RUU Ketahanan Keluarga tidak lebih dari warisan Orde Baru (read more: https://redrebellion1917.blogspot.com/2020/04/ketika-negara-ingin-mengurus-keluarga.html). Orde Baru melakukan pendefenisian ulang mengenai "Isteri" baik secara sosial, politik dan ekonomi.Â
Selama Soeharto berkuasa di Indonesia terjadi konstruksi social keperempuanan, yakni bahwa Isteri yang baik adalah yang di Dapur, Sumur, dan Kasur.Â
Sedangkan anak perempuan yang baik adalah mereka yang patuh pada Bapak. Lambang Bapak inilah yang dikukuhkan sebagai Kepala Keluarga, yang menjadi titik pusat akan kehidupan keluarga. Tenggok saja dalam bidang politik, pilihan Bapak adalah sah dalam keluarga dimana semua anggota keluarga harus turut serta mengakuinya.Â
Bukan rahasia umum selama 32 tahun berkuasa pilihan politik perempuan terkerangkeng. Secara garis besar RUU Ketahanan Keluarga tidak percaya pada kesetaraan gender dan mengatur ruang privat (terkhususnya tubuh perempuan itu sendiri).Â
Apa Mbak Melisa mengemukakan ini? Karena banyak aktivis perempuan lainnya yang saya temui juga turut menyampaikan hal yang sama, yakni RUU ini adalah warisan Orde Baru. Ini penting untuk disampaikan oleh seornag Pemantik yang juga seorang Pemerhati Hukum, sebab seorang Pemerhati Hukum sudah pasti berdiri diatas Demokrasi, dan Orde Baru sangat Anti-Demokrasi.
RUU Ketahanan Keluarga memaksa perempuan berdiam diri dirumah, itu ada benarnya. Tapi apakah Mbak Melisa menjabarkan dalam diskusi pemaksaan itu seperti apa?Â
RUU Ketahanan Keluarga lebih menyoroti pada pembagian kerja antara Suami dan Isteri. Ini bukan saja berarti perempuan dipaksa tinggal dirumah,, malah lebih parah lagi sebuah penyingkiran perempuan dan mengukuhkan batang hidung Patriarki di masyarakat. Lihatkan? Sebuah warisan Orde Baru. Orde Baru bahkan tidak menggunakan kata perempuan.Â
Kita tahu sendiri (mungkin Mbak Melisa tidak tahu) bagaimana Orde Baru merepresentasikan "wanita" Indonesia. Pada masa Orde Baru masalah wanita--atau dalam peristilahan Orde Baru disebut "kegiatan peningkatan peranan wanita"--di Indonesia disegregasikan ke dalam dan dikoordinasi oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita (UPW).Â
Namun peningkatan peranan perempuan ini adalah "peran ganda" karena Negara mengikutsertakan perempuan dalam pembangunan negara dan juga perempuan wajib dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan sejahtera.Â
Ya, memang perempuan harus berpartisipasi dalam sosial dan politik namun Orde Baru yang membungkus dirinya secara liberal tak khayal hanya menjadikan perempuan sebagai alat yang berperan dengan citra "ibu rumah tangga" dan "isteri". Â
Organisasi Kowani berlaku sebagai mitra Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (UPW), Kowani banyak kehilangan otonominya dan sangat dikontrol Pemerintah.Â