Aku hafal seluk beluk rumah. Mana undakan teras, di mana pintu, di mana dinding. Mengenalinya seperti aku mengenali diriku. Dalan jarak jauh, benda di depanku hanyalah terlihat layaknya bayang-bayang.
Aroma sedap masakan menggelitik hidung. Tanpa mengganti baju, aku berjalan perlahan menuju meja makan. Tongkat jalan tak kugunakan lagi di sini. Dia kuletakkan di tempat penyimpanan payung. Bunda membiasakanku begitu.
"Lho, Adel? Bebi mana?" Bunda menyapaku dari arah kanan. Di sebelah kanan ada kamar mandi dan dapur. Namun aku yakin, Bunda dari dapur. Terbukti dari sedapnya aroma masakan.
"Nggak tahu." Apa peduliku. Dia juga tidak memberiku kabar.
"Terus kamu pulang sama siapa?"Â
"Teman." Aku duduk di kursi kebesaranku. Bunda melarang siapapun duduk di sana.Â
"Mudah-mudahan mereka cepat pulang. Sebentar lagi mau hujan."
Kudengar Bunda meletakkan beberapa piring berisi nasi di depanku. Mangkok cuci tangan di dekat piring dan beberapa lauk di samping nasi. Aku hafal suara dan getarannya pada meja. Letaknya sudah diatur Bunda agar aku bisa meraih dengan mudah.
Tanganku menggapai-gapai mencari sendok nasi. Aku mengambil piring lauk dan kudekatkan dengan mata sekaligus hidung.Â
Daging lapis.
Kusendok dan kutuang di piring. Dari arah lain suara Dara dan Emilia mendekat. Dua kursi ditarik.Â