Mohon tunggu...
sastrabiru
sastrabiru Mohon Tunggu... GURU -

Pak Guru. kurang piknik, kelebihan ngopi.~

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[Cerpen] Menanam Kurma di Kebun Kopi

12 November 2016   13:23 Diperbarui: 15 November 2016   10:03 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: https://ervakurniawan.files.wordpress.com

Ama' Oyang tertawa setelah ucapan terakhir. Merah padam yang menampal di wajah oval Rhoziq, kini menjalar hingga ke dua daun telinganya yang lebar. Ia tampak geram bukan main. Dalam kobaran amarahnya yang kian mekar, tak satupun sepatah kata berhasil keluar dari mulutnya. Malahan Ama'nya kembali mewejang.

"Soal pohon Kurma, biarkan ia hidup saja di Arab Saudi sana. Kita tetap berkebun kopi saja. Memang kopi tak menjanjikan kaya, dan memang sudah sejak dari zaman Aki mu hingga kau kini dewasa, kita juga belum kaya-kaya. Tapi setidaknya yang pasti, kita masih bisa bikin orang-orang di kampung ini bergembira dengan menyeruput kopi di saban pagi dan sore. Dan yang terpentinting pesan Aki mu, bahagia tak harus kaya."

Ama' berbalik ke arah meja untuk menyeruput kopi yang sedikit lagi amblas menjadi tubat. Ia keluarkan sebatang keretek, kemudian menggeretkan sebatang macis untuk menyulut candu kesayangannya sejak bujang itu . Rhozieq masih terdiam, dan Ama' kini berpindah kembali ke tempat ia duduk semula. Setelah menyembulkan asap keretek ke arah rumbia-rumbia yang menghalau gerimis, Ama' melanjutkan lagi.

"Apa kau tega memaksa orang-orang kampung untuk merubah kebiasaan menikmati senja dengan segelas kopi hangat dan dua biji panada, dan menggantinya dengan menikmati segelas kopi saset dan dua biji korma? Ide mu sebagai sarjana Ama' akui brilian, Ziq. Tapi bukan mentang-mentang kau sebagai sarjana lantas kau bisa menanam padi di atas awan. Biarlah kebun kopi ini sebagaimana adanya, kita tak butuh kaya dengan kurma, terlebih hanya untuk membuat orang-orang di Dukuh menderita, Nak."

***

Ina' masuk dari balik pintu dapur. Melihat gelas-gelas yang telah tandas, Ina' mengangkutnya ke dapur untuk menggantinya dengan cangkir-cangkir baru yang berisi kopi hangat baru diseduh. Kali ini dengan sepiring kacang sangrai dan empat biji panada yang juga masih hangat-hangat renyah. Sementara di luar bait yang mulai temaram, gerimis menderas. Halimun turun perlahan, merayap datar, padat di hamparan kebun kopi. Di ufuk mata, tak ada senja di langit seperti biasa, yang jika hari cerah akan sangat indah ditangkap retina siapapun yang sedang ngopi di dekat jendela ruang tengah.

Imam Sadar tampak melalui jalan diantara deret pepohonan kopi. Jalan kecil tak beraspal itu adalah arteri yang menghubungkan para warga dengan Langgar. Ia berapayung warna cokelat dengan sarung yang tergelung hingga ke lutut untuk menghindari percikan lumpur. Imam Sadar selalu berangkat paling awal ke Langgar. Selalu tak pernah kurang dari pukul setengah lima, juga tak pernah lewat pukul lima. Begitupun saat subuh, ia orang yang selalu tiba di Langgar tiga puluh menit sebelum adzan subuh.

Halimun kian padat memutih, hingga tak memberi rongga untuk melihat lagi Imam Sadar berlalu menuju Langgar yang sepi dijelang malam yang hujan.

"Jadi Ama' tak setuju dengan ide saya?", tanya Rhozieq setelah lama bungkam.

"Bukan soal setuju, ndak setuju. Pilihannya ndak sebiner itu, Ziq. Tapi ada yang lebih dari perkara 'ya' atau 'ndak' itu. Kebun kopi kita ini, urusannya itu sudah berkaitan dengan hajat hidup orang kampung. Banyak loh orang kampung itu. Dari bayi si Muna sampai si Aki Jontor, tenggorokan mereka itu cuma klop dengan kopi dari kebun kita ini.

Apa kamu tega melihat Aki Jontor menikmati hari-hari tuanya menjadi sedih karena tak lagi ngopi dari hasil bumi asli di dukuhnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun