apa itu RUU Ketahanan Rumah Tangga atau RUU Ketahanan Rukun Tetangga. Sebab saya sudah mencari kemanapun literasi tersebut tidak ada, yang ada adalah RUU Ketahanan Keluarga!

Saya pribadi tidak menyalahkan Sang Admin atas hal tersebut. Karena Sang Admin tidak mengetahui bahwa wacana tersebut dibahas dalam diskusi online yang bertemakan "Ambiguisme Kartini, Kasus KDRT dan rendahnya pendidikan perempuan". 

Memang secara tidak kasat mata, pembahasan RUU yang sangat kurang ajar itu dapat diselipkan, BUT jika pada akhirnya menyamakan bahasa RUU Ketahanan Keluarga menjadi RUU Ketahanan RT Mbak Melisa seharusnya mengoreksi hal tersebut, sebab itu sebuah fatalistic. 

Itu hak prerogative beliau sebagai seorang Pemantik. Seperti yang saya sampaikan diatas, kutipan kalimat harus sesuai dengan yang disampaikan. Dengan nge-like foto di Instagram secara nyata beliau membenarkan ketidaktahuan Sang Admin atas RUU tersebut. Yang ujung-ujungnya membuat Pembaca (termasuk saya dan Rhina ngedumel), kok bisa yoo tulisan itu tidak dikoreksi? 

Saya tidak mampu terima dengan akal sehat jika argumentasi beliau adalah tidak lihat, terlewat, tidak baca atau bahkan menyamakan. Jika seperti itu alasannya, sama saja dengan sebuah pepesan kosong!

Ketiga, mari kita telaah satu per satu resume tersebut. Baris demi baris. Ini penting sebagai proses pembelajaran bagi Pembaca (saya dan Rhina, entah siapa lagi), bagi Followers beliau yang bejibun, terlebih pada Massa. Siapa Massa itu? Yang sering pantengin beliau bawa diskusi.

RUU Ketahanan RT.
Sudah tidak perlu dibahas lagi judulnya. Headline-nya yang tidak ada pengorekisan dari Pemantik itu sudah bikin dongkol. Memaksa perempuan berdiam dirumah dan menolak kebebasan berpendapat adalah menghalau tindak emansipasi. 

Apa itu Emansispasi? Mengutip Wikipedia, Emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persaman derajat, sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum dalam pembahasan masalah seperti itu.


Nah, apa yang ada dalam RUU Ketahanan Keluarga? RUU Ketahanan Keluarga adalah bentuk intervensi Negara atas ruang privat warga dan domestifikasi kaum perempuan. RUU ini menyoroti peran Isteri, larangan BDSM, hingga wajib lapor dan rehabilitasi bagi Homoseksual. Selama ini sebenarnya sudah ada Undang-undang lain yang mengatur hal serupa yang ada di dalam RUU tersebut. Misalnya soal keluarga serta hak kewajiban suami istri yang sudah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. 

Kemudian soal kekerasan terhadap anak, juga sudah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.  RUU Ketahanan Keluarga ini tak hanya berpotensi tumpang tindih dengan aturan atau Undang-undang lain. 

RUU Ketahanan Keluarga tidak lebih dari warisan Orde Baru (read more: https://redrebellion1917.blogspot.com/2020/04/ketika-negara-ingin-mengurus-keluarga.html). Orde Baru melakukan pendefenisian ulang mengenai "Isteri" baik secara sosial, politik dan ekonomi. 

Selama Soeharto berkuasa di Indonesia terjadi konstruksi social keperempuanan, yakni bahwa Isteri yang baik adalah yang di Dapur, Sumur, dan Kasur. 

Sedangkan anak perempuan yang baik adalah mereka yang patuh pada Bapak. Lambang Bapak inilah yang dikukuhkan sebagai Kepala Keluarga, yang menjadi titik pusat akan kehidupan keluarga. Tenggok saja dalam bidang politik, pilihan Bapak adalah sah dalam keluarga dimana semua anggota keluarga harus turut serta mengakuinya. 

Bukan rahasia umum selama 32 tahun berkuasa pilihan politik perempuan terkerangkeng. Secara garis besar RUU Ketahanan Keluarga tidak percaya pada kesetaraan gender dan mengatur ruang privat (terkhususnya tubuh perempuan itu sendiri). 

Apa Mbak Melisa mengemukakan ini? Karena banyak aktivis perempuan lainnya yang saya temui juga turut menyampaikan hal yang sama, yakni RUU ini adalah warisan Orde Baru. Ini penting untuk disampaikan oleh seornag Pemantik yang juga seorang Pemerhati Hukum, sebab seorang Pemerhati Hukum sudah pasti berdiri diatas Demokrasi, dan Orde Baru sangat Anti-Demokrasi.

RUU Ketahanan Keluarga memaksa perempuan berdiam diri dirumah, itu ada benarnya. Tapi apakah Mbak Melisa menjabarkan dalam diskusi pemaksaan itu seperti apa? 

RUU Ketahanan Keluarga lebih menyoroti pada pembagian kerja antara Suami dan Isteri. Ini bukan saja berarti perempuan dipaksa tinggal dirumah,, malah lebih parah lagi sebuah penyingkiran perempuan dan mengukuhkan batang hidung Patriarki di masyarakat. Lihatkan? Sebuah warisan Orde Baru. Orde Baru bahkan tidak menggunakan kata perempuan. 

Kita tahu sendiri (mungkin Mbak Melisa tidak tahu) bagaimana Orde Baru merepresentasikan "wanita" Indonesia. Pada masa Orde Baru masalah wanita--atau dalam peristilahan Orde Baru disebut "kegiatan peningkatan peranan wanita"--di Indonesia disegregasikan ke dalam dan dikoordinasi oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW). 

Namun peningkatan peranan perempuan ini adalah "peran ganda" karena Negara mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan negara dan juga perempuan wajib dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera. 

Ya, memang perempuan harus berpartisipasi dalam sosial dan politik namun Orde Baru yang membungkus dirinya secara liberal tak khayal hanya menjadikan perempuan sebagai alat yang berperan dengan citra "ibu rumah tangga" dan "isteri".  

Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), Kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol Pemerintah. 

Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Keduanya adalah organisasi fungsional, dengan keanggotaan otomatis mengikuti hierarki suami. 

Yang paling menjijikan di organisasi Pemerintah tersebut adalah ketika pimpinan "fungsional" terletak pada kedudukan Suami, apapun latarbelakang pendidikan, organisasi atau kecenderungan politik Isteri. Lalu dimana letak peran perempuan yang sesungguhnya apabila harus "bapakisme" seperti ini? 

Maka celakalah sistem kedudukan perempuan di masa Orde Baru ini karena sangat tidak berpihak pada kesetaraan. Orde Baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan Pemerintah. 

Sehingga organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan, sulit karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagipula penyadaran yang ada mudah dibungkam dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan subversif karena bertentangan dengan pemerintah. 

Bagi kaum wanita, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata. Mereka dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Soeharto yang berwatak Patriarki.

Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita yakni: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Seperti inilah niat terselubung dari RUU Ketahanan Keluarga. 

RUU Ketahanan Keluarga berniat kembali menempatkan perempuan kembali ke masa kelam tersebut. Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusiaan hingga Rakyat menjadi tumbal kekuasaan, hal ini perlu untuk ditilik kembali mengingat perjuangan perempuan tidak mudah dan penuh dengan tumpah darah.  

Salah satu poin yang sangat disoroti adalah pembagian kerja antara Suami dan Isteri yang hendak diatur oleh Negara. Isinya mendesak Suami sebagai Kepala Keluarga yang memiliki tanggungjawab lebih dan Isteri mengatur Rumah Tangga. Dalam masyarakat Kapitalis, perempuan adalah pencari nafkah tambahan, sementara laki-laki adalah pencari nafkah utama. RUU ini hanya kian melengkapinya.  

Negara tidak pernah sampai kepikiran semisalnya bagaimana dengan perempuan yang memiliki Suami cacat fisik sejak lahir atau karena kecelakaan, yang kadang masih sulit untuk mendapatkan perkerjaan, sedangkan Isteri ada untuk melengkapi kekurangan Suaminya tidak dapat membantu kebutuhan rumah tangga? 

Ataukah bagaimana dengan perempuan-perempuan desa yang karena keterdesakan ekonomi akhirnya memilih bekerja sebagai Buruh di kota sebagai dampak keterbatasan lahan di desa? Adanya kewajiban mengatur urusan rumah tangga bagi Isteri mengecilkan konteks ekonomi di Indonesia, yang justru banyak mendorong perempuan terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi.

Maka seandainya Mbak Melisa memang ingin berjuang membebaskan perempuan lewat diskusi maka Emansipasi perempuan yang direnggut oleh RUU sontoloyo ini bukan hanya kebebasan berpendapat, Mbak. Tapi juga lebih pada Hak Ekonomi perempuan. 

Ini penting, Mbak. Karena inilah bangunan dasar/bawah dalam masyarakat (ini bahan diskusinya terpisah lagi, Mbak) Malahan jika RUU ini disahkan besar kemungkinan Mbak Melisa tidak akan bawa diskusi lagi kedepannya sebab di masa Orde Baru perempuan hanya menjadi pajangan untuk foto-foto (ah, kita bahas ini dipoint yang Mbak Melisa sebut selebrasi), gunting pita, dan tepuk tangan sorak-sorai bergembira.

RUU PKS
Pokok bahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Mbak Melisa sampaikan yakni Karantina Covid-19 mencemaskan, akan berbahaya jika ada korban yang harus berada dalam satu rumah dengan pelaku dan sulit melapor. Stigma dan Pandemi ini mengekang dan menekan korban.

Angka kekerasan selama masa pandemic ini dibelahan dunia meningkat. Stress, minuman beralkohol (bagi Peminum), tidak punya pekerjaan, tidak ada uang adalah factor laki-laki melakukan kekerasan di rumah. 

Perempuan yang tidak mandiri secara financial akan bergantung pada laki-laki yang menghidupinya, sehingga tidak memiliki pilihan lain selain bertahan dalam kekerasan itu sendiri. 

Sebuah toxic dalam hubungan bahkan menjadi dalil untuk bertahan, yakni percaya bahwa kelak suatu hari sang pasangan akan berubah. Mbak Melisa kenapa  tidak memaparkan itu dalam resume? 

Kenapa sebagai seorang Pemantik tidak bantu kita untuk say : SAHKAN RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu di foto tersebut, Mbak. Sehingga gaungnya lebih wow. Udah gitu aja, kita-kita tidak akan bosan kok. Sebab dengan semakin bergaung, followers dan peminat diskusi yang Mbak bawakan akan kian mencari tahu kondisi perempuan dalam belenggu kekerasan.

Lebih jauh malah saya berani sampaikan Covid-19 ini menjadi bencana bagi feminisme. Feminisme dikatakan tidak mampu menjembatani pandemic Covid-19 terlebih ketika berurusan dengan perut. Ini bahaya, Mbak. 

Ideologi Feminis dilemparkan arang hitam sehingga diharapkan kelak perempuan tidak menganut idelaisme ini lagi. Berbicara Feminisme tidak hanya sampai pada Patriarkhi sata, tapi jenjang paling tingginya Kapitalisme.  Ia tidak sekedar mencemaskan, malah membahayakan perempuan.

Ketika perempuan memiliki kekuatan pengambilan keputusan yang lebih sedikit daripada laki-laki, baik di rumah tangga atau di pemerintahan, kecil kemungkinannya terpenuhi kebutuhan perempuan selama masa pandemic ini. 

Perempuan perlu menyuarakan kesetaran gender kian kencang ditengah pandemic, sehingga hal paling buruk bagi kaum perempuan dapat diminimalisir https://redrebellion1917.blogspot.com/2020/03/covid-19-dan-dampaknya-pada-perempuan.html).

Mbak Melisa yang cerdas, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu difitnah lho. Ia difitnah bahwa dalam RUU P-KS disebutkan bahwa orangtua yang meminta anak-anaknya pakai jilbab akan di Pidana-kan, difitnah bahwa RUU P-KS melegalkan LGBT (sementara tidak ada satu kata LGBT pun yang muncul dalam RUU), difitnah mengiyakan adanya free sex dan  zina. Bantu kita menjelaskan ke public juga soal tersebut kala membawa diri sebagai Pemantik. Titip ini yah! Kita butuh ketokohan Mbak Melisa yang cerdas.

KARTINI
Mbak Melisa yang cerdas, jika saja foto ini atau apalah sebutannya dicetak sebagai flyer lalu disodorin depan mata minus saya, mungkin biji mata saya keluar begitu membacanya, Mbak.

Apa yang tertulis disitu Selebrasi budaya pada hari kartini adalah bagian dari nilai-nilai perjuangan tapi yang sebenarnya dilihat adalah harapan kartini pada kesetaraan dan pendidikan. Kartini tidak pernah menginginkan Hari Lahirnya dijadikan selebrasi. Tidak ada nilai perjuangan Kartini lewat selebrasi berkebaya, berkonde, dan masak-memasak. 

Lanjut nih, harapan Kartini akan kesetaraan dan pendidikan bukan lewat selebrasi tahunan. Mbak. Bukan! Selebrasi di Hari Kartini adalah bentukan Orde Baru, atau jangan sampai Mbak Melisa ini sebenarnya pendukung Orde Baru hingga mampu secara sadar ngelontorin kalimat begitu?

Dalam persepsi Orde Baru, Kartini direpresentasikan sebagai "wanita" anggun, lemah gemulai, cantik, sabar, dan yang pasti seorang anak perempuan yang patuh. Kita tahu sendiri bahwa Kartini dalam lubuk hatinya menentang praktek Poligami, namun ia tidak kuasa melawan kehendak Ayahnya hingga akhirnya bersedia di Poligami. 

Perayaan hari lahir Kartini tidak lebih dari sekedar ceremonial belaka, jauh dari impian Kartini; pembebasan kaumnya. Siapa Kaumnya? Dengan berani saya katakan Perempuan dan Rakyat Miskin. Kartini itu berjuang bagi pemberantasan buta huruf bagi perempuan miskin di zamannya. Berjuang bagi pengakuan hak politiknya. Berjuang bebas dari kekerasan dalam rumah tangga, dan semua itu tidak diselebasikan.

Kartini adalah seorang pemberontak di zamannya. Ia banyak menuntut keadilan akan hak, dimana saat itu adalah sebuah gerak-gerik yang sangat ditabukan oleh budaya Jawa kala masanya, yang pada akhirnya banyak mendapat cemoohan. 

Bagaimana pula bentuk cemoohan itu? Kalau membaca surat-suratnya, kita boleh menduga, apa yang dilakoni Kartini dulu serupa tapi tidak sama dengan yang dilakukan selebritis Awkarin saat ini: muda, pemberontak adat dan paham tua, kebarat-baratan, energi meletup, rindu kebebasan, yang kemudian dimanifestasikannya dalam karya-karya. 

Jadi, mbak Melisa yang cerdas, Kartini tidak mengajarkan selebrasi budaya berkonde dan berkebaya seperti yang dirayain hingga kini. Dan lewat selebrasi berkonde serta berkebaya tidak ada itu namanya nilai-nilai kesetaraan dan pendidikan, yang ada adalah pengukuhan bahwa perempuan subordinat dari laki-laki. 

Coba kita tenggok realitas sebenarnya. Ada konstruksi social klas masyarakat patriarki yang secara tidak langsung  menyiratkan pemahaman tentang kekuasaan, eksistensi, kepemilikan, dan dominasi laki-laki atas perempuan. 

Perempuan dikonotasikan sebagai subordinat dari laki-laki. Ini mengacu kepada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu. 

Perempuan kembali ke ranah domestic malah digaungkan kembali lewat RUU Ketahanan Keluarga, yang justru diinisiasi oleh perempuan (https://redrebellion1917.blogspot.com/2020/04/kartini-riwayatmu-kini.html dan https://www.facebook.com/yonathan.luwalukati/posts/537383560306481).

Bagi seorang Pemerhati Hukum dan saya yakin Mbak Melisa ini bagian dari gembong aktivis perempuan di Makassar, telah melakukan banyak hal bagi perempuan, apalah artinya dengan saya yang hanya seorang buruh semata. Tapi Mbak Melisa yang cerdas, jikalau Kartini melihat kondisi yang ada sekarang ditambah dengan kalimat selebrasi mbak serta bias nilai-nilai perjuangannya entah apa yang akan disampaikannya, Mbak. 

Mengacu pada tema Ambiguisme Kartini maka lebih baik jika Mbak memaparkan kondisi Kartini-kartini yakni perempuan-perempuan Indonesia saat ini. Apa itu? Di masa sekarang pernikahan dianggap percapaian tertinggi bagi seorang perempuan. Perempuan yang nikah muda dapat pujian sedangkan yang belum menikah dicemooh habis-habisan. Mbak penentang pernikahan anak juga kan? 

Nah, disitu tidak ada selebrasi. Apa lagi? Kini banyak tanah rakyat (perempuan menjadi bagiannya) yang dirampas demi kepentingan bisnis, sama persis ketika zaman colonial di masa Kartini, disana adakah selebrasi? Dulu Kartini melawan Poligami (namun tidak kuasa), kini Poligami tidak hanya dianjurkan tapi juga dikampanyekan. 

Sudah lelah bangun sekolah untuk anak perempuan, kini malah ada gerakan perempuan kembali ke rumah. Diantara kesemuanya tidak ada tuh selebrasi ala Kartini seperti yang dicekokin kedaam batok kepala kita. Yang terjadi kini tentang Kartini adalah, tulisannya dilupakan, pakaiannya dibanggakan. Mungkin itu kali maksud Mbak Melisa dengan selebrasi Kartini.

Yang kini dihadapi perempuan Indonesia adalah Kemiskinan yang jalin menjalin dengan militerisme yang ditopang oleh Feodalisme. Inilah musuh dan lawan bersama, Mbak. Dan untuk menghadapi ini semua tidak dengan selebrasi pencitraan Kartini ala Orde Baru. Untuk yang ini saya akan menulis dikemudian hari. 

Karena tulisan ini hanya mengoreksi resume materi diskusi yang Mbak Melisa bawakan. Doakan saya sehat selalu hingga mampu memenuhi hasrat penulisan lebih lanjut, seperti saya mendoakan Mbak Melisa sukses selalu sebagai Pemantik dan Pemerhati Hukum serta lebih lanjut sebagai aktivis perempuan.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun