Mohon tunggu...
Vicky Ockta
Vicky Ockta Mohon Tunggu... Wiraswasta - Asli

Lahir di Surabaya. Motto: Semangat teros

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

1. Si Peka

3 April 2021   19:24 Diperbarui: 3 April 2021   19:30 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Adelia Maria

Katanya, kalau satu kenikmatan diambil, maka akan diganti dengan kenikmatan lainnya. 

Jika perkiraanku benar, Tuhan bukan mengganti kenikmatan. Telingaku bisa jadi lebih peka dari pada indra lainnya. Bukan karena Tuhan memberiku kelebihan pada indra pendengaran, tapi aku terbiasa mendengar kasak-kusuk di belakangku. Terlatih.

Eh kasihan tuh. Nggak dikasih tahu aja?

Sudah, biarin. Biar orang lain yang bantuin dia.

Hihihi. Astaga, kasihan. Dia nggak tahu?

Bukan urusanku.

Aku dengar. Semuanya. Meski kalian berbisik sekalipun, aku mendengarnya. Dan aku benci. Makanya, kupikir ini bukan kelebihan. Lebih ke arah lelucon.

Kuraba setiap bagian tubuhku. Apa yang aneh? 

"Astaga, Del." Sebuah suara rendah bersamaan tarikan suatu benda di punggungku.

"Gio?"

"Ya. Siapa sih yang iseng nempelin beginian? Jadul banget."

Namun, aku bersyukur mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap suara. Aku bisa mengenalinya dari suara. Aku tahu keberadaannya di sekitarku, dari suara. Mungkin terdengar aneh, tapi aku jatuh cinta karena suaranya.

"Nggak tahu." Di sekitarku banyak orang. Tetapi tidak tahu, siapa yang berulah. "Emang kenapa? Mereka iseng lagi ya?"

"Nggak usah dipikirin. Kok belum pulang?" Kudengar dia meremas sesuatu.

"Nunggu adik. Katanya mau jemput, tapi sampai jam segini belum muncul." Mungkin aku menunggu sekitar satu jam. Aku melihatnya tadi di ponsel. Hanya duduk dan berteman hembusan angin kencang dan gemuruh dari langit.

"Mau kuantar pulang?" tanyanya lagi.

Jariku mengetuk-ngetuk kayu yang kupegang.  Aku khawatir kalau Bebi sudah jauh-jauh ke sini, tapi aku nggak ada. Tapi kalau nggak pulang sekarang ....

Gemuruh kembali menggelegar.

"Boleh?"

"Santai. Kamu tunggu diam sini."

Aku mengangguk dan sedikit sunggingan senyum. 

Dia baik. Aku juga baik. Tapi dunia ini terlalu berisik untuk orang yang baik seperti kami. Kasak-kusuk berseliweran lagi di telingaku.

Eh itu bukannya kakak tingkat yang kemarin?

Mana? Oh itu? Iya benar. Duh kasihan ya.

Kenapa sih nggak kuliah di berkebutuhan khusus atau di rumah aja.

Tauk. Nyusahin diri sendiri. 

Nggak punya malu. Kalian lupa aku punya telinga? 

"Adelia." Aku terkejut. Suara dan sentuhannya di bahuku seperti sengatan listrik. Aku bahkan tidak mendengar suara motornya. Terlalu sibuk menguping cuitan gagak.

"Ayo." Gio memegang tanganku sembari menuju sepeda motor. 

Jika ada penobatan pria terfavorit, dia akan aku ajukan. Malah sekarang sudah menjadi penghuni tetap daftar calon suamiku. Dan pendaftaran sudah ditutup.

Aku menaiki sepeda motor dengan mudah. Aku sudah terbiasa. Tongkat jalan kuselipkan di antara dua paha.

"Pegangan ya."

Tanpa ragu aku merengkuh pinggangnya. Betapa baiknya dia. 

"Siap?"

"Iya." Motor melaju perlahan. Suara halus mesin seirama dengan hembusan angin. 

Memang tidak semua hal sempurna. Tetapi sempurna itu ada di setiap ketiadaan. Terpaan angin, aroma maskulin, dan suara yang menenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun