Mohon tunggu...
Vicky Ockta
Vicky Ockta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

Lahir di Surabaya. Motto: Semangat teros

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Si Sensitif

9 April 2021   13:57 Diperbarui: 9 April 2021   14:25 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku hafal seluk beluk rumah. Mana undakan teras, di mana pintu, di mana dinding. Mengenalinya seperti aku mengenali diriku. Dalan jarak jauh, benda di depanku hanyalah terlihat layaknya bayang-bayang.

Aroma sedap masakan menggelitik hidung. Tanpa mengganti baju, aku berjalan perlahan menuju meja makan. Tongkat jalan tak kugunakan lagi di sini. Dia kuletakkan di tempat penyimpanan payung. Bunda membiasakanku begitu.

"Lho, Adel? Bebi mana?" Bunda menyapaku dari arah kanan. Di sebelah kanan ada kamar mandi dan dapur. Namun aku yakin, Bunda dari dapur. Terbukti dari sedapnya aroma masakan.

"Nggak tahu." Apa peduliku. Dia juga tidak memberiku kabar.

"Terus kamu pulang sama siapa?" 

"Teman." Aku duduk di kursi kebesaranku. Bunda melarang siapapun duduk di sana. 

"Mudah-mudahan mereka cepat pulang. Sebentar lagi mau hujan."

Kudengar Bunda meletakkan beberapa piring berisi nasi di depanku. Mangkok cuci tangan di dekat piring dan beberapa lauk di samping nasi. Aku hafal suara dan getarannya pada meja. Letaknya sudah diatur Bunda agar aku bisa meraih dengan mudah.

Tanganku menggapai-gapai mencari sendok nasi. Aku mengambil piring lauk dan kudekatkan dengan mata sekaligus hidung. 

Daging lapis.

Kusendok dan kutuang di piring. Dari arah lain suara Dara dan Emilia mendekat. Dua kursi ditarik. 

"Gimana ujian akhir kalian?" 

Dentingan piring dan sendok menjawab pertanyaan Bunda. Jelas itu pertanyaannbukan buatku. "Emil, Dara?"

"Eh, a -- apa Bun?" Suara Emilia terdengar gagap di sebelahku.

Kukulum senyum. Semalam aku mencuri dengar. Mereka curhat hal nggak penting. Bukan curhat tentang cowok sekelas, tapi tentang pria matang. Dara menggebu-gebu bercerita tentang Jimin. Lalu Emilia? Dia membandingkan Jimin dengan rocker Bon Jovi. Seleranya tua untuk ukuran bocah SMA kelas satu.

Kata Emilia, Bon Jovi tuh keren. Rocker macho yang nggak perlu nari-nari untuk menggaet cewek. Kalau kata Dara, justru nari-nari itu yang buat cewek klepek-klepek. Coba lihat cendrawasih pejantan menarik perhatian betina dengan menari. Mereka punya selera tinggi terhadap seni. Daripada menggilai pria yang kalau nyanyi sampai kelihatan uratnya.

Setelah itu bukan lagi sesi curhat pria matang. Mereka malah berantem. Aku geleng-geleng kepala kalau ingat. 

"Kenapa, Adel? Pusing?"

"Hah? Nggak Bunda. Cuma keingat Emilia dan Dara semalam nggak belajar." 

"Mbak Adel!" pekik mereka serempak.

"Kenapa gitu aja diomongin ke Bunda sih?" Dari nadanya Dara kesal. Biarin. "Mentang-mentang dulu sering rangking satu. Dasar sombong."

"Emil! Dara!" Nada Bunda penuh penekanan. "Benar kata Mbak Adel? Semalam kalian nggak belajar?"

"Emil belajar kok Bun. Dikit-dikit."

"Aku juga. Sudah belajar. Karena jenuh jadi nonton MV bentar.  Suer."

Aku mendengar Bunda menghela napas lelah. "Sekolah kalian itu bukan sekolah negeri. SPP-nya mahal. Kalau kalian nggak bisa belajar sendiri, lebih baik kalian harus ikut les. Bunda nggak mau lihat rapor kalian jelek. Sekalipun nggak rangking, paling nggak nilai kalian bagus. Sebentar lagi Dara juga ujian kelulusan."

"Dara dapat rangking kok Bun! Tapi nggak ditulis di rapor"

"Oh ya? Kok Bunda nggak tahu. Kamu rangking berapa?"

"Dua puluh tujuh!" ucapnya bangga.

Aku membungkam mulutku. Jangan ketawa, please jangan ketawa. Tapi maaf, mulutku seperti bendungan jebol. Tawaku nggak berhenti.

"Mbak Adel kok ketawa?"

Serius? Nih bocah malah bikin lawakan. "Bangga kamu rangking dua puluh tujuh dari tiga puluh siswa."

Bunda berdehem memerintah anak-anaknya diam. "Adelia, jangan diketawain. Harusnya kamu kasih arahan ke mereka. Kamu kan kakak."

"Iya nih Mbak Adel. Nyebelin."

"Kalian berdua. Cepat habiskan makan setelah itu belajar lagi."

Mereka mengeluh bersamaan. Terutama Dara yang hobi protes. Dia minta keringanan peraturan. Maunya belajar waktu malam, dan meminta waktu istirahat setelah makan siang. Namun Bunda adalah ratu. Kalau putri-putrinya nggak nurut, bisa dijitak tepat di ubun-ubun.

Dari arah depan, langkah kaki terdengar masuk ke rumah. Ada beberapa langkah kaki mendekat. Langkah yang lincah dan langkah yang tenang.  Setelahnya suara hujan turun menderu. Terutama hujan di bagian belakang rumah. Suaranya jauh lebih keras.

"Assalamualaikum."

Kami pun menjawab salam mereka serempak. Kursi makan di sebelahku berdecit.

"Mbak Adel!" Bebi memelukku. "Sorry ya tadi nggak bisa jemput."

Aku menggerakkan bahuku. "Kalau nggak bisa jemput tuh telepon! Kamu nggak tahu aku hampir kehujanan?" Aku mendadak ingat tentang tadi di kampus. Padahal sudah berniat kulupakan. 

Aku berusaha merayu diriku kalau itu hal sepele, tidak perlu diributkan. Namun ada rasa meluap yang harus kutuntaskan. Aku butuh sebuah samsak.

"Ya maaf Mbak. Tadi aku ngerjakan tugas kuliah. Nggak sempat telepon Mbak Adel."

"Telepon cuma sebentar masa nggak bisa? Untung tadi ada yang mau antar pulang. Coba kalau nggak? Aku bisa kebasahan di sana."

"Tapi yang penting Mbak Adel sudah di rumah, kan?" Suara Censi. "Kebiasaan Mbak Adel melebih-lebihkan."

"Iya sudah Del. Namanya juga kepepet. Bebi nggak maksud buat lupa."

Aku berdiri meluapkan amarah. "Apanya yang melebih-lebih kan? Kalau kamu jemput lebih cepat, aku nggak perlu dengar omongan yang nggak penting! Nggak perlu juga aku digangguin!" Aku pergi dari sana dan membiarkan nasiku dimakan lalat.

***

Aku kesal. Kenapa mereka membenciku. Nggak saudara, nggak teman. Sama saja. Mentang-mentang karena mereka punya kelebihan dibanding aku.

Aku telungkup di atas tempat tidur. Melampiaskan semua kekecewaanku. Kenapa mereka bisa seenaknya? Kalau mereka bisa begitu, memangnya aku tidak bisa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun