KARTINI
Mbak Melisa yang cerdas, jika saja foto ini atau apalah sebutannya dicetak sebagai flyer lalu disodorin depan mata minus saya, mungkin biji mata saya keluar begitu membacanya, Mbak.
Apa yang tertulis disitu Selebrasi budaya pada hari kartini adalah bagian dari nilai-nilai perjuangan tapi yang sebenarnya dilihat adalah harapan kartini pada kesetaraan dan pendidikan. Kartini tidak pernah menginginkan Hari Lahirnya dijadikan selebrasi. Tidak ada nilai perjuangan Kartini lewat selebrasi berkebaya, berkonde, dan masak-memasak.Â
Lanjut nih, harapan Kartini akan kesetaraan dan pendidikan bukan lewat selebrasi tahunan. Mbak. Bukan! Selebrasi di Hari Kartini adalah bentukan Orde Baru, atau jangan sampai Mbak Melisa ini sebenarnya pendukung Orde Baru hingga mampu secara sadar ngelontorin kalimat begitu?
Dalam persepsi Orde Baru, Kartini direpresentasikan sebagai "wanita" anggun, lemah gemulai, cantik, sabar, dan yang pasti seorang anak perempuan yang patuh. Kita tahu sendiri bahwa Kartini dalam lubuk hatinya menentang praktek Poligami, namun ia tidak kuasa melawan kehendak Ayahnya hingga akhirnya bersedia di Poligami.Â
Perayaan hari lahir Kartini tidak lebih dari sekedar ceremonial belaka, jauh dari impian Kartini; pembebasan kaumnya. Siapa Kaumnya? Dengan berani saya katakan Perempuan dan Rakyat Miskin. Kartini itu berjuang bagi pemberantasan buta huruf bagi perempuan miskin di zamannya. Berjuang bagi pengakuan hak politiknya. Berjuang bebas dari kekerasan dalam rumah tangga, dan semua itu tidak diselebasikan.
Kartini adalah seorang pemberontak di zamannya. Ia banyak menuntut keadilan akan hak, dimana saat itu adalah sebuah gerak-gerik yang sangat ditabukan oleh budaya Jawa kala masanya, yang pada akhirnya banyak mendapat cemoohan.Â
Bagaimana pula bentuk cemoohan itu? Kalau membaca surat-suratnya, kita boleh menduga, apa yang dilakoni Kartini dulu serupa tapi tidak sama dengan yang dilakukan selebritis Awkarin saat ini: muda, pemberontak adat dan paham tua, kebarat-baratan, energi meletup, rindu kebebasan, yang kemudian dimanifestasikannya dalam karya-karya.Â
Jadi, mbak Melisa yang cerdas, Kartini tidak mengajarkan selebrasi budaya berkonde dan berkebaya seperti yang dirayain hingga kini. Dan lewat selebrasi berkonde serta berkebaya tidak ada itu namanya nilai-nilai kesetaraan dan pendidikan, yang ada adalah pengukuhan bahwa perempuan subordinat dari laki-laki.Â
Coba kita tenggok realitas sebenarnya. Ada konstruksi social klas masyarakat patriarki yang secara tidak langsung  menyiratkan pemahaman tentang kekuasaan, eksistensi, kepemilikan, dan dominasi laki-laki atas perempuan.Â
Perempuan dikonotasikan sebagai subordinat dari laki-laki. Ini mengacu kepada peran dan posisi perempuan yang lebih rendah dibandingkan peran dan posisi laki-laki. Subordinasi perempuan berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu.Â
Perempuan kembali ke ranah domestic malah digaungkan kembali lewat RUU Ketahanan Keluarga, yang justru diinisiasi oleh perempuan (https://redrebellion1917.blogspot.com/2020/04/kartini-riwayatmu-kini.html dan https://www.facebook.com/yonathan.luwalukati/posts/537383560306481).