Organisasi ini sangat terkait dengan Golkar serta didominasi oleh Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi. Keduanya adalah organisasi fungsional, dengan keanggotaan otomatis mengikuti hierarki suami.Â
Yang paling menjijikan di organisasi Pemerintah tersebut adalah ketika pimpinan "fungsional" terletak pada kedudukan Suami, apapun latarbelakang pendidikan, organisasi atau kecenderungan politik Isteri. Lalu dimana letak peran perempuan yang sesungguhnya apabila harus "bapakisme" seperti ini?Â
Maka celakalah sistem kedudukan perempuan di masa Orde Baru ini karena sangat tidak berpihak pada kesetaraan. Orde Baru memberikan dukungan dana kepada organisasi-organisasi wanita sehingga dengan kata lain organisasi-organisasi wanita dipaksa mendukung tujuan pembangunan Pemerintah.Â
Sehingga organisasi perempuan tidak dapat bergerak dan melakukan perlawanan, sulit karena sudah tercipta hubungan patron-klien. Lagipula penyadaran yang ada mudah dibungkam dan menyuarakan pendapat bahkan dapat dikatakan sebagai tindakan subversif karena bertentangan dengan pemerintah.Â
Bagi kaum wanita, ini berarti hilangnya otonomi secara nyata. Mereka dipaksa tunduk dan siapapun yang melakukan perlawanan akan dihilangkan dan bahkan dibunuh. Persekongkolan kekuasaan Orde Baru dibangun terus-menerus, dengan cara pelecehan martabat perempuan pada khususnya, yang telah digunakan sebagai pembenaran kelangsungan basis kekuasaan totaliter Soeharto yang berwatak Patriarki.
Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita yakni: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 3) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 4) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Seperti inilah niat terselubung dari RUU Ketahanan Keluarga.Â
RUU Ketahanan Keluarga berniat kembali menempatkan perempuan kembali ke masa kelam tersebut. Orde Baru adalah masa kelam dan pedih karena hilangnya rasa kemanusiaan hingga Rakyat menjadi tumbal kekuasaan, hal ini perlu untuk ditilik kembali mengingat perjuangan perempuan tidak mudah dan penuh dengan tumpah darah. Â
Salah satu poin yang sangat disoroti adalah pembagian kerja antara Suami dan Isteri yang hendak diatur oleh Negara. Isinya mendesak Suami sebagai Kepala Keluarga yang memiliki tanggungjawab lebih dan Isteri mengatur Rumah Tangga. Dalam masyarakat Kapitalis, perempuan adalah pencari nafkah tambahan, sementara laki-laki adalah pencari nafkah utama. RUU ini hanya kian melengkapinya. Â
Negara tidak pernah sampai kepikiran semisalnya bagaimana dengan perempuan yang memiliki Suami cacat fisik sejak lahir atau karena kecelakaan, yang kadang masih sulit untuk mendapatkan perkerjaan, sedangkan Isteri ada untuk melengkapi kekurangan Suaminya tidak dapat membantu kebutuhan rumah tangga?Â
Ataukah bagaimana dengan perempuan-perempuan desa yang karena keterdesakan ekonomi akhirnya memilih bekerja sebagai Buruh di kota sebagai dampak keterbatasan lahan di desa? Adanya kewajiban mengatur urusan rumah tangga bagi Isteri mengecilkan konteks ekonomi di Indonesia, yang justru banyak mendorong perempuan terlibat aktif dalam aktivitas ekonomi.
Maka seandainya Mbak Melisa memang ingin berjuang membebaskan perempuan lewat diskusi maka Emansipasi perempuan yang direnggut oleh RUU sontoloyo ini bukan hanya kebebasan berpendapat, Mbak. Tapi juga lebih pada Hak Ekonomi perempuan.Â