Cerpen: Tjak S. Parlan
“Menurut cerita yang kudengar, restoran ini pernah menjadi tempat favorit para meneer dan mevrouw Belanda. Mereka membuat janji, mengobrol, atau berdiskusi sambil makan es krim,” jelasnya kepadaku.
Aku perhatikan seluruh ruangan bernuansa retro itu. Ubin tua, kursi-kursi rotan, meja-meja bertaplak plastik. Di sebagian dinding ruangan dipajang foto-foto lama berwarna sepia: gedung-gedung tua bergaya art deco, suasana jalan di depan sebuah gereja tua hingga foto seorang presiden. Gereja itu masih berdiri kokoh hingga saat ini. Aku sempat melihatnya sewaktu taksi yang kami tumpangi melintas di depannya beberapa saat lalu. Kami memilih tempat paling sudut, di dekat jendela yang terbuka, di samping sebuah piano tua yang tampaknya sengaja dipajang sebagai sebuah benda klasik.
“Alergi rokok?” tanyanya sambil mengeluarkan sebungkus rokok mild rendah tar.
“Tidak secara langsung. Aku cukup lama hidup bersama pengisap,” jawabku spontan.
Restoran itu tidak ber-ac. Di tengah-tengah ruangan sebuah baling-baling kipas angin sedang berputar. Beberapa jendela besar yang terbuka, membuat sirkulasi udara di ruangan cukup lancar. Tak ada peringatan dilarang merokok yang bisa kutemui di tempat itu.
“Mau pesan apa? Selain es krim, di sini ada steak yang rasanya istimewa,” katanya.
Aku sedang tidak berselera makan sebenarnya. Hanya ingin mencicipi yang dingin-dingin. Tapi kalau ada steak yang enak, bolehlah, pikirku. Aku pun memesan steak. Mengikuti sarannya, aku juga tergoda mencicipi es krim dengan cita rasa klasik yang menjadi andalan restoran itu. Yan’s special namanya, diambil dari nama pemilik restoran legendaris itu: Yan Sen. Yan’s special merupakan perpaduan tiga rasa es krim yang berbeda dan dinikmati dengan roll wafer. Benar yang dikatakannya, rasanya memang istimewa. Meski teksturnya terlihat sedikit kasar, namun terasa lebih lembut di lidah, dan tidak terlalu manis.
Ia sendiri hanya memesan segelas chocolate parfait.
Chocolate parfait, demi Tuhan aku mengenal nama itu. Bentuknya, bahkan rasanya. Cukup lama mengenalnya, aku tidak pernah tahu kalau ia juga penyuka es krim. Dan sekarang, lihatlah, ia mulai menikmati menu kesukaannya yang membuat sesuatu dalam diriku terasa berdesir.
“Sejak kapan kau suka itu?” tanyaku, menguji perasaaku sendiri.