Hingga dua kali enam puluh menit usai, hingga gerimis mulai berjatuhan membasahi atap bait peniggalan dari Aki Ama'nya, juga menyirami ladang kopi yang tampak di celah jendela, dan Rhozieq menutup kuliah privat tentang kurma --yang sebenarnya membosankan-- ditentang bapaknya. Tentu, setelah ribuan kata-kata telah tersembur habis tanpa menyisahkan satu kalimatpun di dalam kepalanya, kecuali satu kalimat penutup, tegas, dengan nada bercampur ajakan sekaligus permohonan;
"Kalau Ama' setuju, besok saya hubungi Investor asal Arab. Ia siap mendonor modal berapapun. Tanpa bunga, apalagi anggunan. Asal Ama' mau dulu!"
Rhozieq kembali menjatuhkan bokongnya ke punggung bangku. Matanya menyala, menyoroti Ama'nya yang diselimuti diam tanpa suara di atas bangku tua yang kian keropos dimakan rayap.
Dua menit berlalu tanpa suara. Rhozieq yakin betul presentasinya barusan akan berhasil meruntuhkan prinsip Ama'nya yang tak menjanjikan kaya kecuali semangat merawat sejarah dan segala omong kosong tentang peradaban atas nama kopi.
Ama'nya yang lama dibekukan diam penuh penghayatan, kini berdiri dan melangkah pelan menuju jendela. Ia bediri tepat di belakang jendela. Kedua tangannya menancap kokoh di tiang-tiang tua jendela . Wajahnya yang lisut keriput menatap ke arah kebun kopi yang luas, tempat burung-burung bermain dikala senja tiba dan mencuri biji-biji kopi yang selalu menjanjikan manis saat menjadi merah, tempat Ia dan Bininya bekerja seharian untuk membasmi rumput-rumput liar, mematahkan cabang-cabang air yang mengganggu Kopi mengeluarkan buah, memetik buah-buah kopi merah yang telah siap panen. Selamanya dalam batin Ama' Oyang, kebun kopi di samping bait berdinding cempaka mereka; bukan semata soal panen, jemur, digiling dan dijual ke tengkulak.
Kebun kopi yang itu. Yang ia tatap dalam geming dingin itu, baginya adalah sebuah manifestasi tentang bagaimana menjaga amanah orang tua, sejarah dan identitas bahwa ia adalah anak seorang pekebun kopi. Tentang kebun yang ia terlanjur percaya sebagai muara peradaban kecil yang masih tersisa di Dukuh mereka, ditengah maraknya ‘ekspansi senyap’ para investor yang sedang giat mencari tanah murah milik jelata-jelata dukuh yang selalu mudah diiming-imingi dengan sebuah motor buatan Tiongkok untuk ditukar dengan sebidang tanah demi kurma.
Presentasi luar biasa barusan dari anaknya, ia anggap tak lebih dari sebuah muslihat licik para investor untuk mengelabui pendiriannya melalui orang dalam rumah. Hal yang sama, tentang kebun kurma, sudah ia jumpai beberapa kali bahkan saat Rhozieq masih kuliah Arab. Bahkan telah lebih dari jumlah seluruh jari di kedua tangannya. Hanya kenapa ia tetap memberi waktu dengan ikhlas kepada anak kebanggannya untuk berbusa-busa mengguruinya, karena barangkali, jangan-jangan, alasan anak kandungya lebih masuk akal, berfaedah dan bertujuan untuk kemaslahatan umat di Dukuh mereka. Ternyata sama saja.
Dan tanpa diketahui Rhozieq yang sedang percaya diri itu, bahwa Ama'nya tak satu warna dengan isi kepalanya. Dalam batin Ama'nya, segala nostalgia tipu daya yang pernah ia kenali, kini muncul lagi. Bahkan sedang duduk diam di belakang punggungnya. Tiba-tiba Ia tertawa lantang hingga membuat Rhozieq yang sedang tercenung dibelakangnya, kaget, "ada gerangan apa Ma'?", menegur tawa Ama'nya yang tiba-tiba pecah.
"Ndak, ...." Sahut Ama' Oyang, dingin. Kemudian beku lagi dalam diam yang hayat.
Dalam tuanya yang lontok, ia terlanjur khatam untuk sebatas mengenali segala macam tarekat dan tipu muslihat kaum-kaum borjuasi. Baik yang kelas lokal maupun yang kelas interlokal, yang suka bersembunyi di balik boneka berwajah sendu. Masih subur dalam ingatannya, bagaimana bule-bule Amrik bermain licin sekali dibalik Gestapu, juga masih jelas di retina matanya bagaimana IMF dan World Bank yang saat jumpa pertama berlagak sebagai Bunda Theresa padahal tak lebih dari seorang rentenir yang suka menyita ladang-ladang kopi hingga sepeda tak berdosa buatan Vietnam milik anak-anak petani yang tak sanggup membayar bunga pinjaman yang tingginya mebihi Monas.
Ia tahu dengan pendiriannya ini, Rhozieq, anaknya satu-satunya yang bersekolah hingga ke perguruan tinggi dibanding dua kakaknya yang bahkan tak memiliki ijazah SD sekalipun, akan menimbulkan friksi yang laten, yang diam-diam merayap hidup dibawah lantai papan bait tempat mereka berhuni. Sekalipun mereka akan tetap ngopi dan menikmati panada panas-panas di beranda untuk menyaksian warna senja yang selalu dramatik dibalik gunung-gunung yang diam.