Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Menanam Kurma di Kebun Kopi

12 November 2016   13:23 Diperbarui: 15 November 2016   10:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: https://ervakurniawan.files.wordpress.com

Di sebuah Dukuh, di bawah awan biru yang berkejaran dengan gumpalan awan hitam, di sebuah bait beratap rumbia. Tepat di ruang tengah, saat itu petang hampir mendung di atas langit kebun kopi Ama' Oyang.

***

"Apa yang membuat kau jadi kurang sehat pikiran begini, Zhiq. Hingga segila anjing mau menanam kurma di kebun kopi kita?"

Ketus Ama' Oyang dalam Mongondow kepada anak sulungnya yang baru selesai studi di Saudi Arabia, Rhoziq.

"Ama' dan Ina' mu ini, sekalipun tidak mencicipi sekolah, manalah mungkin menuruti ithikad kurang sehat mu ini nak, hmmmmm..."

Lanjut Ama' Oyang,

"Kebun kopi kita ini, bukan cuman soal perkara rupiah nak, bukan juga soal panen, sekalipun Ama' dan Ina' ndak bisa berdusta kalau beberapa rupiah yang dikirim untuk ongkos kuliah mu di Arab itu, sebagian hasil kebun kopi ini, juga sebagian dari bantuan sedikit-sedikit kedua kakak mu. Tentu dari upah mereka sebagai buruh bangunan. Sekalipun mungkin ndak sebesar bantuan beasiswa dari kerajaan Saudi."

"Lantas selebihnya tentang apa Ma'?", Sela Rhozieq dengan posisi wajah tunduk menghadap layar gawai di telapak tinjunya.

"Kau tahu, kopi di Dukuh kita ini, bukan sebatas minuman penyambut matahari, atau sekedar pendamping untuk dua biji panada milik Ina' Udin. Di Dukuh ini, mungkin juga di Negeri kita ini, kopi adalah peradaban. lebih-lebih bisa di bilang sebuah keajaiban dunia."

Ruang tengah dengan dinding cempaka itu hening.

Ama' Oyang gagu seketika. Tatapan kosongnya menembus jendela, jatuh di hamparan kebun kopi yang menghijau pekat di atas tanah gembur yang tak pernah memberikan kesempatan kepada rerumputan liar untuk hidup dan menjadi rimbun.

Dalam diam, Rhoziq masih memendam angkuh, terlebih statusnya sebagai sarjana cetakan Negeri Ibnu Saud. Ia duduk tepat ditentang Ama'nya yang kian lisut dimakan usia --yang tinggal butuh satu dasawarsa lebih untuk mencapai satu abad. Dua cangkir kopi hangat yang dihidang Ina' masih berdiam diatas meja, bahkan belum tersesap walau sekali.

"Slurrrppppppp....", Ama' Oyang akhirnya membuka seruput pertama. Kopi yang kian dingin itu kini berkurang setengah.

"Lantas apa dasar mu hingga segila anjing mau membabat seluruh pohon kopi tak berdosa itu dan mengganti dengan pohon-pohon kurma yang kau cita-citakan itu?", Ama' Oyang memulai lagi.

Sekonyong-konyong, Rhozieq tanpa pamit melesat ke kamar hanya untuk kembali lagi ke bangku yang sama.

"Ini Pak!", Rhozieq menunjukkan sebuah buku yang judulnya bertuliskan huruf-huruf arab gundul. Matanya melotot, dan telunjuknya yang mengarah ke judul buku, gemetaran. Semacam dirundung tremor yang akut.

"Arti judul buku ini, 'Dengan Kurma Anda Bisa Kaya Raya'. ini buku pemberian Raja Saudi saat acara pelepasan alumni asal Indonesia. Dan Ama', saya satu-satunya yang mendapat buku ini. Satu-satunya Ma', satu-satunya." Tegas Rhozieq, penuh keyakinan. Semacam habis mendapat hidayah langsung dari langit, tanpa perantara.

"Lantas, selanjutnya apa?",

Ama' Oyang menanggapi dengan sikap dingin. Laku sebagai orang tua yang setia mawas diri terhadap segala coba-coba. Maklum, Ama' Oyang adalah satu dari dua orang sisa-sisa jaman Permesta yang masih dikaruniakan usia langgeng: yang artinya ia sudah cukup kaya dengan tabungan manis-asam-pahit kehidupan. Ia dan Aki Irun, adalah kamerad semasa di Permesta yang kini menyandang gelar tetua kampung. Dua orang tua sisa-sisa zaman yang pernah bersinggungan langsung dengan momentum Proklamasi, Orde Lama, Gestapu, Tangan Besi Orba, hingga kini masih sering ngopi di depan tivi sehabis subuh dan maghrib untuk menonton kegaduhhan Pilkada DKI, dan tentu melihat bagaimana ngerinya Habib Rizieq untuk NKRI. Tentu dalam tua-nya, Ama' Oyang sudah khatam atas segala coba-coba. Dari yang diselimuti tipu-daya, hingga yang betul-betul tujuannya mulia.

"Begini Ama'....", Rhoziq menyeruput kopi yang sudah lewat sejam belum tersentuh bibir cokelatnya itu. Ia membuka lembaran pertama, dan memulai dengan suara baritonnya: rendah, dan dingin, ala-ala Mertua Anisa Pohan. Ia membuka kuliah sepi di ruang tengah bait kecil hunian mereka dengan kutipan bahasa arab yang artinya, "dengan menanam sebatang pohon kurma, anda telah setara petani yang menanam sejuta pohon sawit".

Setelah itu ia berdiri. Sekelabat kesombongan Akademis-nya (terlebih sebagai lulusan Negeri Padang Pasir), membuatnya silap akan laku santun cara semestinya berbicara dengan orang tua.

Dari situlah Rhozieq membuka kuliah singaktnya tentang kurma. Rhozieq menjabarkan panjang lebar isi buku yang di genggamnya penuh erat. Segala macam istilah yang asing di telinga Ama'nya, ia obral tanpa harga. Mulai dari sejarah kurma; pengembangan kurma dengan cara termurah; rasio kelamin yang tak menguntungkan; metode anakan atau offshot; kurma betina dan hermaprodit; proses kultur jaringan; sex ratio bibit kurma; kurma kuljar yang mahal hingga yang versi murah; hingga sampai ke awan angan-angan membeberangkatkan Ama' dan Ina'nya pergi haji jika kurma itu menyulapnya jadi petani kaya.

Hingga dua kali enam puluh menit usai, hingga gerimis mulai berjatuhan membasahi atap bait peniggalan dari Aki Ama'nya, juga menyirami ladang kopi yang tampak di celah jendela, dan Rhozieq menutup kuliah privat tentang kurma --yang sebenarnya membosankan-- ditentang bapaknya. Tentu, setelah ribuan kata-kata telah tersembur habis tanpa menyisahkan satu kalimatpun di dalam kepalanya, kecuali satu kalimat penutup, tegas, dengan nada bercampur ajakan sekaligus permohonan;

"Kalau Ama' setuju, besok saya hubungi Investor asal Arab. Ia siap mendonor modal berapapun. Tanpa bunga, apalagi anggunan. Asal Ama' mau dulu!"

Rhozieq kembali menjatuhkan bokongnya ke punggung bangku. Matanya menyala, menyoroti Ama'nya yang diselimuti diam tanpa suara di atas bangku tua yang kian keropos dimakan rayap.

Dua menit berlalu tanpa suara. Rhozieq yakin betul presentasinya barusan akan berhasil meruntuhkan prinsip Ama'nya yang tak menjanjikan kaya kecuali semangat merawat sejarah dan segala omong kosong tentang peradaban atas nama kopi.

Ama'nya yang lama dibekukan diam penuh penghayatan, kini berdiri dan melangkah pelan menuju jendela. Ia bediri tepat di belakang jendela. Kedua tangannya menancap kokoh di tiang-tiang tua jendela . Wajahnya yang lisut keriput menatap ke arah kebun kopi yang luas, tempat burung-burung bermain dikala senja tiba dan mencuri biji-biji kopi yang selalu menjanjikan manis saat menjadi merah, tempat Ia dan Bininya bekerja seharian untuk membasmi rumput-rumput liar, mematahkan cabang-cabang air yang mengganggu Kopi mengeluarkan buah, memetik buah-buah kopi merah yang telah siap panen. Selamanya dalam batin Ama' Oyang, kebun kopi di samping bait berdinding cempaka mereka; bukan semata soal panen, jemur, digiling dan dijual ke tengkulak.

Kebun kopi yang itu. Yang ia tatap dalam geming dingin itu, baginya adalah sebuah manifestasi tentang bagaimana menjaga amanah orang tua, sejarah dan identitas bahwa ia adalah anak seorang pekebun kopi. Tentang kebun yang ia terlanjur percaya sebagai muara peradaban kecil yang masih tersisa di Dukuh mereka, ditengah maraknya ‘ekspansi senyap’ para investor yang sedang giat mencari tanah murah milik jelata-jelata dukuh yang selalu mudah diiming-imingi dengan sebuah motor buatan Tiongkok untuk ditukar dengan sebidang tanah demi kurma.

Presentasi luar biasa barusan dari anaknya, ia anggap tak lebih dari sebuah muslihat licik para investor untuk mengelabui pendiriannya melalui orang dalam rumah. Hal yang sama, tentang kebun kurma, sudah ia jumpai beberapa kali bahkan saat Rhozieq masih kuliah Arab. Bahkan telah lebih dari jumlah seluruh jari di kedua tangannya. Hanya kenapa ia tetap memberi waktu dengan ikhlas kepada anak kebanggannya untuk berbusa-busa mengguruinya, karena barangkali, jangan-jangan, alasan anak kandungya lebih masuk akal, berfaedah dan bertujuan untuk kemaslahatan umat di Dukuh mereka. Ternyata sama saja.

Dan tanpa diketahui Rhozieq yang sedang percaya diri itu, bahwa Ama'nya tak satu warna dengan isi kepalanya. Dalam batin Ama'nya, segala nostalgia tipu daya yang pernah ia kenali, kini muncul lagi. Bahkan sedang duduk diam di belakang punggungnya. Tiba-tiba Ia tertawa lantang hingga membuat Rhozieq yang sedang tercenung dibelakangnya, kaget, "ada gerangan apa Ma'?", menegur tawa Ama'nya yang tiba-tiba pecah.

"Ndak, ...." Sahut Ama' Oyang, dingin. Kemudian beku lagi dalam diam yang hayat.

Dalam tuanya yang lontok, ia terlanjur khatam untuk sebatas mengenali segala macam tarekat dan tipu muslihat kaum-kaum borjuasi. Baik yang kelas lokal maupun yang kelas interlokal, yang suka bersembunyi di balik boneka berwajah sendu. Masih subur dalam ingatannya, bagaimana bule-bule Amrik bermain licin sekali dibalik Gestapu, juga masih jelas di retina matanya bagaimana IMF dan World Bank yang saat jumpa pertama berlagak sebagai Bunda Theresa padahal tak lebih dari seorang rentenir yang suka menyita ladang-ladang kopi hingga sepeda tak berdosa buatan Vietnam milik anak-anak petani yang tak sanggup membayar bunga pinjaman yang tingginya mebihi Monas.

Ia tahu dengan pendiriannya ini, Rhozieq, anaknya satu-satunya yang bersekolah hingga ke perguruan tinggi dibanding dua kakaknya yang bahkan tak memiliki ijazah SD sekalipun, akan menimbulkan friksi yang laten, yang diam-diam merayap hidup dibawah lantai papan bait tempat mereka berhuni. Sekalipun mereka akan tetap ngopi dan menikmati panada panas-panas di beranda untuk menyaksian warna senja yang selalu dramatik dibalik gunung-gunung yang diam.

"Sekalipun kau buah dari spermaku, tak menjamin kau sewarna dengan kepalaku. Dan Bapakmu ini, akan tetap dengan warna seperti ini, bahkan hingga kopi-kopi itu berhenti berbuah, bahkan hingga kelak jasadku tertanam di bawah hijau subur pepohonan kopi", batin Ama' Oyang.

***

Setangah jam yang gagu itu terlewati. Ama' Oyang masih di belakang jendela. Begitupun Rhozieq masih dalam cenung dibalik punggungnya.

"Rhozieq, anakku. Kau dalam imajinasiku, adalah berbeda dengan apa yang ada dihadapanku saat ini. Tapi begitulah, kau punya hak untuk menjadi apa yang kau cita-citakan. Kau tak sedang hidup di dalam rahim Ina'mu, kau kini sedang hidup di dunia, dimana kebebasan adalah hak segala manusia. Termasuk kau dan segala warna-warni di dalam kepalamu."

Kata Ama' Rum, khusyuk dan agak membingungkan Rhozieq. Maklumlah, Rhozieq sebenarnya hanya butuh tanggapan, ya atau tidak terkait penjelasannya barusan.

"Maksud Ama' bagaimana? Saya kurang faham...", Sahut Rhozieq, bingung.

"Harapan Ama', sepulang dari Arab, setidaknya kau bisa jadi pencerah untuk imam-imam di langgar yang cuma tahu menghafal ayat. Setidaknya kau bisa mencerahkan kejumudan otak mereka dengan bekal ilmu selama 6 tahun mu di Arab. Minimal mereka faham secara rinci apa perbedaan empat mazhab fiqih, bagaiamana cara membaca ayat yang baik dan benar, atau setidak-tidaknya bagaimana cara berwudhu yang dianjurkan Rasulullah,"

Kata Ama' Oyang yang mulai kelihatan tak memberi lampu hijau terhadap usul anaknya.

Rhozieq tertawa kecil. Ia menyeruput lagi kopi hingga tandas. Kemudian melanjutkan, "Soal itu tentu mudah saja Ama'. Tapi yang lebih penting dari itu semua, saya sebagai lulusan Arab harus membawa perubahan di Dukuh kita ini. Kalau jauh-jauh dari Arab cuma buat mencerahkan para iman-imam di Langgar, lantas apa bedanya saya Ba'ay Teten yang guru mengaji itu, yang bahkan tak lulus SD itu? Tentu Ama' tidak sedang menyamakan saya dengan Ba'ay Teten kan, Ma'?".

Rhozieq tampak merah padam. Dinding-dindign papan di ruang tengah tak sabar menunggu amarahnya pecah.

"Justru dengan mengajari para imam-imam di Langgar, bagaiamana cara sembahyang yang betul, kau sedang memulai perubahan dari dasar, Ziq. Bukan nanti merubah ladang kopi kita dengan kebun kurma. Yang ada, orang-orang kampung akan mengira kau repot-repot kuliah ke Arab cuma untuk belajar menanam Kurma."

Ama' Oyang tertawa setelah ucapan terakhir. Merah padam yang menampal di wajah oval Rhoziq, kini menjalar hingga ke dua daun telinganya yang lebar. Ia tampak geram bukan main. Dalam kobaran amarahnya yang kian mekar, tak satupun sepatah kata berhasil keluar dari mulutnya. Malahan Ama'nya kembali mewejang.

"Soal pohon Kurma, biarkan ia hidup saja di Arab Saudi sana. Kita tetap berkebun kopi saja. Memang kopi tak menjanjikan kaya, dan memang sudah sejak dari zaman Aki mu hingga kau kini dewasa, kita juga belum kaya-kaya. Tapi setidaknya yang pasti, kita masih bisa bikin orang-orang di kampung ini bergembira dengan menyeruput kopi di saban pagi dan sore. Dan yang terpentinting pesan Aki mu, bahagia tak harus kaya."

Ama' berbalik ke arah meja untuk menyeruput kopi yang sedikit lagi amblas menjadi tubat. Ia keluarkan sebatang keretek, kemudian menggeretkan sebatang macis untuk menyulut candu kesayangannya sejak bujang itu . Rhozieq masih terdiam, dan Ama' kini berpindah kembali ke tempat ia duduk semula. Setelah menyembulkan asap keretek ke arah rumbia-rumbia yang menghalau gerimis, Ama' melanjutkan lagi.

"Apa kau tega memaksa orang-orang kampung untuk merubah kebiasaan menikmati senja dengan segelas kopi hangat dan dua biji panada, dan menggantinya dengan menikmati segelas kopi saset dan dua biji korma? Ide mu sebagai sarjana Ama' akui brilian, Ziq. Tapi bukan mentang-mentang kau sebagai sarjana lantas kau bisa menanam padi di atas awan. Biarlah kebun kopi ini sebagaimana adanya, kita tak butuh kaya dengan kurma, terlebih hanya untuk membuat orang-orang di Dukuh menderita, Nak."

***

Ina' masuk dari balik pintu dapur. Melihat gelas-gelas yang telah tandas, Ina' mengangkutnya ke dapur untuk menggantinya dengan cangkir-cangkir baru yang berisi kopi hangat baru diseduh. Kali ini dengan sepiring kacang sangrai dan empat biji panada yang juga masih hangat-hangat renyah. Sementara di luar bait yang mulai temaram, gerimis menderas. Halimun turun perlahan, merayap datar, padat di hamparan kebun kopi. Di ufuk mata, tak ada senja di langit seperti biasa, yang jika hari cerah akan sangat indah ditangkap retina siapapun yang sedang ngopi di dekat jendela ruang tengah.

Imam Sadar tampak melalui jalan diantara deret pepohonan kopi. Jalan kecil tak beraspal itu adalah arteri yang menghubungkan para warga dengan Langgar. Ia berapayung warna cokelat dengan sarung yang tergelung hingga ke lutut untuk menghindari percikan lumpur. Imam Sadar selalu berangkat paling awal ke Langgar. Selalu tak pernah kurang dari pukul setengah lima, juga tak pernah lewat pukul lima. Begitupun saat subuh, ia orang yang selalu tiba di Langgar tiga puluh menit sebelum adzan subuh.

Halimun kian padat memutih, hingga tak memberi rongga untuk melihat lagi Imam Sadar berlalu menuju Langgar yang sepi dijelang malam yang hujan.

"Jadi Ama' tak setuju dengan ide saya?", tanya Rhozieq setelah lama bungkam.

"Bukan soal setuju, ndak setuju. Pilihannya ndak sebiner itu, Ziq. Tapi ada yang lebih dari perkara 'ya' atau 'ndak' itu. Kebun kopi kita ini, urusannya itu sudah berkaitan dengan hajat hidup orang kampung. Banyak loh orang kampung itu. Dari bayi si Muna sampai si Aki Jontor, tenggorokan mereka itu cuma klop dengan kopi dari kebun kita ini.

Apa kamu tega melihat Aki Jontor menikmati hari-hari tuanya menjadi sedih karena tak lagi ngopi dari hasil bumi asli di dukuhnya?

Atau tega-nian kau melihat si Muna saban hari ke lepau Om Akal untuk membeli kopi saset mengandung bahan kimia yang tak sehat di konsumsi bayinya?

Atau kau ingin melihat si Jarkun lebih lama di rumah sakit jiwa akibat gilanya kambuh lagi karena kopinya diganti dengan kopi hitam buatan koh-koh Tionghoa yang rasanya lebih mirip cuka itu?

Yang Ama' sebutkan di atas itu, cuma perwakilannya saja Ziq. Kebun kopi dan manusia-manusia di kampung ini, sudah... sudah... apa itu istilahnya... hmmm... sudah seperti saling menghidupi begitu. Maksudnya, kopi kita ini masih setia berbuah karena masih ngingat orang kampung, pun begitu sebaliknya. Kira-kira begitulah..."

"Hmmm... terserah Ama' lah...." jawab Rhozieq, kecewa. Ia mendengus, dan kabut ego di kepalanya perlahan hilang tersingkir setelah meresapi wejangan Ama'nya barusan. Ia tersenyum kemudian, hanya sedikit.

"Jadi maksud Ama' begini, ada beberapa hal yang memang ndak perlu dipaksakan, karena sudah diatur Yang Maha Kuasa begitu adanya. Sama halnya dengan kopi dan kurma barusan. Bukankah memaksa menanam kurma dan membabat pohon-pohon kopi tak berdosa itu hanya atas nama fulus, adalah setara pelecehan terhadap kedua tetumbuhan itu? Dosa loh Zhiq, betul ini.

Biarlah kurma itu jadi tumbuhan khas Arab saja, yang selalu dirindukan orang-orang di Negeri kita ini dikala bulan puasa tiba, Zhiq. Istimewanya kurma, disitu kan? Sama kayak bagaiama sumringahnya Ina' mu ketika kamu bawakan ole-ole buah kurma dari Arab kemarin. Atau seperti yang sering kau bilang di telepon dulu, kalo teman-temanmu di Arab, akan lebih memilih ole-ole kopi dari kebun kita daripada seandainya disuruh memilih tiket gratis melihat monas di Jakarta.

Nah bagaimana kalau kita jadi buta hati dan fikir cuma karena duit? Jelas kurma ndak akan lagi jadi buah-buahan yang sakral kayak dalam cerita-cerita Nabi. Apalagi kebun kopi kita, pasti tinggal jadi dongeng yang menyedihkan, Zhiq."

"Hmmm... iya Mak, sudah sudah sudah, ngerti saya." Balas Rhozieq, legowo.

Dari luar bait yang kian temaram, suara bedug mulai terdengar, dan tak lama kemudian sayup kumandang adzan Imam Sabar memanggil dari corong megafon langgar yang kian berkarat. Sementara orang-orang dukuh sedang malas dibawah hujan dan dingin. Hanya segerombolah bocah-bocah yang tampak berlari menerobos gerimis dengan sajadah yang terkatup di kepala. Mereka berlomba paling cepat diantara seruan ikomah, menuju Langgar untuk menemani Imam Sabar berdiri melantunkan ayat-ayat Tuhan disamping mimbar.

"Ayo sholat dulu." Seru Ama' Rum.

"Iya, asalkan sehabis Maghrib, giliran Ama' yang ngasih kursus tentang cara berkebun kopi yang baik ya...", Balas Rhozieq, tersenyum.

[…]

Istilah:

Ama’(Mongondow); Bapak

Ina’(Mongondow); Ibu

Ba’ay(Mongondow); Nenek

Aki (Mongondow); Kakek

 

Sumber Ilustrasi: https://ervakurniawan.files.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun